Hoegeng Imam Santosa: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Hoegeng Imam Santosa adalah tokoh penting dalam bidang kepolisian dengan jabatan terakhir Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Ia lahir pada 14 Oktober 1921 di Kampung Pesatean, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo (Kepala Jaksa Pengadilan Negeri Karesidenan Pekalongan) dengan Omi Kalsoem. Sebagai anak pegawai, Hoegeng dapat menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (''Recht Hogeschool/''RHS) Jakarta pada 1940, meskipun tidak lulus kar...")
 
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Hoegeng Iman Santoso - Sekilas Lintas Kepolisian Republik Indonesia p20.jpg|center|thumb|Hoegeng Iman Santoso. Sumber: Repro dari buku Sekilas Lintas Kepolisian Republik Indonesia, Hal. 20]]
Hoegeng Imam Santosa adalah tokoh penting dalam bidang kepolisian dengan jabatan terakhir Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Ia lahir pada 14 Oktober 1921 di Kampung Pesatean, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo (Kepala Jaksa Pengadilan Negeri Karesidenan Pekalongan) dengan Omi Kalsoem. Sebagai anak pegawai, Hoegeng dapat menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (''Recht Hogeschool/''RHS) Jakarta pada 1940, meskipun tidak lulus karena perguruan tinggi tersebut ditutup. Hoegeng kemudian memilih masuk kursus Polisi Karesidenan dengan pangkat ''Junsa Butyo'' (setingkat Ajun Inspektur Polisi kelas II pada zaman Republik Indonesia) (Nurinwa, 2007: 4-5, 39).
Hoegeng Imam Santosa adalah tokoh penting dalam bidang kepolisian dengan jabatan terakhir Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Ia lahir pada 14 Oktober 1921 di Kampung Pesatean, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo (Kepala Jaksa Pengadilan Negeri Karesidenan Pekalongan) dengan Omi Kalsoem. Sebagai anak pegawai, Hoegeng dapat menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (''Recht Hogeschool/''RHS) Jakarta pada 1940, meskipun tidak lulus karena perguruan tinggi tersebut ditutup. Hoegeng kemudian memilih masuk kursus Polisi Karesidenan dengan pangkat ''Junsa Butyo'' (setingkat Ajun Inspektur Polisi kelas II pada zaman Republik Indonesia) (Nurinwa, 2007: 4-5, 39).


Pada tahun 1945 Hoegeng pindah ke Angkatan Laut, meskipun akhirnya kembali ke Akademi Kepolisian Mertoyudan dan melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta angkatan I pasca-tahun 1949. Sekitar tahun 1950-an, Hoegeng ikut menciptakan lambang PTIK dan ''Mobile Brigade'' (Mobrig) serta menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) di Komdak Jawa Timur. Jabatan Kasi Reskrim dijabat oleh Hoegeng untuk Kantor Polisi Provinsi Sumatera Utara dan juga Kepolisian Komisariat Jakarta Raya tahun 1959, serta Direktorat II Mabak pada 9 Januari 1960.
Pada tahun 1945 Hoegeng pindah ke Angkatan Laut, meskipun akhirnya kembali ke Akademi Kepolisian Mertoyudan dan melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta angkatan I pasca-tahun 1949. Sekitar tahun 1950-an, Hoegeng ikut menciptakan lambang PTIK dan ''Mobile Brigade'' (Mobrig) serta menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) di Komdak Jawa Timur. Jabatan Kasi Reskrim dijabat oleh Hoegeng untuk Kantor Polisi Provinsi Sumatera Utara dan juga Kepolisian Komisariat Jakarta Raya tahun 1959, serta Direktorat II Mabak pada 9 Januari 1960.


Dengan perintah Menko Keamanan Nasional Jenderal TNI A.H. Nasution, Hoegeng diangkat  sebagai Kepala Jawatan Imigrasi sampai tahun 1965, dan atas saran Sultan Hamengkubuwono IX  Hoegeng ditunjuk menjadi  Menteri Iuran Negara (19 Juni 1965), Menteri/Sekretaris Kabinet Inti (26 Maret 1966), dan berganti menjadi Deputi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi (setelah Agustus 1966). Setelah naik pangkat menjadi Komisaris Jenderal  pada 1 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (Nurinwa, 2007: 6-8).  
Dengan perintah Menko Keamanan Nasional Jenderal TNI [[Abdul Haris Nasution|A.H. Nasution]], Hoegeng diangkat  sebagai Kepala Jawatan Imigrasi sampai tahun 1965, dan atas saran Sultan Hamengkubuwono IX  Hoegeng ditunjuk menjadi  Menteri Iuran Negara (19 Juni 1965), Menteri/Sekretaris Kabinet Inti (26 Maret 1966), dan berganti menjadi Deputi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi (setelah Agustus 1966). Setelah naik pangkat menjadi Komisaris Jenderal  pada 1 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (Nurinwa, 2007: 6-8).  


Sebagai Pangak, Hoegeng tidak tebang pilih dalam tugasnya seperti dalam mengatasi kasus perkosaan Sum Kuning di Yogyakarta yang memerlukan ketegasan (Kamadjaja dkk., 1971: 119), kasus penembakan mahasiswa ITB bernama Rene Louis Coenrad oleh taruna Akpol akibat kericuhan pertandingan sepak bola tanggal 6 Oktober 1970, dan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi (WNI keturunan Cina) yang dekat dengan keluarga Cendana. Beberapa kasus di atas diduga membuat Hoegeng diberhentikan menjadi Kapolri pada 2 Oktober 1971, sebelum habis masa jabatannya (Nurinwa, 2007: 8, 11; Nur Hidayati dkk., 2021: 32-33).
Sebagai Pangak, Hoegeng tidak tebang pilih dalam tugasnya seperti dalam mengatasi kasus perkosaan Sum Kuning di Yogyakarta yang memerlukan ketegasan (Kamadjaja dkk., 1971: 119), kasus penembakan mahasiswa ITB bernama Rene Louis Coenrad oleh taruna Akpol akibat kericuhan pertandingan sepak bola tanggal 6 Oktober 1970, dan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi (WNI keturunan Cina) yang dekat dengan keluarga Cendana. Beberapa kasus di atas diduga membuat Hoegeng diberhentikan menjadi Kapolri pada 2 Oktober 1971, sebelum habis masa jabatannya (Nurinwa, 2007: 8, 11; Nur Hidayati dkk., 2021: 32-33).


Hoegeng pernah ditawari menjadi Dubes di Belgia, namun menolak dan memilih pensiun. Mantan panglima polisi ini sadar jika diberhentikan secara halus oleh Presiden Soeharto yang memang memiliki hak tersebut (''beleid''). Pemberhentian Hoegeng menjadi perhatian publik nasional, karena masyarakat simpatik atas tindakannya sebagai polisi yang jujur dan tegas. Kejujurannya terlihat ketika ia menjawab untuk tidak sedianya sebagai duta besar, seperti: ''“…sedang saya tidak bisa: apa yang putih saya katakan putih”.'' Sebelum diberhentikan, Hoegeng melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Polri dan mendapatkan perhatian luas dari media. Hoegeng oleh ''Berita Ekspres'' diposisikan sebagai ''The Man of The Year 1970'' yang membuat penguasa kurang senang dengan kepopulerannya.
Hoegeng pernah ditawari menjadi Dubes di Belgia, namun menolak dan memilih pensiun. Mantan panglima polisi ini sadar jika diberhentikan secara halus oleh [[Soeharto|Presiden Soeharto]] yang memang memiliki hak tersebut (''beleid''). Pemberhentian Hoegeng menjadi perhatian publik nasional, karena masyarakat simpatik atas tindakannya sebagai polisi yang jujur dan tegas. Kejujurannya terlihat ketika ia menjawab untuk tidak sedianya sebagai duta besar, seperti: ''“…sedang saya tidak bisa: apa yang putih saya katakan putih”.'' Sebelum diberhentikan, Hoegeng melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Polri dan mendapatkan perhatian luas dari media. Hoegeng oleh ''Berita Ekspres'' diposisikan sebagai ''The Man of The Year 1970'' yang membuat penguasa kurang senang dengan kepopulerannya.


Setelah pensiun, Hoegeng hanya memiliki rumah tumpangan, uang pensiunan, mobil ''Holden Kingswood'' hadiah iuran para kapolda, rumah di Jalan Moh Yamin dari penggantinya (Kapolri) atas nama Kepolisian Indonesia. Oleh karena Hoegeng termasuk yang menandatangani Petisi 50, maka oleh Penguasa Orde Baru semakin dijauhkan dari institusinya, yaitu Polri dan  kegiatan publik, seperti penampilannya dengan kelompok ''Hawaiian Seniors'' dan acara ''Talk-Show'' berjudul ''Little Thing Mean a Lot'' di Radio Elshinta, dan acara lainnya di TVRI. Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tonjong (Nurinwa, 2007: 12-19, 31).
Setelah pensiun, Hoegeng hanya memiliki rumah tumpangan, uang pensiunan, mobil ''Holden Kingswood'' hadiah iuran para kapolda, rumah di Jalan Moh Yamin dari penggantinya (Kapolri) atas nama Kepolisian Indonesia. Oleh karena Hoegeng termasuk yang menandatangani Petisi 50, maka oleh Penguasa Orde Baru semakin dijauhkan dari institusinya, yaitu Polri dan  kegiatan publik, seperti penampilannya dengan kelompok ''Hawaiian Seniors'' dan acara ''Talk-Show'' berjudul ''Little Thing Mean a Lot'' di Radio Elshinta, dan acara lainnya di TVRI. Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tonjong (Nurinwa, 2007: 12-19, 31).
Line 21: Line 25:


Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, (2007), ''Ensiklopedi  Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santosa, Kapolri ke-5,'' Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri.
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, (2007), ''Ensiklopedi  Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santosa, Kapolri ke-5,'' Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri.
{{Comment}}
[[Category:Tokoh]]
[[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 19:53, 16 September 2024

Hoegeng Iman Santoso. Sumber: Repro dari buku Sekilas Lintas Kepolisian Republik Indonesia, Hal. 20


Hoegeng Imam Santosa adalah tokoh penting dalam bidang kepolisian dengan jabatan terakhir Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Ia lahir pada 14 Oktober 1921 di Kampung Pesatean, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo (Kepala Jaksa Pengadilan Negeri Karesidenan Pekalongan) dengan Omi Kalsoem. Sebagai anak pegawai, Hoegeng dapat menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hogeschool/RHS) Jakarta pada 1940, meskipun tidak lulus karena perguruan tinggi tersebut ditutup. Hoegeng kemudian memilih masuk kursus Polisi Karesidenan dengan pangkat Junsa Butyo (setingkat Ajun Inspektur Polisi kelas II pada zaman Republik Indonesia) (Nurinwa, 2007: 4-5, 39).

Pada tahun 1945 Hoegeng pindah ke Angkatan Laut, meskipun akhirnya kembali ke Akademi Kepolisian Mertoyudan dan melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta angkatan I pasca-tahun 1949. Sekitar tahun 1950-an, Hoegeng ikut menciptakan lambang PTIK dan Mobile Brigade (Mobrig) serta menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) di Komdak Jawa Timur. Jabatan Kasi Reskrim dijabat oleh Hoegeng untuk Kantor Polisi Provinsi Sumatera Utara dan juga Kepolisian Komisariat Jakarta Raya tahun 1959, serta Direktorat II Mabak pada 9 Januari 1960.

Dengan perintah Menko Keamanan Nasional Jenderal TNI A.H. Nasution, Hoegeng diangkat  sebagai Kepala Jawatan Imigrasi sampai tahun 1965, dan atas saran Sultan Hamengkubuwono IX  Hoegeng ditunjuk menjadi  Menteri Iuran Negara (19 Juni 1965), Menteri/Sekretaris Kabinet Inti (26 Maret 1966), dan berganti menjadi Deputi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi (setelah Agustus 1966). Setelah naik pangkat menjadi Komisaris Jenderal  pada 1 Mei 1968, Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (Nurinwa, 2007: 6-8).

Sebagai Pangak, Hoegeng tidak tebang pilih dalam tugasnya seperti dalam mengatasi kasus perkosaan Sum Kuning di Yogyakarta yang memerlukan ketegasan (Kamadjaja dkk., 1971: 119), kasus penembakan mahasiswa ITB bernama Rene Louis Coenrad oleh taruna Akpol akibat kericuhan pertandingan sepak bola tanggal 6 Oktober 1970, dan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi (WNI keturunan Cina) yang dekat dengan keluarga Cendana. Beberapa kasus di atas diduga membuat Hoegeng diberhentikan menjadi Kapolri pada 2 Oktober 1971, sebelum habis masa jabatannya (Nurinwa, 2007: 8, 11; Nur Hidayati dkk., 2021: 32-33).

Hoegeng pernah ditawari menjadi Dubes di Belgia, namun menolak dan memilih pensiun. Mantan panglima polisi ini sadar jika diberhentikan secara halus oleh Presiden Soeharto yang memang memiliki hak tersebut (beleid). Pemberhentian Hoegeng menjadi perhatian publik nasional, karena masyarakat simpatik atas tindakannya sebagai polisi yang jujur dan tegas. Kejujurannya terlihat ketika ia menjawab untuk tidak sedianya sebagai duta besar, seperti: “…sedang saya tidak bisa: apa yang putih saya katakan putih”. Sebelum diberhentikan, Hoegeng melakukan pembersihan besar-besaran di tubuh Polri dan mendapatkan perhatian luas dari media. Hoegeng oleh Berita Ekspres diposisikan sebagai The Man of The Year 1970 yang membuat penguasa kurang senang dengan kepopulerannya.

Setelah pensiun, Hoegeng hanya memiliki rumah tumpangan, uang pensiunan, mobil Holden Kingswood hadiah iuran para kapolda, rumah di Jalan Moh Yamin dari penggantinya (Kapolri) atas nama Kepolisian Indonesia. Oleh karena Hoegeng termasuk yang menandatangani Petisi 50, maka oleh Penguasa Orde Baru semakin dijauhkan dari institusinya, yaitu Polri dan  kegiatan publik, seperti penampilannya dengan kelompok Hawaiian Seniors dan acara Talk-Show berjudul Little Thing Mean a Lot di Radio Elshinta, dan acara lainnya di TVRI. Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tonjong (Nurinwa, 2007: 12-19, 31).

Penulis: Ahmad Athoillah


Referensi

Kamadjaja, dkk.,(1971),  Sum Kuning: Korban Pentjulikan Pemerkosaan, Jogja: U.P. Indonesia, 1971.

Nur Hidayati, Anny Wahyuni, Budi Purnomo, “Jenderal Hoegeng Imam Santoso: Kalpolri Jujur, Disiplin dan Sederhana Sebagai Teladan Generasi Muda”, Swadesi: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah II, 1 (2021), 25-37.

Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, (2007), Ensiklopedi  Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santosa, Kapolri ke-5, Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri.