Abdul Haris Nasution
Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution adalah salah satu figur penting dalam sejarah Indonesia sepanjang karir militernya pada masa kemerdekaan dan sepanjang pemerintahan Orde Lama. Ia terkenal atas dua hal: pertama, sebagai perwira militer tertinggi kedua dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) setelah Jenderal Besar Soedirman. Selain itu, ia juga adalah pemikir utama strategi militer Indonesia. Semasa Revolusi, Nasution memimpin Divisi Siliwangi (kini Kodam Siliwangi) yang berbasis di Jawa Barat. Pada 1948-1949, ia kemudian menjadi panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Pada masa inilah Nasution mengkonsepsikan ide “Perang Rakyat Semesta,” yang hingga kini masih mempengaruhi strategi militer Indonesia, adalah buah pikirannya yang berdasarkan pada pengalaman-pengalamannya dalam Revolusi. Pemikiran ini dituang dalam, antara lain, bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Perang Gerilya (The Fundamentals of Guerrilla Warfare). Buku ini diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia, dan menjadi salah satu buku penting dalam teori perang gerilya, menempatkan Nasution bersama pada ahli gerilya dunia seperti Caldwell, Mao Zedong, dan Vo Nguyen Giap. Kedua, Nasution dikenal sebagai pemikir utama dibalik konsep “fungsi sosial-politik” tentara di Indonesia. Konsep ini pertama dilantunkan oleh Nasution pada pidatonya dalam Hari Angkatan Perang tahun 1963, dimana ia menyatakan bahwa “angkatan perang tidak boleh mendominasi proses politik maupun menjadi ‘alat mati’ di tangan pemerintah sipil” (Jenkins, 2010: 258). Tiga tahun kemudian, konsep “Jalan Tengah” menjadi cikal bakal “Dwifungsi ABRI” yang menjadi soko guru kekuatan politik Orde Baru.
Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatera Utara (Who's Who in Indonesia, 1971: 250). Nasution awalnya berniat untuk menjadi guru. Pada masa mudanya, ia bersekolah di Algemene Middelbare School (AMS) Bandung. Saat Nazi Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940, Belanda menutup Akademi Militer Kerajaan di Breda dan membuka cabangnya di Bandung. Nasution sendiri awalnya berniat untuk mendaftar sebagai kadet perwira di Breda (Nasution, 1982: 32). Namun setelah Belanda jatuh, pemerintah Belanda kemudian membuka Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Corps Opleiding Reserve Officieren/CORO) yang terbuka untuk sejumlah perwira pribumi. Nasution diterima sebagai kadet CORO pada 1940 dan menjadi Letnan Dua dalam tentara kolonial Belanda (Koninklijk Nederlands Indische Leger, KNIL).
Pada masa-masanya di Bandung, Nasution bertemu dengan istrinya, Johanna Sunarti Nasution (1923-2010), yang merupakan anak dari R.P. Sunario Gondokusumo, aktivis politik dari Partai Indonesia Raya (Parindra), golongan nasionalis kooperatif yang mendukung kerjasama dengan Belanda (Turner, 2018: 19). Pertemuan Nasution dengan keluarga Gondokusumo ini menjadi signifikan, karena kala itulah, untuk pertama kalinya Nasution terekspos dengan dunia politik (Turner, 2018: 6).
Saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942, Nasution dan unitnya ditempatkan di Jawa Timur. Pada saat itulah Nasution memutuskan untuk desersi dan meninggalkan unit KNIL-nya (Nasution, 1982: 82 -84). Momen ini penting bagi pemikiran politik seorang Nasution, karena sejak saat ini ia telah memutuskan hubungannya dengan pihak kolonial (i.e. KNIL), dan lebih memilih untuk mendukung Indonesia merdeka nantinya (Turner, 2018: 38 - 39). Nasution kemudian kabur ke Bandung, dimana ia ditampung oleh calon mertuanya, Sunario Gondokusumo. Ia kemudian sempat menjadi pengurus Barisan Pemuda Priangan pada masa Jepang, yang kemudian dibubarkan saat pemerintah militer Jepang mendirikan Seinendan (Nasution, 1982: 41). Meskipun Nasution tidak mendaftarkan diri dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) buatan Jepang, ia menjalin hubungan baik dengan para perwira Indonesia yang dididik di dalam PETA (Turner, 2018: 42). Hal ini mempengaruhi peranan Nasution dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) di masa mendatang.
Setelah Proklamasi dilantunkan oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, Revolusi Nasional Indonesia meletus. Segera setelah Proklamasi, berbagai organisasi perjuangan dan kelaskaran membentuk Badan Keamanan Rakjat (BKR), yang menjadi asal usul militer Indonesia (Kahin, 2003: 140-141). Pada 5 Oktober 1945, BKR diganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakjat (TKR), yang kemudian berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pendirian TKR adalah kala pertama Republik Indonesia berinisiatif untuk mendirikan sebuah tentara nasional yang terpusat, sehingga dibutuhkan perwira yang berpengalaman militer untuk bekerja didalamnya. Pertama adalah Urip Sumoharjo, seorang pensiunan Mayor KNIL yang ditunjuk oleh Republik sebagai Kepala Staf TKR. Nasution, bersama dengan T.B. Simatupang, Didi Kartasasmita, A.E. Kawilarang, Suryadi Suryadarma, dan perwira-perwira alumnus Akademi Militer Belanda lainnya mengemban peran sebagai bagian dari TKR dari elemen eks-KNIL. Di sisi lain TKR juga diisi oleh para perwira eks-PETA, seperti Soedirman, Bambang Soegeng, Kemal Idris, Djatikusumo, dan lainnya.
Hadirnya kelompok perwira eks-KNIL dan eks-PETA di dalam TKR mewarnai perdebatan politik militer internal pada masa awal revolusi. Namun, meskipun Soedirman terpilih sebagai Panglima TKR pada November 1945, secara umum para perwira eks-KNIL memiliki profesionalitas yang lebih tinggi, serta terlatih untuk mengurus pekerjaan staf umum dan strategis (Ricklefs, 2008: 258). Hal ini sangat kentara apabila dibandingkan para perwira eks-PETA yang lebih mengutamakan semangat revolusioner hanya terlatih dalam hal taktik perang gerilya dan administrasi hingga tingkat kompi dan batalion saja (Mrazek, 1978: 27).
Peran Nasution di dalam militer Indonesia muncul setelah Mei 1946, saat ia ditunjuk sebagai Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat di Bandung dibawah pimpinan Didi Kartasasmita (Ricklefs, 2008: 259). Didi Kartasasmita kemudian dipindah ke Markas Besar, dan Nasution diangkat sebagai Komandan TKR Jawa Barat, yang kini dikenal sebagai TKR Divisi III (Priangan) (Tanpa Penulis, 1971: 250). Divisi III (Priangan) ini menjadi asal usul Divisi III Siliwangi (atau Divisi Siliwangi, kini Kodam III/Siliwangi), satuan militer TNI yang kerap diidentifikasi sebagai buah pikiran Nasution.
Pada Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama terhadap Indonesia. Dengan segera, satuan-satuan tank, pesawat tempur, dan tentara Belanda menduduki berbagai kota di seluruh Indonesia, mulai dari Medan, Palembang, Bandung, Semarang, dan kota-kota lainnya. Meskipun Belanda berhasil mencapai berbagai sasaran geografisnya—yakni kota-kota penting di Indonesia—ia tak berhasil mencapai sasaran strategisnya, yaitu kehancuran seluruh perlawanan militer Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian besar militer Indonesia lebih memilih untuk mundur secara strategis, serta melanjutkan perlawanan gerilya jangka panjang (Kahin, 2003:. 213). Lantas, pada periode inilah Nasution dan Divisi Siliwangi-nya pertama kali mengkonseptualisasikan strategi perang gerilya, yang kemudian akan dikenal sebagai Sistem Territorial.
Sebagai akibat dari Agresi Militer Belanda I, pada Januari 1948 Republik Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville. Salah satu akibat dari Perjanjian ini adalah terciptanya Garis Van Mook yang membelah Jawa, sehingga Jawa Barat diduduki oleh Belanda. Lantas, Nasution dan Divisi Siliwangi yang berkedudukan di Jawa Barat harus bergerak mundur dari posisi-posisinya dan bergerak menuju Jawa Tengah. Pada 26 Februari 1948, setidaknya 35.000 pasukan Siliwangi telah pindah ke Jawa Tengah, yang dikenal dengan istilah “hijrah” (Kahin, 2003: 234).
Pada periode ini pula, Kabinet Hatta mengusulkan untuk diadakannya program rasionalisasi, yakni pengurangan jumlah angkatan bersenjata dari 160.000 orang ke 57.000 orang (Sundhaussen, 1986: 68-69). Sebagai perwira eks-KNIL yang memiliki perhatian dalam membangun sebuah angkatan bersenjata yang efektif dan terpusat, Nasution dan Simatupang setuju atas program ini. Program rasionalisasi Hatta ini menghadapi penolakan dari para laskar dan kelompok bersenjata yang akan dimobilisasi (Rose, 2010: 236). Pertentangan politik militer ini berujung kepada meletusnya Peristiwa Madiun pada Agustus-September 1948, dimana berbagai satuan laskar yang menentang kebijakan Kabinet Hatta, seperti Pesindo, melakukan perlawanan terhadap demobilisasi. Perlawanan ini berujung kepada berbagai pertempuran antara pasukan Front Demokrasi Rakyat yang anti-rasionalisasi dan satuan TNI yang pro-pemerintah. Pada akhir September, Nasution memimpin satuan-satuan Siliwangi yang kala itu berbasis di Surakarta, untuk bergerak menuju Madiun dalam merespon Peristiwa Madiun 1948 (Ricklefs, 2008: 265-66).
Pada 18 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua terhadap Indonesia. Pada saat ini, Nasution diangkat menjadi Wakil Panglima TNI di bawah Panglima Jenderal Soedirman. Kala itu, Yogyakarta ke tangan Belanda, dan sebagian besar pemimpin Republik seperti Sukarno dan Hatta, ditangkap oleh Belanda. Sebagai Panglima, Jenderal Soedirman menerbitkan “Perintah Siasat No.1,” yang menggelorakan perang gerilya serta membagi Jawa dan Sumatra ke dalam dua wilayah pertempuran. Markas Besar Komando Djawa (MBKD), yang membawahi seluruh pulau Jawa, dipimpin oleh Nasution (Djamhari, 1971:. 35). MBKD kemudian mengumpulkan seluruh gubernur, residen, dan komandan militer pada 11 November 1948 yang diikuti oleh pengumuman berdirinya pemerintahan militer di Jawa pada 22 Desember 1948 (Djamhari, 1971: 35-36). Sebagai Panglima MBKD, Nasution berpartisipasi luas dalam pembentukan pemerintahan militer, kantong-kantong militer (wehrkreise), serta organisasi-organisasi pertahanan rakyat seperti Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa) dan sebagainya.
Sistem gerilya dan pemerintahan militer yang kemudian akan dikenal sebagai sistem territorial ini menjadi penting bagi jalannya Revolusi. Sistem Territorial ini sendiri terdiri dari sejumlah organisasi teritorial militer dari tingkat residen ke desa-desa. Dalam rangka mendukung strategi perang gerilya, Organisasi territorial ini dapat beroperasi secara otonom dari komando pusat melalui kerjasama yang erat antara tentara dan pemimpin sipil (pamong praja), seperti lurah dan kepala desa. Organisasi inilah yang bertanggung jawab atas pelatihan dan rekrutmen militer, indoktrinasi politik, aktivitas intelijen dan kontra-intelijen, serta berlangsungnya operasi gerilya (Simatupang, 2010: 71). Sistem Teritorial berarti bahwa dalam Revolusi, TNI dapat melancarkan kegiatan pemerintahan militer sehari-hari, bahkan hingga ke tugas-tugas yang dalam kondisi normal dianggap sebagai tugas “sipil” maupun “politik,” seperti fungsi administrasi umum (birokrasi, kepolisian, kehakiman, perhubungan), fungsi ekonomi (perdagangan, keuangan, perbankan), fungsi sosial (pendidikan, kesehatan publik, bantuan sosial, penerangan), hingga fungsi pertahanan itu sendiri (Pasukan Gerilya Desa, intelijen/kontra-intelijen) (Nasution, 2012: 317). Sistem Territorial yang kerap disebut juga sebagai Wehrkreise (Distrik Militer), adalah cikal bakal dari sistem Komando Daerah Militer (Kodam) yang masih digunakan TNI hingga sekarang.
Setelah berakhirnya Revolusi pada 1949, Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution memimpin beberapa kebijakan utama pada masa awal Demokrasi Liberal, salah satunya adalah pembangunan organisasi tentara. Pertama, Nasution (bersama Simatupang), melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar, mempelopori adanya kerjasama antara Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat dan Angkatan Perang Belanda melalui Misi Militer Belanda. Meski hanya berlangsung selama tiga tahun, Namun, Misi Militer ini berpengaruh besar terhadap pembangunan tentara pada waktu itu, salah satunya dalam hal pendidikan formal bagi tentara.
Pada 17 Januari 1951, Kolonel Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat bersama Kolonel T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang) dan Komandan Misi Militer Belanda Mayor A.J.A. Pereira membuka Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di Bandung (Moehkardi, 1981: 34). P3AD kemudian menjadi cikal-bakal Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD, kini SESKOAD). Kala itu, P3AD merupakan institusi pendidikan tinggi pertama bagi Tentara Nasional Indonesia setelah Akademi Militer di Yogyakarta.
Adanya semangat profesionalisasi yang diemban oleh program Misi Militer Belanda mengundang banyak kritik dari berbagai kalangan, utamanya dari para perwira eks-PETA. Perdebatan awal dimulai saat Kolonel Bambang Supeno, seorang perwira eks-PETA, penulis doktrin Sapta Marga, dan saudara jauh Sukarno mendirikan Akademi Chandradimuka, sebuah institusi pendidikan militer tinggi yang berfungsi sebagai penyedia kursus ideologi bagi para perwira militer. Pada 1952, Akademi Chandradimuka ditutup oleh Nasution atas nama Markas Besar Angkatan Darat, untuk mengalokasikan dana bagi P3AD (Turner, 2018: 132). Insiden ini menjadi titik awal bagi ketegangan antara kelompok perwira eks-PETA dan eks-KNIL pada masa pasca-Revolusi, yang masih berkelit di sekitar masalah rasionalisasi dan demobilisasi.
Kritik antara para perwira eks-PETA dan Markas Besar Angkatan Darat ini berujung kepada meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952, dimana sejumlah demonstran dan pasukan pro-Nasution melakukan demonstrasi kekuatan di depan Istana Negara, menuntut Sukarno untuk membubarkan Parlemen. Awalnya, para perwira eks-PETA yang dekat dengan para politisi Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai lain di Parlemen menciptakan jarak antara pihak militer dan parlemen (Feith, 2007: 250). Bahkan Presiden Sukarno sendiri pun kerap mengintervensi kebijakan personalia di dalam militer (Feith, 2007: 250). Pada Juni-Juli 1952, masalah timbul saat Kolonel Bambang Supeno melayangkan surat kepada Presiden untuk menggantikan Nasution (Feith, 2009: 131). Nasution segera mencopot Supeno dari posisinya, dan hal ini mengundang protes Parlemen untuk segera merespon dengan membebastugaskan Nasution dan Simatupang. Nasution dan pihak Markas Besar Angkatan Darat melihat ini sebagai intervensi sipil yang berlebihan ke dalam urusan militer (McVey, 1971: 146). Polarisasi politik ini kemudian berujung kepada meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952, yang sebagian besar diwarnai oleh protes di Jakarta.
Protes ini gagal, karena Sukarno menolak untuk menjadikan dirinya seorang diktator. Sebagai konsekuensi dari Peristiwa 17 Oktober 1952, Simatupang dan Nasution dicopot dari posisinya masing-masing sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution sendiri digantikan oleh Bambang Sugeng, seorang perwira eks-PETA (McVey, 1971: 149-150). Sejak saat ini, Nasution tidak memegang posisi militer, dan ia memasuki apa yang ia sebut sebagai “masa lepra,” karena banyak rekan-rekannya menolak untuk bertemu dengannya. Kala itu waktunya banyak dihabiskan untuk menulis Pokok-Pokok Gerilja (1953) dan Tentara Nasional Indonesia (1956) (Nasution, 1983: 215). Pada Mei 1954, Nasution mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), partai yang akan berpartisipasi dalam Pemilu 1955. Peranan Nasution dalam IPKI penting dalam pembentukan Demokrasi Terpimpin nantinya (Bourchier, 2016: 102).
Pada tahun 1955, Nasution dipanggil kembali oleh Sukarno untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Satu tahun setelahnya, ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada tahun 1957, Nasution dan Sukarno kian dekat, sehingga tercipta suatu aliansi antara istana dan militer, yang penting bagi terciptanya Demokrasi Terpimpin. Pada saat Sukarno mengumumkan berlakunya undang-undang keadaan perang (Staat van Oorlog en Beleg, SOB) dalam merespon pemberontakan PRRI/Permesta, Nasution merupakan salah satu figur penting yang mempengaruhi Sukarno (Kahin A. R., 1997:. 67). Pada Juli 1958, Nasution dinaikkan pangkatnya ke Letnan Jenderal. Di tahun yang sama, TNI mulai berpartisipasi dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, utamanya perusahaan-perusahaan milik Belanda (Crouch, 2007: 39). Melalui otoritas hukum yang diberikan oleh aktifnya SOB, setidaknya pada 1957-1963, TNI memiliki kekuasaan yang sangat luas, mulai dari administrasi sipil dan manajemen perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi (Lev, 2007: 60). Kekuasaan ekonomi yang besar ini menjadi perhatian Nasution, dimana ia sebagai KSAD sempat memerintahkan penyelidikan ke beberapa perwira yang dianggap melakukan kejahatan ekonomi seperti penyelundupan, termasuk memberhentikan Kolonel Ibnu Sutowo pada 1958 dan memutasi Kolonel Soeharto dan perwira perwira lainnya pada 1959 (Crouch, 2007: 40).
Pada tahun 1962, Nasution dijadikan Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat digantikan oleh oleh Ahmad Yani, dan Nasution memimpin sebuah badan anti-korupsi, Panitia Retooling Aparatus Negara (Paran), hingga badan ini dibubarkan pada 1964 (Crouch, 2007: 40). Pada tahun 1965, Nasution menjadi salah satu sasaran para pelaku Gerakan 30 September 1965. Ia lolos dari pembunuhan, namun anaknya, Ade Irma Suryani, meninggal dalam peristiwa tersebut.
Penulis: Norman Joshua Soelias
Instansi: Northwestern University
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Jenkins, D. (2010). Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983. Jakarta: Equinox.
Who's Who in Indonesia. (1971). Djakarta: Gunung Agung.
Nasution, A. H. (1982). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 1: Kenangan Masa Muda. Jakarta: Gunung Agung.
Turner, B. (2018). A.H. Nasution and Indonesia's Elites: "People's Resistance" in the War of Independence and Postwar Politics. Lexington Books.
Kahin, G. M. (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Southeast Asia Program Publication, Cornell University.
Ricklefs, M. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. 4th Ed. California: Stanford University Press.
Mrazek, R. (1978). The United States and the Indonesian Military, 1945-1965. Volume 1. Prague: Publishing House of the Czechoslovak Academy of Science.
Sundhaussen, U. (1986). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.
Rose, M. (2010). Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta. Singapore: Equinox Publishing Asia .
Djamhari, S. A. (1971). Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
Simatupang, T. (2010). Report from Banaran: Experiences During the People's War. Jakarta: Equinox.
Nasution, A. H. (2012). Pokok-Pokok Perang Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang Akan Datang. Yogyakarta: Narasi.
Moehkardi. (1981). Pendidikan Pembentukan Perwira TNI-AD, 1950-1956. Jakarta: PT Inaltu.
Feith, H. (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox.
Feith, H. (2009). The Wilopo Cabine 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia. Jakarta: Equinox.
McVey, R. (1971). The Post Revolutionary Transformation of the Indonesian Army. Indonesia, 131-176.
Nasution, A. H. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 3: Masa Pancaroba Pertama. Jakarta: Gunung Agung.
Bourchier, D. (2016). Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State. Routledge.
Kahin, A. R. (1997). Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in INdonesia. Seatle: University Washington Press.
Crouch, H. A. (2007). The Army and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox.
Lev, D. S. (2007). The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. Jakarta: Equinox.
(n.d.).