Tgk Chik Di Tiro
Muhammad Saman, atau lebih dikenal sebagai Tgk Chik Di Tiro, adalah tokoh masyarakat Aceh yang berjuang melawan Belanda. Ia lahir pada tahun 1836 Masehi, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo, yang terkenal sekarang dengan Kota Bakti dari keluarga ulama Aceh (Zentgraf, 1982: 29).
Saat Tgk Chik Di Tiro berusia 15 tahun ia pindah belajar pada pamannya Tgk Chik Dayah Tjut di Tiro untuk belajar ilmu agama, sejarah, serta tasawuf dari kitab-kitab karangan Imam Ghazali. Kemudian, ia pindah belajar pada Tgk Muhammad Arsyad yang terkenal dengan Tgk Chik di Jan di le Leubeu. Setelah itu, ia menuntut ilmu lagi pada Tgk Abdullah Dayah Meunasah Blang. Akhirnya, ia belajar pada Tgk Chik Tanjung Bungong di Tanjung Bungong (Wanti, 1996: 42).
Selama di Lam Krak, Tgk Chik Di Tiro sempat berjuang melawan Belanda karena ia diajak oleh kawannya. Karena ada surat dari pamannya agar ia pulang ke Tiro dan segera menunaikan ibadah haji, maka Tgk Chik Di Tiro meninggalkan teman-teman seperjuangannya dan pergi menunaikan ibadah haji (Wanti 1996: 43). Ketika berada di Mekkah, selain menunaikan ibadah haji, Tgk Chik Di Tiro juga menjumpai pemimpin-pemimpin Islam yang ada di Mekkah. Dari mereka, Tgk Chik Ditiro tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Tgk Chik Di Tiro juga bertemu dengan pejuang Islam lainnya yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau lain di Indonesia (Wanti, 1996: 43).
Ketika awal berjuang, Tgk Chik Di Tiro hanya mempunyai uang 80 ringgit Aceh yang merupakan hasil dari menggadaikan sawah, rencong, dan pedang hadiah dari Tgk Dayah Tjut, serta semangat juang yang berkobar-kobar. Tanggapan terhadap perjuangannya pun ada yang bersikap sinis kepadanya. Teungku Chik Di Tiro bukan keturunan panglima, ia hanya seorang haji dan ulama (Wanti, 1996: 44).
Usaha pertama yang dilakukan Tgk Chik Di Tiro adalah membangkitkan semangat para pejuang dan mengumpulkan mereka dalam satu kesatuan yang kokoh yang tidak dapat dipecah belah. Untuk itu, ia mengadakan perjalanan keliling Aceh. Kesempatan itu dipergunakan untuk menyebarluaskan ajarannya mengenai perang Sabil, menyadarkan orang-orang untuk memerangi kaum kafir, berjuang di jalan yang diridhai oleh Allah, serta untuk memperoleh informasi dari mereka yang hadir (Wanti, 1996: 44 - 45).
Ada beberapa ulama yang menyatakan ikut bergabung dengan gerakan suci ini seperti Tgk Chik Kuta Karang bekas kadli raja Aceh, Tgk Chik Umar Lam U dari Sagi XXll, Tgk Lam Paja Lho Nga dari Sagi XXV, Tgk Haji Muda Krueng Kale dari Sagi XXVI, dan Tgk Chik Tanoh Abee sedangkan para panglima yang menyatakan ikut bergabung, seperti Habib Teupin Wan, Teuku Chik Paya Bakong, dan lain-lain. Dengan adanya bantuan tersebut, Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Ulama ini berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6.000 orang (Sofyan, 1990: 36).
Pada 5 Maret 1883 Gubernur Van Der Hoeven memberitahukan kepada pemerintah pusat di Jawa tentang kondisi Aceh. Namun kemudian gubernur ini malah diganti oleh P.F. Laging Tobias pada 16 Maret 1883. Pada masa pemerintahannya Belanda menghadapi masalah yang berat sampai ia mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa Belanda di Aceh hampir putus asa (Jakub, t.t.: 57). Pada masa itu, Tgk Chik Di Tiro sempat pula menyerang Kutaraja, walaupun tidak berhasil merebutnya. Seorang controuler Belanda, J.P. van Der Lith, menemui ajalnya sedang Panglima Pang Nyak Hasan dari pihak Aceh tewas (Sofyan, 1990: 35).
Selama di Medan pertempuran (1881-1886), Tgk Chik Di Tiro tidak pulang ke daerah Pidie. Pada tahun 1887, Tgk Chik Dayah Tjut meninggal dunia. Dengan meninggalnya paman sekaligus gurunya ini Tgk Sjech Saman menjadi yang tertua di kalangan ulama Tiro. Ia berhak mendapat gelar Tgk Chik Di Tiro. Gelar ini, digabung dengan nama lahirnya Muhammad Saman, kemudian menjadi Tgk Besar Di Tiro Muhammad Saman. Dalam adat ulama Tiro hanya ada satu orang yang berhak memakai gelar Tgk Chik. Oleh karena itu, selama Tgk Chik Dayah Tjut masih hidup, maka Tgk Sjech Saman belum resmi dipanggil dengan gelar Tgk Chik (Jakub, 1891: 71).
Tgk Chik di Tiro memiliki semangat perang yang menyala-nyala dalam menghantam Belanda. Salah satu peristiwa yang terkenal adalah peristiwa tanggal 7 Maret 1896. Pada peristiwa ini, meletus pertempuran dahsyat antara pasukan kapten Blokland dengan pasukan Di Tiro. Pasukan kapten Blokland yang jauh lebih besar jumlahnya kemudian berhasil dipukul mundur. Banyak perwira Belanda tewas, termasuk Letnan Westendorp dan Kapten Blokland sendiri (Said, 2007: 203). Dalam sebuah "Staatscourant" juga digambarkan kedahsyatan perang Aceh pada 4-5 Agustus 1889. Staatscourant ini juga memuat telegram dari Jenderal Mayor Van Teijn, Gubernur Jenderal Sipil dan Militer di Aceh. Pada telegram tersebut, tertulis bahwa pada 26 Juli 1889 terjadi tembakan meriam dari pihak Aceh yang menewaskan beberapa perwira Belanda, yaitu Kapten WTN Van Geusan, Letnan F.J.F Veerman, Letnan N.H. Hageman, 18 orang bawahan, dan 4 orang opsir (Jakub, 1891: 76).
Kenyataannya strategi yang diterapkan Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul mundur pada banyak pertempuran. Untuk mengimbangi pasukan Aceh, Belanda akhirnya membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Notten pada tanggal 2 April 1890. Pasukan ini terkenal sebagai pasukan berani mati dan kejam (Zentgraaff: 448 - 458). Walau Belanda membentuk Korps Marsose, Tgk Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda. Semangat pasukan Tgk Chik Di Tiro pupus dalam menghadapi Belanda. Pada tahun 1890, Tgk Muhammad Amin putra Tgk Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Ia mendapat luka dan terpaksa dibawa ke Aneuk Galong (Abdurrahman, 2002: 62).
Mengetahui bahwa jiwa Perang Sabil terdapat pada Tgk Chik Di Tiro, maka Belanda berusaha membunuh ulama ini. Belanda kembali mempergunakan siasat adu domba di mana salah seorang bangsawan yang berambisi menjadi Panglima Sagi diperalat untuk membunuh Tgk Chik Di Tiro. Tgk Chik Di Tiro kemudian diundang ke Tui Seilemeung, dan di dalam benteng ini ia diberi makanan beracun. Tgk Chik Di Tiro kemudian jatuh sakit dan wafat pada tanggal 25 Januari 1891 di Aneuk Galong (Safwan, 1981: 2). Setelah Tgk Chik Di Tiro meninggal, maka pimpinan pasukan Perang Sabil diserahkan kepada putranya, Tgk Mat Amin sebagai Tgk Chik. Ia lebih dikenal sebagai ahli dalam peperangan daripada hukum agama. Setelah Tgk Mat Amin syahid dalam mempertahankan benteng Aneuk Galong pada tahun 1896, ia digantikan oleh adiknya Tgk Di Tungkeb alias Tgk Beb (Sofyan, 1990: 42).
Walaupun telah wafat, pengaruh Tgk Chik Di Tiro tetap besar. Gema perjuangannya sampai ke Lhoksukon, Aceh Utara. Dalam sebuah salinan Hikayat Perang Sabil yang dibuat oleh controuer Lhok Sukon pada tanggal 24 Oktober 1924, dinyatakan bahwa Tgk Chik Di Tiro lah yang mewakili jejak langkah Nabi dalam meneruskan Perang Sabil sedangkan ulama lain ada yang berdiam diri. Ketika pasukan Marsose di bawah pimpinan Schmidt pada tahun 1908 mencari keturunan Tgk Chik Di Tiro yang masih hidup, rakyat tidak memberitahu tempat mereka berada (Alfian:161).
Penulis: Mujiburrahman
Referensi
Alfian T. Ibrahim, (1987) Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Dewi Irini Wanti, dkk. (1996) Enam pahlawan Indonesia Asal Aceh. Banda Aceh
H.C Zentgraaff, (1982/1983) Aceh. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek IDSN.
Jakub Ismail, (1881-1891) Teuku Tjik di Tiro Pahlawan Besar dalam Perang Aceh. Jakarta: Bulan Bintang
Sofyan Ismail, (1990) Perang Kolonial Belanda Aceh Banda Aceh: PDIA
Safwan Mardanas, (1981) Teuku Umar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Proyek IDSN
Said, Mohammad. (2007) Aceh Sepanjang Abad jilid 2. Medan: Harian Waspada.