Timorsch Verbond

From Ensiklopedia

Sejak awal abad ke-20, organisasi pergerakan di berbagai daerah dengan latar belakang pendirian dan corak kegiatan tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia. Orang-orang perantauan Timor dan Sawu yang ada di Kota Makassar membentuk organisasi bercorak kedaerahan yang diberi nama Timorsch Verbond pada tahun 1922. Tujuan pendiriannya untuk meningkatkan derajat kerohanian, moral, jasmani, serta kesejahteraan orang Timor. Perkumpulan ini didirikan atas inisiatif seorang guru D.S. Pello dan kepengurusannya dipimpin oleh J,W. Amalo. Berdasarkan asas dan tujuan dari organisasi di saat pendiriannya adalah merupakan perkumpulan sosial. Tetapi dalam perkembangannya cenderung menjadi organisasi pergerakan yang bersifat politik dengan aktivitas yang mencampuri soal ketatanegaraan (Monograf NTT-I, 1976: 56). Selanjutnya berdiri banyak cabang Timorsch Verbond terutama di daerah Timor.

Organisasi ini berkegiatan dalam upaya memberi penyadaran atas hak-hak dan harga diri sebagai manusia kepada anggota-anggotanya. Hal tersebut lambat laun menyebabkan timbulnya berbagai tindakan-tindakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, seperti Peristiwa Karuni di Sumba dan Peristiwa Sabu. Kontrolir pemerintah Kolonial Belanda di Sumba yang berkedudukan di Karuni bernama Dannenberger berhasil dihadapkan ke pengadilan Justisi di Kota Makassar. Pada peristiwa yang lain, seorang pejabat Gezaghebber bernama Israel yang berkedudukan di Sabu. Kedua pejabat pemerintah Kolonial Belanda itu mendapat tuduhan menganiaya penduduk di tempat tugasnya. Pelanggaran yang dilakukan kedua pejabat tersebut berhasil dibongkar berkat keberanian ketua cabang Timorsch Verbond  di Karuni, Sumba yang bernama C.Piry dan ketua cabang di Sabu, S.W. Tanya. Dari hasil pengadilan Yustisi di Makassar, kedua pamong praja pemerintah kolonial tersebut diputuskan divonis pemecatan dari jabatannya (Widyatmika dkk. 1978/1979: 42).

Dua peristiwa tersebut menyebabkan keterkejutan di kalangan orang-orang Belanda karena petugas pemerintahan kolonial dijatuhi hukuman oleh pejabat hukum kolonial pula. Hal tersebut menyebabkan nama Timorsch Verbond menjadi sangat populer di kalangan penduduk, karena keberaniannya mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah kolonial. Namun di balik kejadian ini, pemerintah Kolonial Belanda menyadari bahwa Timorsche Verbond adalah suatu perkumpulan yang dapat membahayakan kedudukan Belanda. Berdasar hal tersebut, pemerintah kolonial kemudian membatasi kegiatan-kegiatan Timorsch Verbond, salah satu contohnya adalah dikeluarkannya larangan bagi anggota-anggota tentara menjadi anggota Timorsch Verbond.

Pada tahun 1925 di Kota Makassar, Timorsch Verbond mengadakan kongres. Pertemuan besar ini dihadiri oleh ratusan utusan cabang dari berbagai kota di seluruh wilayah Hindia Belanda. Di samping utusan dari cabang-cabang Timorsch Verbond, kongres dihadiri pula berbagai utusan organisasi politik baik dari dalam Kota Makassar maupun dari daerah lain. Dalam kongres dibahas berbagai hal, baik soal-soal politik dan pemerintahan maupun soal peningkatan kesejahteraan orang-orang Timor, baik yang tinggal di wilayah Timor maupun di daerah perantauan. Sebagai media komunikasi dan penerangan terutama kepada anggota-anggotanya, maka diterbitkan media massa bernama Suluh Timor, yang memuat berbagai tulisan menyikapi kondisi sosial-politik terbaru dan isu-isu kehidupan masyarakat secara umum. Dengan berbagai terbitan tersebut, Timorsch Verbond oleh pemerintah Kolonial Belanda dianggap atau dicap merah (komunis). Pemerintah Kolonial kemudian semakin membatasi ruang gerak organisasi ini dengan mengeluarkan larangan dan ancaman bagi pegawai-pegawai yang aktif menjadi pengurus organisasi itu. Para pegawai yang menjadi pengurus cabang banyak yang menjadi korban, antara lain dipecat dari pekerjaan atau jabatannya, maupun diturunkan pangkatnya atau dipindahkan tempat bertugasnya (Widyatmika dkk. 1978/1979: 43).

Berkat perjuangan Timorsch Verbond maka didirikan Hollandsch Indlandsche School (HIS) untuk anak-anak bumiputera di Kupang Nusa Tenggara Timur. Namun berbagai pembatasan dan intimidasi dari Pemerintah Kolonial Belanda dan terjadinya pertentangan-pertentangan di dalam tubuh organisasi, maka sesudah kongres Timorsch Verbond di Kota Makassar tahun 1925 sedikit demi sedikit kegiatan-kegiatan organisasi ini semakin terbatas dan organisasi ini juga semakin lemah.

Pada akhir tahun 1930 atas usaha Baker dan J.W. Amalo, Timorsch Verbond berkembang lagi. Kali ini bukan berpusat di Makassar tetapi di Kota Surabaya. Kongres kedua berhasil dilaksanakan pada 19-23 Juni 1932 di Kupang. Dalam pertemuan tersebut dengan tegas disampaikan kehendak akan Indonesia merdeka dan menjadi anggota PPPKI (Permufakatan Perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia). Sikap tersebut menyebabkan Timorsch Verbond mendapat tekanan dan semakin dimusuhi oleh Pemerintah Belanda. Akibat berbagai tekanan dan dan perpecahan dari dalam, Timorsch Verbond kembali mendapatkan kemunduran. Namun pengurusnya terus berusaha menghidupkan organisasi ini dengan memindahkan kembali pusatnya ke Kota Makassar pada tahun 1933 dengan diketuai oleh Here Wila. Pengurus ini tidak sempat berbuat banyak karena pada tahun 1934, Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-undang Vergader Verbod (larangan pelaksanaan rapat) sehingga melumpuhkan seluruh kegiatan pergerakan politik.

Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Monograf NTT, Daerah Timor, Rote, Sabu. I, II. 1975. Proyek Pemgembangan Media Kebudayaan Departemen P & K.

M. Widyatmika dkk, 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur. 1977. Jakarta: Departemen P & K.