Tentara Pelajar

From Ensiklopedia

Tentara Pelajar adalah terminologi yang memayungi beberapa korps militer yang beranggotakan pelajar sekolah menengah pertama, atas, dan mahasiswa. Tentara Pelajar turut berperan dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia sejak akhir tahun 1945 hingga proses demobilisasi pada awal tahun 1950. Tentara Pelajar utamanya beroperasi di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, namun terdapat pula unit-unit yang turut bertempur di Jawa Barat dan Sumatera Selatan.

Unit militer pertama yang terdiri dari pelajar dirintis oleh siswa sekolah menengah tinggi teknik (SMTT) atau Kogyo Senmon Gakko di Surabaya. Kelompok ini merupakan satuan militer pelajar pertama Indonesia yang dirintis oleh Abdoel Sjoekoer. Sebelum memimpin unit ini, Abdoel Sjoekoer sejatinya telah menjadi pimpinan (chutai-cho) dari Pasukan Pelajar (Gakukotai) di sekolah ini. Di luar sekolah, Abdoel Sjoekoer sesungguhnya juga telah terafiliasi dengan kelompok-kelompok nasionalis pimpinan Sutan Syahrir dan Roeslan Abdoelgani (Moehkardi 1983: 30).  

Pada tahun 1946, Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang dideklarasikan di Yogyakarta membentuk IPI Bagian Pertahanan, yang bertanggungjawab atas peran militer organisasinya. Pada momen ini pula, IPI memiliki ketua baru yaitu Tatang Mahmud, sementara untuk IPI Bagian Pertahanan dikomandoi oleh Suyitno. Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah pembentukan organisasi-organisasi serupa di berbagai sekolah, utamanya Sekolah Menengah Tinggi (SMT/Setingkat SMA) (Pusjarah ABRI, 1985: 129).

Pada bulan Juli di tahun yang sama, ribuan pelajar mengadakan apel akbar di depan Istana Presiden Yogyakarta dan menyatakan kesetiaannya kepada pemerintah Republik Indonesia. Melalui apel inilah, Presiden Sukarno melalui Dokter Moestopo meresmikan pembentukan IPI Bagian Pertahanan dan menyelenggarakan pelatihan militer untuk para anggotanya. Pelatihan militer ini bertempat di Lapangan Akademi Militer Yogyakarta selama dua minggu (Moehkardi 2019: 189).

Selepas pelatihan militer singkat, IPI Bagian Pertahanan mengajukan penyatuan semua sayap militer dari organisasi pelajar kepada Dewan Pertahanan Negara. Usul ini dikabulkan dengan menyebut semua pasukan pelajar menjadi “Tentara Pelajar” yang kala itu berstatus masih sebagai laskar. Komando pusat tentara pelajar, dikenal dengan nama Markas Pertahanan Pelajar Pusat, kemudian memiliki tiga resimen. Resimen A berkedudukan di Jawa Timur (terkenal dengan nama Tentara Republik Indonesia Pelajar/TRIP), Resimen B berkedudukan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Cirebon, sementara Resimen C berkedudukan di Jawa Barat (Moehkardi 1985: 44).

Selanjutnya, untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II, Presiden Sukarno meleburkan Tentara Pelajar ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di bawah organisasi TNI, Tentara Pelajar dianggap sebagai sebuah kesatuan otonom yang menginduk di bawah nama Brigade XVII, yang memiliki lima detasemen yang tersebar di seluruh Jawa: Detasemen I yang dikenal sebagai TRIP beroperasi di Jawa Timur, Detasemen II Tentara Pelajar di Solo, Detasemen III Tentara Pelajar di Yogyakarta, Detasemen IV Tentara Pelajar Jawa Barat, dan Detasemen V Khusus atau yang dikenal dengan Tentara Genie Pelajar (TGP). Sebagai detasemen khusus, TGP secara spesifik menangani tugas-tugas ke-zeni-an (terkait dengan konstruksi dan demolisi) untuk mendukung operasi detasemen lain. Di luar struktur ini terdapat pula pasukan-pasukan pelajar di bawah SA/CSA (Sturmabteilung/Corps Sukarela) dan Tentara Pelajar Sriwijaya Sumatera Bagian Selatan. Selain itu, terdapat pula Corps Pelajar Siliwangi (CPS) yang perlengkapannya disuplai oleh Brigade XVII namun tetap berada di bawah kendali Divisi Siliwangi (Moehkardi 1983: 55).  

Status sebagai pelajar tidak menghalangi pasukan ini untuk berkiprah di medan-medan tempur yang menentukan. Salah satu contoh adalah Detasemen III Tentara Pelajar Yogyakarta di bawah kepemimpinan Kapten Martono yang terlibat secara aktif dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang meneguhkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia. Pasukan-pasukan Martono ditugaskan untuk menahan laju Tentara Belanda dari utara dan barat. Pasukan yang bersiaga di utara, tepatnya di Kaliurang (Kaki Gunung Merapi) beroperasi di bawah pimpinan Darsono dan Suwarno. Sementara pasukan yang menghadang Belanda dari sisi barat kota Yogyakarta beroperasi di bawah pimpinan Ali Adi  (Susanto 1985: 23).  

Selain Detasemen III, Detasemen II TP Solo turut menyukseskan serangan umum Surakarta atau yang juga dikenal dengan pertempuran empat hari di Solo. Detasemen II TP dipimpin oleh Mayor Achmadi dan kala itu berhasil mengepung kota dari empat penjuru kota. Dari utara, terdapat Kompi Prakoso, dari selatan terdapat Kompi Suhendro, dari barat terdapat Kompi Abdul Latief, dan dari timur terdapat Kompi Soemarto. Serangan tersebut kemudian menunjukkan ketidakmampuan tentara Belanda dalam mempertahankan kota penting ini. Selama beroperasi, Detasemen II TP Solo bekerjasama dengan Brigade V TNI di bawah kepemimpinan salah satu tokoh militer Indonesia, Letnan Kolonel Slamet Riyadi (Susanto 1985: 104).

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Susanto, Sewan. Perjuangan tentara pelajar dalam perang kemerdekaan Indonesia. Indonesia: Gadjah Mada University Press, 1985.

Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Peranan pelajar dalam perang kemerdekaan. Indonesia: Pusat Sejarah dan Tradisi, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1985.

Moehkardi. Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949. Indonesia: Gadjah Mada University Press, 2019.