Siauw Giok Tjan: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Penulis; Yerry Wirawan" to "{{Penulis|Yerry Wirawan|Universitas Sanata Dharma|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}")
No edit summary
 
(One intermediate revision by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Siauw Giok Tjan - ALB (Idayu 711) 40 GAM B.jpg|center|thumb|484x484px|Siauw Giok Tjan (Tengah). Sumber: [https://khastara.perpusnas.go.id Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - ALB (Idayu 711) 40 GAM B]]]
Siauw Giok Tjan adalah seorang tokoh politik Tionghoa. Siauw Giok Tjhan dilahirkan pada 23 Maret 1914 di Kapasan, sebuah daerah Pecinan di kota Surabaya. Orang tua Siauw adalah percampuran Tionghoa Peranakan dari pihak ayah yang bernama Siauw Gwan Swie dan ibunya yang bernama Kwan Tjan Nio berasal dari keluarga Totok Hakka.  
Siauw Giok Tjan adalah seorang tokoh politik Tionghoa. Siauw Giok Tjhan dilahirkan pada 23 Maret 1914 di Kapasan, sebuah daerah Pecinan di kota Surabaya. Orang tua Siauw adalah percampuran Tionghoa Peranakan dari pihak ayah yang bernama Siauw Gwan Swie dan ibunya yang bernama Kwan Tjan Nio berasal dari keluarga Totok Hakka.  


Line 35: Line 37:


Sam Setyautama, Suma Mihardja. ''Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia''. Jakarta: KPG, 2008.
Sam Setyautama, Suma Mihardja. ''Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia''. Jakarta: KPG, 2008.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 20:57, 28 August 2024

Siauw Giok Tjan (Tengah). Sumber: Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - ALB (Idayu 711) 40 GAM B

Siauw Giok Tjan adalah seorang tokoh politik Tionghoa. Siauw Giok Tjhan dilahirkan pada 23 Maret 1914 di Kapasan, sebuah daerah Pecinan di kota Surabaya. Orang tua Siauw adalah percampuran Tionghoa Peranakan dari pihak ayah yang bernama Siauw Gwan Swie dan ibunya yang bernama Kwan Tjan Nio berasal dari keluarga Totok Hakka.

Sebelum kedua orang tua Siauw Giok Tjhan menikah, keluarga ibu Siauw memberikan syarat jika anaknya menikah dengan seorang peranakan maka anak pertama mereka harus disekolahkan di sekolah Tionghoa. Ayah Siauw Giok Tjhan kemudian memasukkannya ke sekolah di Tiong Hwa Hwe Koan (THHK). Namun saat kakeknya pulang ke Tiongkok, ayahnya memindahkan Siauw kecil ke sekolah dasar Belanda. Tujuannya agar Siauw mendapatkan pendidikan yang memudahkannya mencari pekerjaan di kemudian hari. Selanjutnya Siauw sekolah tingkat menengah Belanda HBS.

Bersekolah di sekolah Belanda memberi kesempatan pada Siauw, selain bahasa Belanda, untuk mempelajari beragam bahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Jerman yang menjadi modal dasar sangat penting untuk memenuhi minat bacanya yang luas. Selain buku-buku berbahasa barat, Siauw juga pembaca koran Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po yang merupakan koran-koran langganan ayahnya. Selain itu Siauw menggemari cerita-cerita Tiongkok yang sudah diterjemahkan atau kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana.

Sejak muda Siauw Giok Tjhan telah aktif di organisasi HCTNH (Hua Chiao Tsing Nien Hu atau perkumpulan pemuda Tionghoa), yang anggota-anggotanya berlatar kelas menengah dan bawah. Di sini dia menjadi ketua kepanduannya. Namun, saat itu kesadaran politiknya baru tumbuh ketika di usia 18 tahun (1932), Siauw Giok Tjhan menjadi anggota Partai Tionghoa Indonesia, yang dipimpin Liem Koen Hian tokoh politik Tionghoa terkemuka. Setelah sekolahnya selesai dan kondisi ekonomi semakin sulit, Siauw Giok Tjhan memutuskan bekerja di harian Sin Tit Po, yang juga dipimpin oleh Liem Koen Hian, pada tahun 1933. Setahun kemudian dia bekerja di harian Mata Hari yang berada di Semarang. Koran yang disebut terakhir ini kemudian menjadi tempat penyaluran aspirasi politik PTI.

Di sini pandangan politik Siauw Giok Tjhan semakin menguat dengan sikap pro Indonesia. Saat pimpinan koran Mata Hari Kwee Hing Tjiat meninggal dunia, Siauw menggantikannya sebagai pimpinan editorial. Koran Mata Hari memiliki sikap anti Jepang sehingga ketika Jepang datang tahun 1942, koran ini ditutup. Selanjutnya Siauw hidup berpindah tempat sebelum memutuskan pergi ke Malang setahun kemudian. Di sana dia membuka toko serba ada yang diberi nama Tjwan-Tjwan-an sembari aktif di kegiatan diskusi-diskusi politik. Sesaat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Siauw Giok Tjhan beserta adiknya Siauw Giok Bie bersama sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan Angkatan Muda Tionghoa (AMT) di Malang untuk menunjukkan dukungan masyarakat Tionghoa pada kemerdekaan RI.

Di awal kemerdekaan, Siauw semakin aktif di kegiatan organisasi. Dia membentuk Palang Biru di Malang yang diketuai Tan Sie Liep. Organisasi Palang Biru ini bertujuan mengobati korban-korban luka dan menyediakan obat-obatan. Di periode yang sama, Siauw berpartisipasi dalam penerbitan majalah Pemoeda dan Liberty yang keduanya diterbitkan di kota Malang. Kiprahnya di kegiatan politik semakin berkembang dengan bergabung dalam Partai Sosialis dan menjadi anggota Badan Pekerja KNIP yang bertempat di Yogyakarta. Dalam kabinet Amir Syarifuddin, Siauw duduk sebagai Menteri Urusan Minoritas. Siauw Giok Tjhan menerbitkan koran Harian Ra’jat yang kemudian pada tahun 1953 dibeli oleh Njoto untuk menjadi koran resmi PKI.

Di tahun 1950-an hingga 1960-an kegiatan politik Siauw semakin bertambah penting. Dia berturut-turut menjadi anggota parlemen dari 1950 hingga 1965. Saat persoalan yang dihadapi masyarakat Tionghoa semakin rumit, Siauw bersama sejumlah tokoh Tionghoa (antara lain Yap Thian Hiem dan Oei Tjoe Tat) mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) tahun 1954 dan menjadi ketua umumnya. Melalui organisasi Baperki inilah kiprah sosial politik golongan Tionghoa dalam membangun konsep nasion Indonesia menjadi semakin menonjol. Baperki mengusung konsep Integrasi, yang artinya masyarakat Tionghoa sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia. Dalam konsep ini, masyarakat Tionghoa dapat menjaga kebudayaan leluhurnya tanpa kehilangan status hukum sebagai warga negara Indonesia.

Organisasi ini berkembang pesat dengan keanggotan mencapai 300 ribu orang yang terdiri dari beragam latar belakang. Saat banyak sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan WNI dilarang bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa maka muncul kebutuhan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, Baperki segera menjawab kebutuhan tersebut membangun sekolah-sekolah pada tahun 1956. Sebuah yayasan untuk mengelola sekolah-sekolah Baperki ini didirikan pada tahun 1958.

Baperki juga mendirikan universitas di Jakarta tahun 1959. Pada tahun 1962, universitas Baperki juga dibuka di Surabaya. Universitas ini menerapkan tradisi dunia kemahasiswaan yang berbeda dengan kampus-kampus lainnya, yaitu dengan meniadakan perpeloncoan. Sebagai gantinya, para mahasiswa baru masuk dilibatkan dalam pekerjaan gotong royong membersihkan jalan atau membangun bangunan kampus. Universitas yang didirikan Baperki kemudian berganti nama menjadi Universitas Res Publica (Ureca) pada tahun 1962 yang namanya diambil dari pidato Sukarno. Ureca yang berkembang sangat pesat. Pada tahun 1964 tercatat 4000 mahasiswa. Pada bulan Mei 1965, Ureca telah memiliki cabang di Medan, Semarang, Yogyakarta.

Pasca Peristiwa 1965 politik Indonesia dipenuhi dengan kekerasan pada kelompok kiri serta simpatisannya. Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca dibakar oleh massa dan mahasiswa. Tidak lama kemudian, 4 November 1965, massa menyerang rumah Siauw yang dilanjutkan dengan penangkapannya (Siauw Tiong Djin, 2010: 385). Sejumlah tokoh Baperki kemudian juga turut ditangkap disusul kemudian pembubaran Baperki pada Maret 1966.

Siauw Giok Tjhan menjalani tahanan penjara di Nirbaya dan Salemba, Jakarta selama 10 tahun dengan nomor tahanan 2371. Sejak September 1975, dia menjadi tahanan rumah dengan kewajiban melapor ke Kodam seminggu sekali. Status pembebasannya baru keluar 1 Mei 1978. (Djin, 2010: 388). Karena usia lanjut dan masa penahanan yang panjang, kondisi kesehatannya terus menurun.

Pada bulan September 1978, atas bantuan Adam Malik yang saat itu menjadi Wakil Presiden, Siauw Giok Tjhan dapat pergi berobat ke negeri Belanda. Di tengah pengobatan, Siauw tetap aktif berkegiatan memberi ceramah di berbagai kesempatan. Sesaat sebelum memberikan seminar di Leiden pada bulan November 1981, Siauw mendapat serangan jantung dan meninggal dunia.

Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi:

Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan, Dalam Membangun Nasion Indonesia. Tanpa kota terbit: Lembaga Kajian Sinergi, Indonesia, 2010.

Leo Suryadinata. Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary. Singapore: ISEAS, 2012.

___. Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. 4th edition. Singapore: ISEAS, 2015.

Sam Setyautama, Suma Mihardja. Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: KPG, 2008.