Vorstenlanden

From Ensiklopedia


Vorstenlanden merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut wilayah istimewa pada masa Kolonial. Wilayah bagian dari  vorstenlanden  yang sejak berdirinya diberikan otonomi politik dan administrasi oleh Pemerintah Kolonial, yang pada awal abad ke-19 dikecualikan dari kebijakan fiskal kolonial termasuk Sistem Tanam Paksa dan pajak tanah (Wahid, 2017:31).

Secara etimologis, istilah Bahasa Belanda vorstenlanden berarti tanah-tanah kerajaan. Dalam historiografi Indonesia dan utamanya dokumen-dokumen kolonial, istilah tersebut digunakan untuk menyebut wilayah bekas Kerajaan Mataram Islam. Melalui serangkaian peperangan sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) berhasil mengalahkan kekuatan politik terakhir di Jawa tersebut pada tahun 1755. Melalui Perjanjian Giyanti, VOC mengambil alih sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Mataram di pesisir utara, dan kemudian memecah wilayah inti kerajaan di pedalaman Jawa menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Wahid, 2017:35-36).

Pada tanggal 13 Februari 1755, perjanjian Giyanti ditandatangani, dan VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, menguasai separuh wilayah Jawa Tengah. Belanda berusaha menciptakan stabilitas kepemimpinan di wilayah Jawa Tengah, dengan cara mempertahankan seorang raja di atas tahta Mataram yang akan memerintah Jawa demi kepentingan mereka (Ricklefs, 2005:221).

Sekitar tahun 1812 sampai tahun 1825, mulai muncul gejokal dari masyarakat Jawa untuk melawan Belanda, karena mereka masih mencampuri urusan istana, salah satunya dalam pergantian raja Yogyakarta (Ricklefs, 2005:252). Ditengah keadaan kacau tersebut Pangeran Diponegoro, memimpin peperangan yang berawal di daerah Tegalrejo pada Mei 1825, sampai akhirnya Belanda mengirimkan serdadu perang pada 20 Juli 1825 untuk menangkap Diponegoro. Dengan menjalarnya serangan-serangan dari orang-orang Jawa, maka kekuasaan Belanda di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai terancam. Pada tahun 1827, Belanda menemukan cara efektif melakukan penyerangan, dengan menerapkan benteng-stelsel (system benteng). Dimana akhir dari perang Jawa pada Maret 1830, Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang dan berujung penawanan oleh pihak Belanda (Ricklefs, 2005:255-257.

Keberhasilan Belanda memenangkan Perang Jawa memperkokoh posisi politik mereka atas Jawa, yang melapangkan jalan untuk menjalankan agenda politik ekonominya di pulau ini. Guna menghindari konfrontasi dari kalangan elite Jawa, Pemerintah Belanda memutuskan untuk mengambil kebijakan politik secara hati-hati, utamanya tidak menguasai secara keseluruhan dan menghapuskan kerajaan-kerajaan Jawa, melainkan memberikan otonomi kepada Raja Jawa untuk mengelola wilayahnya. Perang Jawa juga merupakan perlawanan terakhir kelompok elite bangsawan Jawa (Ricklefs, 2005:257).

Melalui beberapa perjanjian di tahun awal sesudah berakhirnya perang Jawa, Pemerintah Belanda secara perlahan mengurangi wilayah kekuasaan Raja Jawa. Mereka dipaksa untuk menyerahkan wilayah- wilayah Mancanegara mereka kepada Pemerintah Kolonial untuk kemudian dijadikan sebagai wilayah administrasi kolonial, Karesidenan Kedu, Banyumas, Bagelen, Madiun dan Kediri. Wilayah kekuasaan Para Penguasa Jawa kini hanya tinggal bekas wilayah inti Kerajaan Mataram (Negaragung), yang terbentang antara gunung Merapi dan Gunung Lawu, utamanya kota Surakarta dan Yogyakarta (Houben, 1994: 9-10).

Foto Paku Buwono X, Susuhunan Solo, dan Residen Willem de Vogel. Sumber: National Museum van Wereldculture (https://artsandculture.google.com/asset/studio-portrait-of-paku-buwono-x-susuhunan-of-solo-and-resident-willem-de-vogel-photographer-unknown/DQF84-9mBSN9ig )

Penulis: Annisaa Khansa Labibah
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Houben, Vincent J.H. 1994. Kraton and Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830- 1870. Leiden: KITLV Press.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Wahid, Abdul. 1966. “Dualisme Pajak di Jawa: Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstenlanden pada Masa Kolonial, 1915–1942” dalam Lembar Sejarah hlm.28-47. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.