Tri Koro Darmo
Tri Koro Darmo adalah salah satu organisasi pemuda pertama di Indonesia dan cikal bakal dari organisasi Jong Java. Pada mulanya Tri Koro Darmo terbentuk dari perpecahan yang terjadi di dalam tubuh organisasi Budi Utomo. Organisasi ini didirikan pada 7 Maret 1915 oleh para pemuda dalam tubuh Budi Utomo, yang menganggap organisasi tesebut terlalu condong kepada kaum tua. Maka, mereka memutuskan untuk mendirikan perkumpulan khusus untuk pemuda (Komandoko 2008: 105).
Para pemuda menganggap bahwa Budi Utomo sejak Kongres Pertama tidak lagi menampakkan diri sebagai organisasi pemuda. Para pendiri organisasi Budi Utomo tidak ada satupun yang masuk dalam jajaran pengurus pusat (hoofdbestuur). Satu-satunya yang dianggap mewakili kalangan pemuda dalam pengurus adalah dr. Cipto Mangunkusumo. Pelopor Tri Koro Darmo adalah Satiman Wirjosandjojo yang pada mulanya berkeinginan untuk membentuk wadah bagi pelajar dari seluruh wilayah Indonesia, namun usahanya gagal, ia pun hanya bisa mendirikan perkumpulan dengan nama Bond van Studeerenden van Java en Madoera (Perkumpulan Pelajar Jawa dan Madura) Tri Koro Darmo di gedung STOVIA, Weltevreden. Selain Satiman, penggagas organisasi ini adalah Kadarman dan Soenardi Djaksodipoero, keduanya adalah pelajar dari Rechtsschool (Abdul Rahman dkk. 2015: 9).
Tri Koro Darmo berarti Tiga Tujuan Mulia, yaitu Sakti, Budi, dan Bakti. Organisasi yang berlambangkan keris ini menonjolkan diri sebagai organisasi kepemudaan, namun masih tetap bersifat Jawa-sentris (Leirissa, 1989: 4). Ini terlihat dari tujuan Tri Koro Darmo, yakni “Mencapai Jawa Raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Lombok”, dan pada awalnya hanya menerima pelajar yang berasal dari Jawa dan Madura (Komandoko 2008: 106).
Anggota-anggota pertama dari Tri Koro Darmo adalah pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) di Weltevreden, dan Koningin Wilhelmina School (KWS); mereka sangat antusias untuk bergabung dengan organisasi ini (Rahman dkk. 2015: 13). Dalam anggaran dasar rumah tangganya, Tri Koro Darmo mempunyai asas dan tujuan, yaitu Menimbulkan pertalian diantara murid murid bumiputera dan sekolah-sekolah menengah dan kursus kejuruan, menambah pengetahuan umum bagi anggotanya dan membangkitkan serta mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan di Hindia (Sudiyo dkk. 1997: 47)
Tidak lama setelah berdirinya Tri Koro Darmo di Jakarta, pelajar Surabaya mendirikan cabang pertama di Surabaya. Anggotanya terdiri atas para pelajar MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Menengah Pertama), HBS (Hogere Burger School, Sekolah Menengah Umum), dan NIAS (Nederlandsch-Indie Artsen School, Sekolah Kedokteran Hindia Belanda). Selanjutnya, tujuh bulan setelah pendiriannya, pada bulan November 1915 organisasi ini berhasil mendirikan majalah sendiri dengan nama yang sama. Artikel dalam majalah baru itu ditulis dalam bahasa Jawa dan Belanda. Pada bulan April 1916, Tri Koro Dharmo mengadakan rapat tahunan pertama di Surakarta. Dalam kesempatan itu, KGPAA Mangkunegoro VII memberikan bantuan dengan memperbolehkan peserta rapat menginap dan mengadakan rapat di Pura Mangkunegaran. Pada akhir rapat peserta dihibur dengan pertunjukan wayang orang (Rahman dkk. 2015: 15).
Pada tanggal 7 November 1916, Tri Koro Darmo kembali membuka cabang di Bogor. Tri Koro Darmo cabang Bogor ini beranggotakan 60 pelajar MLS (Middelbare Landbouwschool, Sekolah Menengah Pertanian), NIVS (Nederlandsch-indische Veeartsen School, Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda). Dalam rapat tahunan kedua, jumlah anggota naik menjadi 333 orang (Van Miert 2003: 49-50). Meskipun perkembangan Tri Koro Darmo cukup menjanjikan, dengan keanggotaan yang terbatas muncul ketidakpuasan yang berasal dari para pemuda Sunda dan Madura. Satiman pun dituduh bersikap sukuisme dan menentang persatuan. Kemudian lewat Majalah Tri Koro Darmo tanggal 1 Januari 1916, Satiman menepis anggapan bahwa seolah-olah Tri Koro Darmo menanamkan perpecahan antara suku di Nusantara; ia justru menekankan bahwa langkah Tri Koro Darmo hanyalah mengangkat harkat dan martabat orang-orang Jawa untuk kemudian menjalin persaudaraan dengan seluruh bangsa di Hindia Belanda ( Rahman dkk. 2015: 14)
Pengurus Tri Koro Darmo kemudian mengumumkan bahwa keanggotaan yang terbatas ini hanyalah bersifat sementara. Selanjutnya pada kongres pertama Tri Koro Darmo di Solo pada 12 Juni 1918, organisasi ini resmi berubah nama menjadi Jong Java. Meskipun nuansa Jawa masih sangat terasa dengan perubahan nama tersebut, dalam hal keanggotaan sudah lebih luas yakni mencakup Jawa, Madura, Bali dan Lombok (Leirissa dkk. 1989: 4). Sebagai organisasi kepemudaan, Tri Koro Darmo maupun Jong Java sebagai kelanjutannya tidak menyentuh ranah politik dan para anggotanya dilarang menjalankan politik maupun menjadi anggota partai politik. Karena sifatnya yang non-politik, pemerintah kolonial mengakui Jong Java sebagai organisasi resmi setelah pemerintah kolonial meminta agar anggaran dasar organisasi ini disesuaikan (Komandoko 2008: 106).
Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Abdul Rahman, Momon dkk (2015) Jong Java, Peranannya dalam Persatuan Bangsa (Cet. II). Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.
Komandoko, Gamal (2008) Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Jakarta: Niaga Swadaya.
Leirissa, RZ dkk (1989) Sejarah Pemikiran Tentang sumpah Pemuda. Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudiyo dkk (1997) Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: DEPDIKBUD-MUSKITNAS.
Van Miert, Hans (2003) Dengan semangat berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Jakarta: KITLV.