Tujuh Setan Desa
Setan Desa adalah istilah D. N. Aidit untuk menyebut sekelompok orang yang merupakan penindas dan penghisap di desa-desa (Artika 2014). Mereka yang termasuk dalam klasifikasi Tujuh Setan Desa, yaitu: (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, dan (7) kapitalis birokrat desa (Setiawan 2003, 263). Setan-setan desa menurut Aidit telah menghisapi darah para petani miskin lewat hubungan-hubungan yang eksploitatif. Sementara itu, kelas terhisap mencakup petani miskin yang berkerja sebagai penggarap di tanah milik tuan tanah atau petani kaya. Mereka disebut pula sebagai proletar desa yang mengandalkan tenaga kerjanya untuk mendapatkan penghasilan (Sasongko 2006, 121).
Tujuh Setan Desa sangat erat kaitannya dengan isu agraria yang menguat pada pada akhir 1950-an. Istilah yang menggambarkan penindasan terhadap kaum tani muncul seiring dengan fokus Partai Komunis Indonesia (PKI) menuntut reforma agraria (Pratikno 2000). Berbagai gerakan dilakukan oleh PKI menyusul kebuntuan realisasi pembagian tanah untuk petani yang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dalam konteks ini, oleh PKI pemerintah dinilai lamban dalam mengatur sistem bagi hasil berdasar Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) 1960. Hal itulah yang kemudian mendorong PKI menempuh cara sendiri dalam mengatasi permasalahan para petani (Triyana 2015).
Pada Kongres Nasional VI PKI (1959) dihasilkan keputusan bahwa kader-kader partai harus bekerja berdasar hasil-hasil riset guna memperbaiki perkerjaan praktis mereka dalam membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa. Dalam hal ini terutama adalah mengorganisasi kaum buruh dan kaum tani. Sejak saat itulah dilakukan riset yang berfokus pada kaum tani dengan menerapkan prinsip “3 sama”, yaitu sama bekerja, sama makan, dan sama tidur. Dengan membawa prinsip tersebut para kader-kader terpilih dikirim ke desa-desa dan harus bekerja, makan, serta tidur bersama para buruh tani dan tani miskin. Menurut Mortimer, sejak April 1959 PKI memberikan perhatian yang besar terhadap desa (Aidit 1964, 11-13).
Hasil-hasil riset kader-kader PKImenunjukkan adanya pelanggaran dan tindakan-tindakan yang merugikan kaum tani dari segelintir orang. Sebagai contoh adalah jika produksi padi berada di bawah taksiran atau terjadi kemarau dan banjir maka para petani disalahkan kemudian diusir dari tanah garapan oleh “lurah jahat”. Hasil penelitian para kader menunjukkan adanya pembagian kelas-kelas di desa. Kelas-kelas tersebut memperlihatkan pengisapan dan penindasan yang dilami oleh pekerja di desa oleh tujuh kategori penindas. “Tujuh Setan Desa” inilah yang menurut PKItelah menjadi penghambat perubahan di pedesaan (Triyana 2015). Keberadaan “Tujuh Setan Desa” meskipun telah ditetapkan berbagai peraturan akan tetap melekat dan menjadi penghalang peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di desa. Di sisi lain, langkah-langkah yang ditempuh PKIjuga merupakan upaya memperkuat basis masanya dari kalangan petani sehingga isu-isu yang dikemukakan selalu mengandung unsur redistribusi aset yang tidak merata dan cenderung merugikan masyarakat petani miskin (Aidit 1964, 11-13).
Penulis: Rafngi Mufidah
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Aidit, D.N., 1964. Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa (Laporan Singkat tentang Hasil Riset Mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani Djawa Barat). Jakarta: Jajasan Pembaruan.
Artika, I. Wayan, 2014. “Representasi Revolusi Indonesia Dalam Puisi “Rapat Mengganyang 7 Setan” Karya Hr Bandaharo.” Prasi: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajarannya 9 (17).
Pratikno, Fadjar, 2000. Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Penerbit Pressindo.
Sasongko, Tri Hadiyanto, 2006. Potret Petani: Basis Pembaruan Agraria. Indonesia: Akatiga.
Setiawan, Hersri, 2003. Kamus Gestok. Indonesia: Galang Press, 2003.
Triyana, Bonie, 2015. “Cerita di Balik Tujuh Setan Desa.” Diakses pada 28 Juni 2022 dari https://historia.id/politik/articles/cerita-di-balik-tujuh-setan-desa-vXWwm/page/1