Welvaart Politiek
Welvaart politiek adalah istilah Belanda yang memiliki konotasi makna ‘politik kesejahteraan’. Implementasi politik kesejahteraan ini tidak terlepas dari transisi politik pemerintahan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-19, yaitu dari politik kolonial liberal menuju politik etis. Politik kesejahteraan ini merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral pemerintah Belanda terhadap rakyat bumiputra untuk mengantarkan dan mendorong orang Jawa ke arah kesejahteraan, meletakkan daerah jajahan di bawah kekuasaan Belanda yang efektif agar kesejahteraan dapat terwujud, dan mengakhiri pemindahan batig saldo (surplus anggaran belanja) dari anggaran Hindia ke kas Negeri Belanda. Dengan skema ini diharapkan dapat menghentikan eksploitasi terhadap bumiputra (Poeze, Dijk, & van der Meulen 2008, 25).
Sebetulnya, dorongan ke arah politik yang lebih humanis datang dari kelompok sosialis, yang memiliki perwakilan pertama di Parlemen Belanda sejak 1887. Kelompok konservatif yang berkoalisi dengan kelompok agama juga menginginkan intervensi negara dalam mengupayakan kemajuan secara berkelanjutan bagi negara jajahan. Dr. Abraham Kuyper yang terpilih menjadi Perdana Menteri Belanda pada 1901, dengan sigap mengintegrasikan gagasan program kesejahteraan politik berjudul “Program Ons” yang pernah ditulisnya pada 1880 ke dalam teks pidato Ratu Wilhelmina pada 1901. Selain Kuyper, eksponen lain yang cukup vokal menyuarakan gagasan kesejahteraan adalah Conrad Theodore van Deventer, pakar hukum Belanda yang menulis karangan Een Eereschuld (Hutang Budi). Tulisan tersebut terbit di majalah De Gids pada 1899. Ia mengecam praktik Tanam Paksa dari pengusaha perkebunan tebu yang menyebabkan kemelaratan dan kesengsaraan orang-orang Jawa. Ia juga mengintensifkan pembicaraan terkait pemisahan anggaran belanja antara negara induk dengan wilayah jajahan (Poeze, Dijk, & van der Meulen 2008, 25). Tidak hanya itu, para ambtenaar dan tokoh partikelir lain seperti, Brooshooft, dan Snock Hurgronje juga terlibat aktif dalam menarasikan politik kesejahteraan bagi Hindia Belanda.
Sebagai respons aktif atas tuntutan tersebut, pada awal abad ke-20, dinas-dinas khusus pemerintah mulai gencar melakukan intervensi terhadap kehidupan pedesaan yang belum pernah tersentuh, misalnya melalui perawatan kesehatan, penyuluhan pertanian, pembangunan irigasi, monopoli opium, pemberian kredit untuk pertanian, pegadaian, rel kereta api dan trem, layanan pajak, dan pengajaran (Poeze, Dijk, & van der Meulen 2008, 25; Djoened, dkk 2008, 24). Proyek kesejahteraan rakyat berada di bawah tanggung jawab Dinas Kesehatan Umum, sebagai bagian dari Departemen Pendidikan. Pada abad ke-19, para pamong praja telah melakukan pencacaran dan penyuntikan. Sejak 1851 telah memiliki tenaga inti yang terdiri atas dokter-dokter Jawa. Bersamaan dengan kemunculan wabah pada 1911, banyak anggaran belanja yang digunakan untuk mendirikan rumah sakit, apotik, dan pencacaran (Djoened 2008, 59-60). Kebijakan kesejahteraan juga mencakup pengaturan agar pembukaan lahan tidak terlalu eksesif untuk menghindari upaya eksploitasi oleh negara (Soerabaja Handelsblad 1924, 5).
‘Wajah lain’ dari implementasi politik kesejahteraan ini justru membawa keuntungan bagi pihak Belanda, misalnya terjadi peningkatan konsumsi barang-barang industri oleh orang desa karena sudah mulai terlibat aktif dalam ekonomi uang. Pada 1879, sekolah-sekolah raja yang pertama didirikan untuk mendidik para ambtenaar dari kalangan priyayi. Sekolah-sekolah guru yang merana mendapat semangat baru, selanjutnya didirikan juga sekolah hukum, sekolah dokter hewan, dan sekolah tinggi pertanian. Dalam hal ini diusahakan agar rencana pembelajaran serupa dengan sekolah-sekolah di Belanda. Para lulusan diarahkan untuk bekerja di lembaga-lembaga negara dan industri. Dengan demikian dapat menghemat tenaga Eropa yang seringkali mahal (Poeze, Dijk, & van der Meulen 2008, 26).
Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Poeze, Harry A., Cornelis Dijk, dan Inge van der Meulen, 2008. Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Djoened, Marwati; Poesponegoro; Nugroho Notosusanto, 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 5: Zaman Kebangkitan Nasional & Masa Hindia. Jakarta: Balai Pustaka (Persero).
TP, 1924. “De commissie voor de welvaarts-politiek. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,” Soerabaja Handelsblad, 13 Desember 1924, 5. https://resolver.kb.nl/resolve?urn=ddd:010220181:mpeg21:p005.