Tonarigumi
Tonarigumi atau Rukun Tetangga diperkenalkan pada 11 Januari 1944 dalam Konferensi Residen Seluruh Jawa. Ia merupakan unsur paling rendah dalam piramida pemerintahan militer Jepang di Indonesia. Satu tonarigumi terdiri dari 10 atau 20 rumah tangga di bawah pimpinan kumicho. Organisasi ini kemudian diperkenakan kepada seluruh masyarakat di Indonesia (Kurasawa 1993: 195).
Pada mulanya tonarigumi dibuat di Jepang, sebelum Perang Dunia II, untuk melakukan pembinaan ketahanan rakyat dalam menghadapi perang dengan Cina. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan latihan untuk menghadapi serangan dari udara dan menyalurkan distribusi makanan. Selain itu, tonarigumi membantu perbaikan kesehatan sampai di tingkat keluarga, meningkatkan hubungan antara berbagai kelompok masyarakat, menganjurkan penduduk supaya menabung, menyelenggarakan ronda malam, menaikkan hasil pertanian, dan membantu keluarga tentara yang dilanda kesulitan (ANRI, 1988: 4).
Kegiatan utama tonarigumi adalah (1) membantu keibodan (organisasi keamanan) dalam mempertahankan tanah air dan melawan serangan udara, kebakaran, mata-mata, dan penjahat; (2) memberi tahu rakyat mengenai dekrit, peraturan, dan petunjuk pemerintah, serta menyadarkan mereka; (3) membantu peningkatan produksi dan penyerahan padi serta tanaman lain; (4) mendistribusikan catu barang; (5) bekerja sama dengan pemerintah militer dalam urusan militer dan menjalankan pelayanan lain; dan (6) memajukan gotong royong di kalangan penduduk (Kurasawa 1993: 202).
Tonarigumi merupakan usaha paling ambisius dari Jepang untuk menembus desa-desa dalam rangka memobilisasi kaum tani bagi tujuan perang. Penguasa militer mengorganisir rakyat sendiri ke dalam kelompok-kelompok kecil di desa dan kota. Untuk menjamin fungsinya, Jepang memilih kaum priyayi kelas bawah dan kepala-kepala desa atau lurah menjadi kepala tonarigumi di seluruh Jawa. Pembuatan organisasi ini pada gilirannya adalah untuk meningkatkan peran elit priyayi sehingga anggota-anggotanya tunduk serentak kepada peraturan-peraturan pemerintah yang sangat keras dan program latihan yang sangat serupa dengan apa telah dilakukan sebelumnya bagi guru-guru Islam di desa (Benda 1980: 188-189).
Guna menyukseskan tonarigumi , pemerintah bergiat mempropagandakan bahwa tonarigumi berlandaskan semangat gotong royong yang telah lama menjadi tradisi orang Jawa. Dengan kata lain, ia bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Jawa. Demi tujuan itu maka dibuat sebuah lagu berjudul “Tonarigumi” yang selalu dinyayikan di mana-mana untuk menyemarakan tonarigumi. Berikut adalah bait pertama syair lagu tersebut: “Tong, tong, tong karari to Tonarigumi, tetangga kami juga warga gotong royong, pintu terbuka kami saling bantu tolong, kabar mengabarkan segala perkara” (Kurasawa 1993: 206).
Para pemimpin Islam juga dimobilisasi agar menyatakan kepada umat Islam bahwa gagasan tonarigumi sesuai dengan ajaran Islam. Untuk merangsang semangat kerja anggota-anggotanya, maka pemerintah memberikan penghargaan kepada tonarigumi terbaik berupa surat penghargaan dan uang. Dengan cara itu pemerintah berhasil membentuk tonarigumi dari kota-kota sampai ke pedesaan. Tiga bulan setelah diumumkan secara resmi, jumlah tonarigumi meningkat pesat di seluruh Jawa sehingga mencapai 508.745, yang terdiri atas 8.967.320 rumah tangga (Kurasawa 1993: 200-201). Sistem ini dipakai oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang.
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
ANRI. 1988. Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh orang yang Mengalaminya. Jakarta: ANRI.
Benda, H. J. 1980 Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam pada masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kurasawa, A. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia.