Suryopranoto: Difference between revisions
(Created page with "center|frame|Sumber: <nowiki>https://www.krjogja.com/kisah-inspiratif/sosok/suryopranoto-kakak-ki-hadjar-dewantara-berjuluk-raja-mogok-dari-jogja/</nowiki> Raden Mas Suryopranoto adalah tokoh Pergerakan Nasional yang telah mendapat pengakuan negara dengan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Sukarno pada 30 November 1959. Pengakuan ini tidak lepas dari kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, terutama kaum bur...") |
No edit summary |
||
(3 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Suryopranoto.jpg|center| | [[File:Suryopranoto. Sumber- Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L2917.jpg|center|thumb|Suryopranoto. Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=342499 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L2917]]] | ||
Raden Mas Suryopranoto adalah tokoh Pergerakan Nasional yang telah mendapat pengakuan negara dengan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Sukarno pada 30 November 1959. Pengakuan ini tidak lepas dari kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, terutama kaum buruh. Intensifnya keterlibatan Suryupranoto dalam pergerakan kaum buruh melawan kebijakan-kebijakan pemilik perusahaan yang diskriminatif melalui pemogokan, membuat dia dijuluki dengan “raja mogok” yang sangat ditakuti oleh pemilik perusahaan dan pemerintah kolonial Belanda. | |||
Raden Mas Suryopranoto adalah tokoh Pergerakan Nasional yang telah mendapat pengakuan negara dengan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden [[Sukarno]] pada 30 November 1959. Pengakuan ini tidak lepas dari kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, terutama kaum buruh. Intensifnya keterlibatan Suryupranoto dalam pergerakan kaum buruh melawan kebijakan-kebijakan pemilik perusahaan yang diskriminatif melalui pemogokan, membuat dia dijuluki dengan “raja mogok” yang sangat ditakuti oleh pemilik perusahaan dan pemerintah kolonial Belanda. | |||
Kedekatan Suryopranoto dengan rakyat kecil merupakan suatu keunikan tersendiri bagi seorang keturunan bangsawan, tidak seperti kaum bangsawan pada umumnya yang hidup berselimutkan kemurahan hati Belanda. Soerjopranoto adalah seorang anak bangsawan yang populis yang memilih jalan “menyimpang” dari jalan yang ditempuh kaum bangsawan pada umumnya. Ia terjun ke dalam kancah pergerakan nasional, khususnya gerakan buruh yang jarang dilakukan oleh anak bangsawan lainnya (Budiawan, 2006: 217 dan Firmansyah, 2020: 4). | Kedekatan Suryopranoto dengan rakyat kecil merupakan suatu keunikan tersendiri bagi seorang keturunan bangsawan, tidak seperti kaum bangsawan pada umumnya yang hidup berselimutkan kemurahan hati Belanda. Soerjopranoto adalah seorang anak bangsawan yang populis yang memilih jalan “menyimpang” dari jalan yang ditempuh kaum bangsawan pada umumnya. Ia terjun ke dalam kancah pergerakan nasional, khususnya gerakan buruh yang jarang dilakukan oleh anak bangsawan lainnya (Budiawan, 2006: 217 dan Firmansyah, 2020: 4). | ||
Line 6: | Line 7: | ||
Raden Mas Soerjopranoto lahir di Paku Alam Yogyakarta pada 11 Juni 1871 dengan nama kecil Raden Mas Iskandar. Dia merupakan putra tertua dari Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat dan cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III. Ini berarti bahwa Suryopranoto adalah bangsawan utama Paku Alam, karena dia merupakan cucu dari Paku Alam III. Dia tidak mendapat kesempatan mewarisi tahta karena orang tuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Soerjaningrat, menjelang dewasa terserang penyakit mata yang menyebabkan kebutaan sehingga hak tahta tersebut hilang. Suryopranoto juga merupakan saudara laki-laki tertua dari Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara (Shiraishi, 1990: 110; Damayanti, 2015: 4). | Raden Mas Soerjopranoto lahir di Paku Alam Yogyakarta pada 11 Juni 1871 dengan nama kecil Raden Mas Iskandar. Dia merupakan putra tertua dari Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat dan cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III. Ini berarti bahwa Suryopranoto adalah bangsawan utama Paku Alam, karena dia merupakan cucu dari Paku Alam III. Dia tidak mendapat kesempatan mewarisi tahta karena orang tuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Soerjaningrat, menjelang dewasa terserang penyakit mata yang menyebabkan kebutaan sehingga hak tahta tersebut hilang. Suryopranoto juga merupakan saudara laki-laki tertua dari Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara (Shiraishi, 1990: 110; Damayanti, 2015: 4). | ||
Sebagai seorang keturunan bangsawan pada masa kolonial memiliki keuntungan tersendiri bagi Suryopranoto, terutama dalam memperoleh pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Yogyakarta, dia melanjutkan pendidikannya ke ''Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren'' (OSVIA) Magelang dan ''Middelbare Landbouw-School'' atau biasa disingkat MLS (Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor. Ia sangat bahagia belajar di Bogor sehingga jarang mengambil cuti untuk pulang. Setelah menyelesaikan pendidikannya dia bergabung dengan Dinas Penerangan dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada tahun 1914 (Shiraishi, 1990: 110 dan Bambang Sukawati, 1983: 37). Menurut informasi yang lain, setelah menyelesaikan pendidikan Suryopranoto bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial sebagai juru ketik kantor pemerintahan di Tuban. (Firmansyah, 2020: 49). | Sebagai seorang keturunan bangsawan pada masa kolonial memiliki keuntungan tersendiri bagi Suryopranoto, terutama dalam memperoleh pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Yogyakarta, dia melanjutkan pendidikannya ke [[Osvia|''Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren'' (OSVIA)]] Magelang dan ''Middelbare Landbouw-School'' atau biasa disingkat MLS (Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor. Ia sangat bahagia belajar di Bogor sehingga jarang mengambil cuti untuk pulang. Setelah menyelesaikan pendidikannya dia bergabung dengan Dinas Penerangan dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada tahun 1914 (Shiraishi, 1990: 110 dan Bambang Sukawati, 1983: 37). Menurut informasi yang lain, setelah menyelesaikan pendidikan Suryopranoto bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial sebagai juru ketik kantor pemerintahan di Tuban. (Firmansyah, 2020: 49). | ||
Raden Mas Suryopranoto merupakan salah seorang tokoh pergerakan yang secara konsisten memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas dari sistem kapitalis yang dijalankan pemerintah kolonial sejak akhir abad ke-19. Ia termasuk dalam golongan anak-anak bangsawan yang setelah mendapatkan pendidikan modern dari sekolah-sekolah formal yang disediakan oleh pemerintah sendiri, telah tumbuh menjadi salah seorang dari golongan intelektual pribumi yang telah sampai pada puncak kesadaran politik dan kultural untuk bangkit, bergerak, bersatu dan berjuang (Sukawati, 1983: 14). | Raden Mas Suryopranoto merupakan salah seorang tokoh pergerakan yang secara konsisten memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas dari sistem kapitalis yang dijalankan pemerintah kolonial sejak akhir abad ke-19. Ia termasuk dalam golongan anak-anak bangsawan yang setelah mendapatkan pendidikan modern dari sekolah-sekolah formal yang disediakan oleh pemerintah sendiri, telah tumbuh menjadi salah seorang dari golongan intelektual pribumi yang telah sampai pada puncak kesadaran politik dan kultural untuk bangkit, bergerak, bersatu dan berjuang (Sukawati, 1983: 14). | ||
Fokus perjuangan Suryopranoto membela rakyat kecil mulai terbentuk sejak dia bertemu dengan tokoh Syarikat Islam (SI), Haji Umar Said Cokroaminoto yang saat bekerja di sebuah kongsi dagang. Pertemuan tersebut terjadi saat Suryopranoto mulai bekerja setelah menamatkan sekolahnya. Hubungan kedua tokoh tersebut nantinya menjadi persahabatan. | Fokus perjuangan Suryopranoto membela rakyat kecil mulai terbentuk sejak dia bertemu dengan tokoh [[Sarekat Islam|Syarikat Islam (SI)]], [[Oemar Said Tjokroaminoto|Haji Umar Said Cokroaminoto]] yang saat bekerja di sebuah kongsi dagang. Pertemuan tersebut terjadi saat Suryopranoto mulai bekerja setelah menamatkan sekolahnya. Hubungan kedua tokoh tersebut nantinya menjadi persahabatan. | ||
Pertemuan dengan Tjokroaminoto telah memperluas pandangan Suryopranoto. Ia memperoleh banyak informasi mengenai perlakuan diskriminatif yang diterima oleh pedagang kecil bumiputra, sehingga menyulitkan mereka mengembangkan usahanya. Selain mendengar cerita kurang menyenangkan dari Tjokroaminoto, Suryopranoto juga melihat sendiri hal serupa terjadi di lingkungan kerjanya golongan bumiputra sering dimarahi oleh para pejabat kolonial dengan kata-kata ''inlander'' bodoh-pemalas (Firmansyah, 2020: 49-50). Kondisi inilah semakin membakar semangatnya untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Terhadap rintangan yang dialami oleh pedagang bumiputera, Suryopranoto merasa perlu dibentuk suatu kongsi dagang untuk melindungi mereka (Sukawati, 1983: 47). | Pertemuan dengan [[Oemar Said Tjokroaminoto|Tjokroaminoto]] telah memperluas pandangan Suryopranoto. Ia memperoleh banyak informasi mengenai perlakuan diskriminatif yang diterima oleh pedagang kecil bumiputra, sehingga menyulitkan mereka mengembangkan usahanya. Selain mendengar cerita kurang menyenangkan dari [[Oemar Said Tjokroaminoto|Tjokroaminoto]], Suryopranoto juga melihat sendiri hal serupa terjadi di lingkungan kerjanya golongan bumiputra sering dimarahi oleh para pejabat kolonial dengan kata-kata ''inlander'' bodoh-pemalas (Firmansyah, 2020: 49-50). Kondisi inilah semakin membakar semangatnya untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Terhadap rintangan yang dialami oleh pedagang bumiputera, Suryopranoto merasa perlu dibentuk suatu kongsi dagang untuk melindungi mereka (Sukawati, 1983: 47). | ||
Sebagaimana umumnya garis perjuangan yang ditempuh oleh golongan intelektual alumni sekolah-sekolah Barat sejak awal abad ke-20, Suryopranoto juga ikut berperan aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Untuk dapat mewujudkan semangat perjuangannya ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam yang merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda. Tidak lama setelah bergabung, dia sudah memimpin SI Wonosobo dan kemudian diangkat sebagai komisaris Central Serikat Islam (CSI) pada tahun 1914. Namun pada tahun 1916, ia berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke Yogyakarta. Di Yogyakarta ia pertama kali mendirikan koperasi petani, Mardi Kiswa, dan mencoba mengorganisir petani dan bekel, namun upaya ini terbukti tidak berhasil. | Sebagaimana umumnya garis perjuangan yang ditempuh oleh golongan intelektual alumni sekolah-sekolah Barat sejak awal abad ke-20, Suryopranoto juga ikut berperan aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Untuk dapat mewujudkan semangat perjuangannya ia mulai bergabung dengan [[Sarekat Islam]] yang merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda. Tidak lama setelah bergabung, dia sudah memimpin [[Sarekat Islam|SI]] Wonosobo dan kemudian diangkat sebagai komisaris Central Serikat Islam (CSI) pada tahun 1914. Namun pada tahun 1916, ia berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke Yogyakarta. Di Yogyakarta ia pertama kali mendirikan koperasi petani, Mardi Kiswa, dan mencoba mengorganisir petani dan bekel, namun upaya ini terbukti tidak berhasil. | ||
Suryopranoto kemudian aktif dalam organisasi Budi Utomo Yogyakarta yang didominasi oleh bangsawan dan priayi Pakualaman seperti R.M. Pandji Gondoatmodjo Dwidjosewojo. Selain bergabung dalam Budi Utomo, para bangsawan Pakualaman yang berpendidikan Barat merupakan bagian Adhi Dharma, perkumpulan para pangeran Pakualaman. Suryopranoto menjadi tokoh terkemuka dan berhasil mengubahnya Adhi Dharma dari sebuah klub bangsawan Pakualaman menjadi jaringan patronase bangsawan Pakualaman dan priayi, meluas tidak hanya ke Pakualaman tetapi juga ke Kasultanan dan seterusnya (Shiraishi, 1990: 110). Sejak itu arah pergerakan yang dilakukan Suryupranoto semakin mengarah ke “akar rumput” membela rakyat kecil, khususnya kaum buruh bumiputra. | Suryopranoto kemudian aktif dalam organisasi Budi Utomo Yogyakarta yang didominasi oleh bangsawan dan priayi Pakualaman seperti R.M. Pandji Gondoatmodjo Dwidjosewojo. Selain bergabung dalam Budi Utomo, para bangsawan Pakualaman yang berpendidikan Barat merupakan bagian Adhi Dharma, perkumpulan para pangeran Pakualaman. Suryopranoto menjadi tokoh terkemuka dan berhasil mengubahnya Adhi Dharma dari sebuah klub bangsawan Pakualaman menjadi jaringan patronase bangsawan Pakualaman dan priayi, meluas tidak hanya ke Pakualaman tetapi juga ke Kasultanan dan seterusnya (Shiraishi, 1990: 110). Sejak itu arah pergerakan yang dilakukan Suryupranoto semakin mengarah ke “akar rumput” membela rakyat kecil, khususnya kaum buruh bumiputra. | ||
Line 24: | Line 25: | ||
Dalam gelombang pemogokan yang berkembang dan sebagian besar berhasil ini, PFB berkembang pesat. Pada bulan Juni keanggotaannya melampaui seribu dan panitia pusat mulai menerbitkan organnya, Boeroeh Bergerak, di bawah kepemimpinan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Fladisoebroto. Pada akhir tahun 1919 PFB menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh cabang dan sepuluh ribu anggota dan calon anggota di seluruh Jawa. Keberhasilan ini tidak terlepas dari sosok Suryopranoto yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk membela kaum buruh. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di Cimahi pada 15 Oktober 1959 dalam usia 88 tahun. | Dalam gelombang pemogokan yang berkembang dan sebagian besar berhasil ini, PFB berkembang pesat. Pada bulan Juni keanggotaannya melampaui seribu dan panitia pusat mulai menerbitkan organnya, Boeroeh Bergerak, di bawah kepemimpinan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Fladisoebroto. Pada akhir tahun 1919 PFB menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh cabang dan sepuluh ribu anggota dan calon anggota di seluruh Jawa. Keberhasilan ini tidak terlepas dari sosok Suryopranoto yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk membela kaum buruh. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di Cimahi pada 15 Oktober 1959 dalam usia 88 tahun. | ||
Penulis | {{Penulis|Mawardi|Universitas Syiah Kuala|Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan}} | ||
Line 42: | Line 43: | ||
Sukawati, Bambang (1983) ''Raja Mogok: R.M. Soerjopranoto, Sebuah Buku Kenangan.'' Jakarta: Hasta Mitra. | Sukawati, Bambang (1983) ''Raja Mogok: R.M. Soerjopranoto, Sebuah Buku Kenangan.'' Jakarta: Hasta Mitra. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 03:04, 17 September 2024
Raden Mas Suryopranoto adalah tokoh Pergerakan Nasional yang telah mendapat pengakuan negara dengan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Sukarno pada 30 November 1959. Pengakuan ini tidak lepas dari kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, terutama kaum buruh. Intensifnya keterlibatan Suryupranoto dalam pergerakan kaum buruh melawan kebijakan-kebijakan pemilik perusahaan yang diskriminatif melalui pemogokan, membuat dia dijuluki dengan “raja mogok” yang sangat ditakuti oleh pemilik perusahaan dan pemerintah kolonial Belanda.
Kedekatan Suryopranoto dengan rakyat kecil merupakan suatu keunikan tersendiri bagi seorang keturunan bangsawan, tidak seperti kaum bangsawan pada umumnya yang hidup berselimutkan kemurahan hati Belanda. Soerjopranoto adalah seorang anak bangsawan yang populis yang memilih jalan “menyimpang” dari jalan yang ditempuh kaum bangsawan pada umumnya. Ia terjun ke dalam kancah pergerakan nasional, khususnya gerakan buruh yang jarang dilakukan oleh anak bangsawan lainnya (Budiawan, 2006: 217 dan Firmansyah, 2020: 4).
Raden Mas Soerjopranoto lahir di Paku Alam Yogyakarta pada 11 Juni 1871 dengan nama kecil Raden Mas Iskandar. Dia merupakan putra tertua dari Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat dan cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III. Ini berarti bahwa Suryopranoto adalah bangsawan utama Paku Alam, karena dia merupakan cucu dari Paku Alam III. Dia tidak mendapat kesempatan mewarisi tahta karena orang tuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Soerjaningrat, menjelang dewasa terserang penyakit mata yang menyebabkan kebutaan sehingga hak tahta tersebut hilang. Suryopranoto juga merupakan saudara laki-laki tertua dari Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara (Shiraishi, 1990: 110; Damayanti, 2015: 4).
Sebagai seorang keturunan bangsawan pada masa kolonial memiliki keuntungan tersendiri bagi Suryopranoto, terutama dalam memperoleh pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Yogyakarta, dia melanjutkan pendidikannya ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) Magelang dan Middelbare Landbouw-School atau biasa disingkat MLS (Sekolah Menengah Pertanian) di Bogor. Ia sangat bahagia belajar di Bogor sehingga jarang mengambil cuti untuk pulang. Setelah menyelesaikan pendidikannya dia bergabung dengan Dinas Penerangan dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada tahun 1914 (Shiraishi, 1990: 110 dan Bambang Sukawati, 1983: 37). Menurut informasi yang lain, setelah menyelesaikan pendidikan Suryopranoto bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial sebagai juru ketik kantor pemerintahan di Tuban. (Firmansyah, 2020: 49).
Raden Mas Suryopranoto merupakan salah seorang tokoh pergerakan yang secara konsisten memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas dari sistem kapitalis yang dijalankan pemerintah kolonial sejak akhir abad ke-19. Ia termasuk dalam golongan anak-anak bangsawan yang setelah mendapatkan pendidikan modern dari sekolah-sekolah formal yang disediakan oleh pemerintah sendiri, telah tumbuh menjadi salah seorang dari golongan intelektual pribumi yang telah sampai pada puncak kesadaran politik dan kultural untuk bangkit, bergerak, bersatu dan berjuang (Sukawati, 1983: 14).
Fokus perjuangan Suryopranoto membela rakyat kecil mulai terbentuk sejak dia bertemu dengan tokoh Syarikat Islam (SI), Haji Umar Said Cokroaminoto yang saat bekerja di sebuah kongsi dagang. Pertemuan tersebut terjadi saat Suryopranoto mulai bekerja setelah menamatkan sekolahnya. Hubungan kedua tokoh tersebut nantinya menjadi persahabatan.
Pertemuan dengan Tjokroaminoto telah memperluas pandangan Suryopranoto. Ia memperoleh banyak informasi mengenai perlakuan diskriminatif yang diterima oleh pedagang kecil bumiputra, sehingga menyulitkan mereka mengembangkan usahanya. Selain mendengar cerita kurang menyenangkan dari Tjokroaminoto, Suryopranoto juga melihat sendiri hal serupa terjadi di lingkungan kerjanya golongan bumiputra sering dimarahi oleh para pejabat kolonial dengan kata-kata inlander bodoh-pemalas (Firmansyah, 2020: 49-50). Kondisi inilah semakin membakar semangatnya untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Terhadap rintangan yang dialami oleh pedagang bumiputera, Suryopranoto merasa perlu dibentuk suatu kongsi dagang untuk melindungi mereka (Sukawati, 1983: 47).
Sebagaimana umumnya garis perjuangan yang ditempuh oleh golongan intelektual alumni sekolah-sekolah Barat sejak awal abad ke-20, Suryopranoto juga ikut berperan aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan. Untuk dapat mewujudkan semangat perjuangannya ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam yang merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda. Tidak lama setelah bergabung, dia sudah memimpin SI Wonosobo dan kemudian diangkat sebagai komisaris Central Serikat Islam (CSI) pada tahun 1914. Namun pada tahun 1916, ia berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke Yogyakarta. Di Yogyakarta ia pertama kali mendirikan koperasi petani, Mardi Kiswa, dan mencoba mengorganisir petani dan bekel, namun upaya ini terbukti tidak berhasil.
Suryopranoto kemudian aktif dalam organisasi Budi Utomo Yogyakarta yang didominasi oleh bangsawan dan priayi Pakualaman seperti R.M. Pandji Gondoatmodjo Dwidjosewojo. Selain bergabung dalam Budi Utomo, para bangsawan Pakualaman yang berpendidikan Barat merupakan bagian Adhi Dharma, perkumpulan para pangeran Pakualaman. Suryopranoto menjadi tokoh terkemuka dan berhasil mengubahnya Adhi Dharma dari sebuah klub bangsawan Pakualaman menjadi jaringan patronase bangsawan Pakualaman dan priayi, meluas tidak hanya ke Pakualaman tetapi juga ke Kasultanan dan seterusnya (Shiraishi, 1990: 110). Sejak itu arah pergerakan yang dilakukan Suryupranoto semakin mengarah ke “akar rumput” membela rakyat kecil, khususnya kaum buruh bumiputra.
Didirikannya serikat-serikat buruh oleh para pekerja Eropa sejak akhir abad ke-19, yang sejak awal abad ke-20 mulai menerima kalangan bumiputra menjadi anggota, telah memicu serikat buruh dibangun oleh kaum bumiputra dalam masa-masa sesudahnya. Lahirlah beberapa serikat buruh bumiputra antara lain adalah Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (PBP) tahun 1911, Perserikatan Goeroe Hindia Belanda tahun 1912, dan Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (PPPB) tahun 1914. Setelah melihat perjuangan melalui serikat pekerja ini lebih efektif menekan pemilik perusahaan, Suryopranoto mendirikan Persoeneel Fabriek Bond (PFB) tahun 1917 dengan tujuan untuk memberi pertolongan kepada keluarga buruh pabrik di Yogyakarta dengan menuntut perbaikan upah. Tujuan tersebut ternyata sangat menarik bagi kaum buruh sehingga keanggotaannya segera meluas ke seluruh Jawa. PFB semakin kuat setelah Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Onderneming (PKBO) menggabungkan diri ke dalamnya setahun kemudian. PFB semakin menarik bagi para pekerja (DS dan Cahyono, 2003: 10).
Untuk memperkuat basis perjuangannya, Soerjopranoto mengambil alih kepemimpinan SI Yogyakarta yang stagnan ini pada tahun 1918. Ekspansi besar-besaran PFB mendorong Soerjopranoto sebagai propagandis serikat pekerja terkemuka dan SI Yogyakarta menjadi pusat baru pergerakan. Pada tahun 1919 PFB menganjurkan kepada anggotanya untuk melakukan pemogokan yang berlanjut tahun 1920, setelah syarat-syarat yang diminta tidak dipenuhi pemerintah. Pemogokan diikuti oleh pabrik-pabrik gula lainnya di Jawa. Akan tetapi pemogokan ini dapat diredakan setelah si “Raja Mogok” Suryopranoto ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara (Shiraishi, 1990: 112 dan Suhartono, 2001: 106-07).
Dalam gelombang pemogokan yang berkembang dan sebagian besar berhasil ini, PFB berkembang pesat. Pada bulan Juni keanggotaannya melampaui seribu dan panitia pusat mulai menerbitkan organnya, Boeroeh Bergerak, di bawah kepemimpinan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Fladisoebroto. Pada akhir tahun 1919 PFB menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh cabang dan sepuluh ribu anggota dan calon anggota di seluruh Jawa. Keberhasilan ini tidak terlepas dari sosok Suryopranoto yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk membela kaum buruh. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di Cimahi pada 15 Oktober 1959 dalam usia 88 tahun.
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Budiawan (2006) Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKIS.
Damayanti, Debby Ariska (2015) “Peranan Raden Mas Soerjopranoto dalam Pemogokan Pabrik Gula di Jawa Tengah Tahun 1917-1931”, Artikel FKIP UPY, Yogyakarta.
DS, Soegiri dan Cahyono, Edi (2003) Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.
Firmansyah, Dean (2020) “Peran Politik Suryopranoto dalam Pergerakan Nasional Tahun 1911-1933”, Skripsi S1 Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Shiraishi, Takashi (1990) An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Itacha and London: Cornel University Press.
Suhartono (2001) Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1942. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukawati, Bambang (1983) Raja Mogok: R.M. Soerjopranoto, Sebuah Buku Kenangan. Jakarta: Hasta Mitra.