Adam Malik

From Ensiklopedia
Adam Malik. Sumber: ANRI - Katalog Daftar Arsip Foto Personal. P01-435.

Adam Malik adalah seorang politisi, diplomat, dan jurnalis dengan jabatan tertinggi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-3  (1978 – 1983). Ia dianggap sebagai anak zaman yang penuh warna dan menjadi tokoh besar sebagai "self-made man". Seorang biograf menulis, "...Adam Malik ditempa dalam Universitas Kehidupan–atau "University of Life" dan Universitas Perjuangan–atau "University of Struggle" (Salam, 1990: 99). Tidak banyak sosok yang bisa bertahan di kabinet dalam dua rezim yang berbeda seperti dirinya. Adam Malik mulai diangkat sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964), Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin (1965-1966), kemudian diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (1966) di samping menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Sejak saat itu jabatan Menlu terus dipercayakan kepadanya hingga empat kali (1966-1978) dan jabatan tertingginya adalah selaku Wakil Presiden (1978-1983) pada Kabinet Pembangunan III (Simanjuntak, 2003: 10-11)

Wartawan cum politikus ini lahir di Pematang Siantar (Juli 1917), dari keluarga berada yang hidup di tengah kuli perkebunan. Ayahnya adalah pedagang Mandailing pemilik toko yang cukup sukses di "tanah dollar" (julukan untuk Pematang Siantar), sehingga dia menjadi "...satu-satunya orang.. yang mempunyai sedan Buick." (Malik, 1978: 12). Namun hidup dalam suasana berkecukupan tidak membuatnya menutup diri dari penderitaan sesama. Ayahnya sering mengajak Adam kecil untuk berkeliling menjajakan dagangan ke kediaman para kuli yang didatangkan dari Jawa tersebut. Ia lalu, "Memperhatikan dan merasakan betul betapa pahitnya penderitaan hidup yang mereka pikul", karena, "Diawasi dengan ketat, diperlakukan dengan kasar". Situasi perkebunan yang dilihatnya sehari-hari tak lain adalah, "Perbudakan dalam bentuk yang tertutup" (Malik 1978: 10) dan kelak membentuk sikapnya yang anti penjajahan.

Setelah lulus sekolah dasar Belanda (HIS) ayahnya mengirim ke Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi untuk dididik menjadi seorang ulama mengikuti jejak leluhurnya. Walaupun semula ia mau masuk ke sana lebih karena supaya, "Dapat keluar dari lingkungan orang tua", namun segera dia menikmati kehidupan barunya, karena sekolah ini dijalankan oleh, "Anak-anak muda yang berpikiran amat modern'". Di sana Adam remaja yang manja berubah menjadi sosok yang disiplin, efisien dan mandiri. Sayang, dia hanya setahun berada di sini, karena dipindah ke sekolah agama lain di Tanjung Pura, karena ayahnya tetap ingin mengirimnya ke Al-Azhar di Kairo. Rupanya tempat yang baru ini justru tidak cocok baginya dan setelah dua tahun di sana, barulah ia berhasil membujuk ayahnya untuk mengeluarkannya, dengan alasan ingin menjadi pedagang. Dan rupanya dia memang bisa membuktikan dirinya sebagai pedagang yang berhasil (Malik, 1978: 14-17). Namun ini bukanlah cita-cita Adam yang sebenarnya. Semakin lama dirinya justru aktif dalam gerakan kebangsaan di kampungnya: mulai dari mendirikan cabang Indonesia Muda, Perkumpulan Supir-Supir Indonesia hingga cabang Partai Indonesia (Partindo). Pemuda ini semakin bergiat dalam Partindo sejak diangkat sebagai anggota pimpinan Partindo Medan. Maka di usia 17 tahun ia telah “mempunyai kedudukan penting” sebagai pimpinan Partindo di Sumatra Timur. Seiring dengan politik, dia juga tertarik dengan jurnalisme serta rajin menulis di dalam surat kabar Pelita Andalas dan majalah Partindo. Aktivitas jurnalisme ini membawanya hilir mudik Siantar-Medan. Ketika pemerintah mengumumkan pelarangan Partindo, Adam berangkat ke Batavia (1934) demi mengejar cita-cita politiknya (Malik, 1978: 17-21; Frederick, 2010: 545). 

Di ibukota, Adam Malik hanya memiliki seorang kawan, Yahya Nasution (bekas anggota Partindo). Rupanya Yahya adalah "seorang agitator dalam Partai Republik Indonesia (PARI)" bentukan Tan Malaka (1897-1949), seorang politikus kawakan yang menjadi buronan pemerintah-pemerintah kolonial. Hubungannya dengan Yahya ini membawanya mendekam di kurungan selama setahun. Di penjara ia malah mendapat ide untuk mendirikan "Kantor berita nasional pertama di Betawi" yang dinamai ANTARA. Dengan berbagai kesulitan–namun ada juga dukungan "beberapa pemuda nasionalis yang dinamis"--maka ANTARA resmi berdiri 13 Desember 1937 dan kelak akan menjadi kantor berita kebanggaan Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya (Mei 1937) Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan–-oleh para mantan anggota Partindo, seperti A.K. Gani, Amir Syarifuddin, Wilopo dan Sartono–maka Adam Malik pun segera bergabung menjadi anggota (Malik, 1978: 21-25).

Menyusul serbuan Jepang ke Pearl Harbor (Desember 1941) bersama 500 orang yang dicurigai polisi Belanda, Adam Malik ditangkap polisi Belanda. Bahkan dirinya nyaris diinternir ke Australia dan sudah dibawa ke pelabuhan Cilacap (Maret 1942). Beruntung rencana ini gagal, karena kapal yang akan membawanya ditenggelamkan Jepang. Di pelabuhan terakhir Jawa ini mitos supremasi Belanda telah runtuh bagi Adam:

"...Kalau dulu orang-orang Belanda bersikap demikian bangga, sombong dan tak mengenal kasihan waktu bercokol di Betawi sebagai pusat kekuasaan kolonial, maka di Cilacap itu saya menyaksikan orang-orang Belanda berlutut minta-minta ampun melihat pedang samurai. Peristiwa inilah di saat-saat terakhir menjelang tamatnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang amat membekas dalam pikiran saya" (Malik 1978: 207-208; Frederick, 2010: 545).  

Di masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan, Adam Malik merupakan salah satu tokoh pemuda yang berada di pusat pusaran politik. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama rekan-rekannya di asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng 31, (Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana), Adam Malik melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan. Pengalamannya dituliskannya dalam Riwajat dan Perdjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Augustus 1945 (1948, cetakan ke-7 1982). Kemudian dia dikenal sebagai pendukung Tan Malaka dan partai Murba-nya. Di era pemerintahan Sukarno, Adam sempat menjadi menteri, setelah sebelumnya dipercaya menjadi duta besar Indonesia bagi Uni Soviet (1960-1964). Alasan Sukarno memilihnya–mengingat Adam bukan tamatan universitas atau Akademi Dinas Luar Negeri–tak lain karena dirinya adalah pejuang kemerdekaan, yang tidak mungkin mengkhianati bangsa dan negaranya. Prestasi diplomatiknya mulai muncul dalam perundingan yang sukses dengan Belanda soal pengembalian Papua (1962), di samping itu dirinya juga ditugaskan untuk membeli senjata dari Soviet dalam perjuangan Trikora (Salam, 1990: 99).

Ketika Soeharto tampil sebagai pimpinan Orde Baru, posisi ujung tombak diplomasi bagi pemerintah yang baru lahir adalah Adam Malik. Seorang akademisi pengamat politik luar negeri Indonesia memberikan ulasannya: "....Malik's revolutionary credentials, his proven anti-communism, and his diplomatic experience made him a natural political partner for a military establishment which required a civilian figure as public interlocutor with the outside world" (Leifer 1983: 113-14). (Kredensial revolusioner Malik, sikap anti-komunismenya yang terbukti, dan pengalaman diplomatiknya menjadikannya mitra politik alami bagi kekuasaan militer yang membutuhkan tokoh sipil sebagai kawan bicara publik dengan dunia luar).

Selagi menjabat sebagai menlu, Adam Malik telah menorehkan kontribusinya bagi kepentingan nasional, regional maupun internasional, yakni (1) usahanya agar Indonesia kembali ke politik luar negeri bebas aktif, (2) mencetuskan gagasan terbentuknya ASEAN (asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara) (3) ketika terpilih sebagai Presiden ke-26 Sidang Umum PBB (1971-1972) dirinya berperan besar dalam masuknya Republik Rakyat China sebagai anggota badan dunia tersebut (Oktober 1971), menggantikan Republik China Taiwan. Selaku diplomat senior, Adam terkenal dengan jargonnya, "Semua bisa diatur", yang mencerminkan pribadinya yang optimis dan pantang mundur dalam menghadapi kesulitan (Salam, 1990: 99-101).

Secara pribadi Adam Malik banyak menolong sahabat lamanya yang mengalami perkara politik, misalnya tokoh-tokoh Tionghoa yang dimusuhi rezim Orde Baru yakni Go Gien Tjwan (mantan wakil direktur ANTARA) dan Siauw Giok Tjhan (Ketua Baperki). Mereka berdua bisa meninggalkan Indonesia karena campur tangan Adam Malik (Erkelens, 2008: 202; Siauw, 2010: 404, 411). Haji Adam Malik menutup mata di Bandung, September 1984, dan dimakamkan di TMP Kalibata. Namanya kembali muncul pada 2008, ketika muncul tuduhan bahwa dirinya adalah "agen CIA", yang berawal dari sebuah buku (Weiner, 2008), namun tuduhan ini segera dibantah oleh keluarga dan koleganya.

Penulis: Didi Kwartanada


Referensi

Erkelens, Jaap (2008). "Dr. Go Gien Tjwan dalam Kancah Sejarah", dalam Go Gien Tjwan (2008). Desa Dadap: Wujud Bhinneka Tunggal Ika. Penerjemah Hans Daeng. Jakarta: ELKASA.

Frederick, William H. (2010), "Adam Malik" dalam Peter Post et al. (eds.). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War. Leiden: Brill.

Leifer, Michael (1983). Indonesia's Foreign Policy. London etc: George Allen & Unwin -RIIA.

Malik, Adam (1978). Mengabdi Republik. Jilid I: Adam dari Andalas. Jakarta: Gunung Agung.

Salam, Solichin (1990). Wajah-wajah Nasional. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam.

Siauw Tiong Djin (2010). Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia. Jakarta: Lembaga Kajian Sinergi Indonesia.

Simanjuntak, P.N.H (2003). Kabinet-kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan,.

Weiner, Tim (2008). Membongkar Kegagalan CIA. Alih bahasa Akmal Syamsuddin. Jakarta: Gramedia.