The Big Five
The Big Five adalah sebutan bagi lima perusahaan besar asal Belanda yang mendominasi berbagai sektor usaha vital di Indonesia sejak masa kolonial. Perusahaan-perusahaan yang termasuk di dalam The Big Five adalah Internatio, Borsumij (Borneo Sumatra Maatschappij), Jacobson van den Berg & Co., Lindeteves, dan Geo. Wehry (Lindblad 2002: 53). Perusahaan-perusahaan ini terus beroperasi di Indonesia di dalam berbagai bidang, termasuk ekspedisi pengiriman logistik antar pulau yang menghasilkan pendapatan dalam jumlah besar hingga dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia pada tahun 1957 (Anderson 1983: 482; Kanumoyoso 2000).
Perusahaan-perusahaan yang tergabung di dalam The Big Five telah berdiri sejak abad ke-19. Salah satunya adalah Internatio, atau the Internationale Crediet-en Handelsvereniging ‘Rotterdam’ (Asosiasi Kredit dan Perdagangan Internasional Rotterdam) yang didirikan pada 1863 oleh sekelompok pengusaha di Rotterdam, Belanda (van der Kerkhof 2005: 182). Perusahaan ini berfokus pada perdagangan komisi, termasuk pengiriman dan penjualan barang secara konsinyiring. Pada periode pasca-Perang Dunia Pertama, Internatio melakukan diversifikasi bisnis secara berkala. Pada tahun 1922, perusahaan tersebut mengelola perkebunan di Jawa dan Sumatra, serta mendirikan perusahaan manufaktur pertama di Hindia Belanda dalam skala besar dengan mendirikan pabrik kertas Padalarang (van der Kerkhof 2005: 182).
Selain Internatio, perusahaan lain yang berdiri sejak pertengahan abad ke-19 adalah Jacobson van den Berg dan Geo. Wehry. Perusahaan Jacobson van den Berg didirikan pada tahun 1860 di Semarang dengan nama Jacobson & Co., akan tetapi berubah nama menjadi Jacobson & Van den Berg & Co. pada tahun 1872 (Jonker dan Sluyterman 2001: 210). Di Hindia Belanda, perusahaan ini memiliki cabang di Surabaya, Batavia, dan Cirebon. Jacobson & Van den Berg & Co. berfokus pada aktivitas ekspor dan impor beberapa komoditas seperti kopi dan kina. Di sisi lain, perusahaan Geo. Wehry berdiri sejak 1867 dan memiliki cabang di Surabaya dan beberapa kota lainnya di Hindia Belanda. Hingga akhir abad ke-19, perusahaan ini melakukan ekspor tembakau, teh, kopi, vanilla, dan barang-barang komsumsi ke berbagai wilayah di Eropa (Jonker dan Sluyterman 2001: 210).
Selain dua maskapai dagang di atas, perusahaan lain adalah Lindeteves. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1875 di Semarang ini bergerak dalam perdagangan alat-alat berat dan perkakas (Jonker dan Sluyterman 2001: 211). Kemudian perusahaan Borsumij yang berdiri pada tahun 1884. Perusahaan-perusahaan yang tercakup di dalam The Big Five memiliki berbagai aset yang tersebar di Hindia Belanda, serta sektor usaha yang beragam.
Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, The Big Five adalah sasaran nasionalisasi perusahaan yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1950-an. Sebelumnya, pendirian perusahaan nasional telah dilakukan sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satunya implementasinya adalah pendirian BDNI atau Bank Dagang Nasional Indonesia (nantinya dikenal sebagai BNI) pada tahun 1946. Pada tahun 1950-an, upaya nasionalisasi mendapatkan dukungan dari organisasi usaha, salah satunya adalah PEKSI atau Persatuan Eksportir Indonesia (Lindblad 2002: 53). Dukungan tersebut sejalan dengan upaya pemerintahan sejak Kabinet Natsir yang memiliki agenda untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia (Djojohadikusumo 1986: 35; Wie 2010: 62).
Pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Milik belanda di Indonesia. Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan The Big Five beralih manajemen menjadi milik publik. Borsumij beralih menjadi Indevitra (Perusahaan Industri dan Perdagangan Pembangunan Indonesia, kemudian dikenal sebagai Budi Bhakti), Jacobson van den Berg beralih menjadi Juda (kemudian Fadjar) Bhakti Corporation, Satya Negara (kemudian Aneka Bhakti) untuk Internatio, Indestins (Perusahaan Perkebunan dan Industri Indonesia, kemudian Tulus Bhakti) untuk Lindeteves, dan akhirnya, Triangle Corporation (kemudian Marga Bhakti) untuk Geo. Wehry (Lindblad 2002: 68–69).
Penulisan: Teuku Reza Fadeli
Referensi
Anderson, B. R. G. (1983). Old state, new society: Indonesia's new order in comparative historical perspective. The Journal of Asian Studies, 42(3), 477–496.
Djojohadikusumo, Sumitro. (1986). Recollections of My Career. Bulletin of Indonesian economic studies, 22(3), 27–39.
Jonker, J., & Sluyterman, K. (2001). At home on the world markets: Dutch international trading companies from the 16th century until the present. McGill-Queen's Press-MQUP.
Kanumoyoso, Bondan. (2000). Menguatnya peran ekonomi negara: Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, 1957-1959 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
van der Kerkhof, J. (2005). Indonesianisasi of Dutch Economic Interests, 1930-1960: The case of Internatio. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 161(2-3), 181–209.
Lindblad, J. T. (2002). The Importance of Indonesianisasi during the Transition from the 1930s to the 1960s. Itinerario, 26(3-4), 51–71.
Wie, T. K. (2011). Understanding Indonesia: the role of economic nationalism. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 3, 55–79.