Oemar Said Tjokroaminoto

From Ensiklopedia

Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau dikenal sebagai H.O.S. Tjokroaminoto adalah pemimpin Sarekat Islam (SI) dan menjadi figur penting pergerakan anti kolonial sampai kematiannya. Ia lahir di Bakur Madiun Jawa Timur pada 16 Agustus 1882,  putra bangsawan Surakarta dari Raden Mas Tjokroamiseno. Dia adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Sejak kecil ia dikenal memiliki watak sebagai pemimpinan, berani dan kuat berpendirian. Ia menamatkan pendidikan dari sekolah pamong praja, Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Semarang tahun 1902 (Gonggong1985: 3-6). Setelah itu dia bekerja sebagai juru tulis patih Ngawi selama tiga tahun (1902-1905).

Tjokro, begitu nama panggilnya, menikah dengan Raden Mas Ayu Suharsikin, putri wakil bupati Ponorogo, Raden Mas Magunsumo. Dengan demikian ia memiliki trah bangsawan Jawa yang amat kuat dari kedua belah keluarganya. Namun dia tidak suka penghormatan yang berlebihan kepada sesama manusia karena latar sosial. Tjokro tidak suka dengan cara berinteraksi di tempat kerjanya yang harus menghormati orang Belanda secara berlebih. Itulah sebabnya dia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah, suatu pilihan yang tidak lazim pada masa itu. Magunsumo berupaya membujuk agar dia mau kembali bekerja lagi, tetapi dia tidak mau. Hubungan Tjokro dengan Magunsumo pun menjadi kurang harmonis di rumah. Untuk menghindari suasana itu, dia meninggalkan rumah, pergi ke kota Semarang dan bekerja sebagai kuli pelabuhan. Sementara istrinya tetap tinggal bersama orang tuanya di Ponorogo (Gonggong 1985: 9-15).

Tjokro menetap di kota Surabaya mulai tahun 1906. Di sana dia bekerja sebagai juru tulis pada sebuah firma Inggris, Kooy & Co. Dia belajar pada sekolah kejuruan petang atau Burgerlijk Avondschool (BAS) selama tiga tahun (1907-1910). Pada saat itu usianya 24 tahun. Dengan kematangan usia dan pendidikan yang dimilikinya, Tjokro tampil sebagai pemimpin di lingkungan siswa BAS dan membawa mereka dalam agenda politik baru mewakili semangat kaum terpelajar muda di Surabaya (Achdian 2017: 36-37). Pasca studi dia pindah dari firma itu dan bekerja sebagai calon masinis, kemudian pindah ke pabrik gula di luar kota Surabaya sebagai ahli kimia pada 1911-1912 (Noer 1982: 121).

Tjokro punya tiga anak, yaitu Harsono, Anwar, dan Utari. Mereka tinggal di kampung Paneleh Gang 7, suatu kawasan pemukiman padat di kota Surabaya. Rumahnya dibagi 10 kamar kecil termasuk loteng sebagai tempat kos bagi pelajar. Bagian depan untuk keluarga dan belakang bagi anak-anak kos, antara lain adalah Sukarno yang pada saat itu berusia 15 tahun. Isteri Tjokro baik budi dan lembut. Dia mengumpulkan uang makan dari anak-anak kos setiap minggu dan membuat peraturan: (1) makan malam pukul sembilan dan barang siapa yang terlambat tidak mendapat makan, (2) anak sekolah sudah harus ada di kamarnya pukul 10 malam, (3) anak sekolah harus bangun pukul empat pagi untuk belajar, dan (4) dilarang keras berpacaran (Adams 2011: 44).  

Surabaya merupakan kota yang sangat sibuk, mirip dengan New York. Ia memiliki pelabuhan yang bagus dan pusat perdagangan yang hidup. Surabaya penuh persaingan dagang yang sengit dari orang-orang Tionghoa. Para pelaut dan saudagar yang datang banyak membawa berita dari segala penjuru dunia. Penduduknya terus bertambah. Kota ini bergolak oleh rasa tidak puas dan semangat revolusioner. Surabaya tumbuh menjadi dapur nasionalisme (Adams, 2011: 41).

Tjokro mulai berkiprah dalam organisasi melalui Budi Utomo (BU). Setelah kongres di Yogyakarta pada Oktober 1908, BU membuka cabang di berbagai daerah antara lain Surabaya dengan ketua cabang Tjokroaminoto. Pada 9 November 1908, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad memberitakan bahwa Raden Oemar Said sebagai ketua perkumpulan BU menyampaikan ceramah di Paseban, kediaman Bupati Surabaya, tentang tujuan dan agenda kerja BO. Acara itu dihadiri oleh bupati, para priayi, dan pegawai jawatan kereta api negara (Staatspoorwegen) dan Dinas Pos dan Telegraf. Tiga hari kemudian anggota organisasi yang terdaftar sebanyak 52 orang. Perkembangan organisasi ini masih terbatas pada siswa BAS. Pada akhir November jumlah anggota bertambah menjadi 120 orang. Rapat umum 20 Desember dihadiri sekitar 300 orang, terdiri atas kelompok siswa BAS, pejabat tinggi Surabaya (Bupati, Residen dan Asisten Residen), serta perwakilan golongan Tionghoa dan Arab. Dalam rapat itu terpilih ketua baru BU yaitu Raden Pandji Tjokrodiprodjo (wedana kota Surabaya) dan wakilnya adalah Tjokroaminoto (Achdian 2017: 41-45).  

Puncak kiprah Tjokro dalam pergerakan nasional ketika memimpin Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Organisasi ini bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk K.H. Samanhoeddhi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, dan M. Hadji Abdulradjak pada tahun 1905 sebagai benteng para pedagang batik bumiputera terhadap dominasi Cina dan bangsawan lokal di Solo (Noer 1982: 115-116). Sarekat Islam dibentuk di Solo pada 11 November 1911. Anggaran dasar pertama disusun oleh Raden Mas Tirtoadisurdjo, lulusan OSVIA dan pendiri Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor 1911. Tujuannya adalah meningkatkan persaudaraan dan tolong-menolong antara sesama kaum muslim dalam mengangkat derajat rakyat guna mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan kebesaran negeri (Noer, 1982: 116). Periodisasi organisasi ini dibagi empat yaitu masa pertumbuhan (1911-1916), masa puncak (1916-1921), masa konsolidasi (1921-1927), dan masa eksistensi di forum politik Indonesia (1927-1942) (Noer 1982: 114).

Tjokro bergabung dengan SI pada bulan Mei 1912 atas ajakan dari Haji Samanhoedi. Ia menyusun Anggaran Dasar baru organisasi ini bagi seluruh Indonesia. Kongres pertama di Surabaya (Januari 1913) memutuskan untuk membagi wilayah SI menjadi tiga: Jawa Barat (termasuk Sumatra dan pulau-pulau sekitar Sumatra), Jawa Tengah (termasuk Kalimantan), dan Jawa Timur (mencakup pulau Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur). Semua cabang di bawah pengawasan pengurus pusat di Surakarta yang dipimpin Samanhoedi. Pada 18 Februari 1914, para pemimpin SI bertemu di Yogyakarta memutuskan membentuk pengurus pusat yang terdiri atas Samanhoedi sebagai ketua kehormatan, Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Gunawan selaku wakil ketua. Kepengurusan ini diakui oleh pemerintah pada 18 Maret 1916 (Noer 1982: 118-119).

Rapat pengarahan pra kongres nasional SI dilaksanakan di rumah Regen Cianjur, R.A.A. Wiranatakusumah. Ini menunjukkan adanya perubahan. Sebelum tahun 1916, para administrator tinggi pribumi menjauhkan diri dari SI, namun sekarang mereka telah memandang eksistensinya. Regen Serang (Banten), Achmad Djajadiningrat, juga ikut SI. Saudaranya, Hasan, menjadi pemimpin dan organisator cabang Serang. Regen lain adalah Kusumo Utoyo dari Jepara (van Niel 1984: 169-171).

Kongres Nasional pertama selama satu pekan (17-24 Juni 1916) di alun-alun Bandung yang dihadiri 80 SI lokal dengan 860.000 orang anggota (Noer 1982: 140). Tjokro menyampaikan pidato politik selama dua jam pada rapat umum hari Minggu 18 Juni. Dalam pidato itu dia mengatakan bahwa:

“Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangs akita, atau sebagian besar dari bangs akita. Kita cinta tanah air, di mana kita dilahirkan; dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.
Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harap dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk bumiputra hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan, yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita dan tanpa kita ikut serta dari kita.
Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya Ratu Adil, atau kejadian yang bukan-bukan, yang kenyataannya memang tidak akan terjadi. Tapi kita akan terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia-Belanda, paling sedikit Dewan Jajahan, agar kita dapat ikut berbicara dalam urusan pemerintahan. Tuan-tuan jangan takut, bahwa kiota dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan “Pemerintahan sendiri”....]
“Kita menyadari dan mengerti benar, bahwa mengadakan pemerintahan sendiri, adalah satu hal yang sangat sulit, dan bagi kita hal itu laksana suatu impian. Akan tetapi bukan impian dalam waktu tidur, tetapi harapan yang tertentu, yang dapat dilaksanakan, jika kita berusaha dengan segala kekuatan yang ada pada kita, dan dengan memakai segala daya upaya melalui jalan yang benar dan menurut hukum”.
“Kita sama sekali tidak berteriak: “Persetan Pemerintah”. Kita malah berseru: “Dengan Pemerintah, bersama dengan Pemerintah dan untuk membantu Pemerintah menuju ke arah yang benar”. Tujuan kita adalah bersatunya Hindia dan Nederland, dan untuk menjadi warga-negara “Negara Hindia”, yang mempunyai Pemerintah Sendiri”. […Kita berharap, bahwa gerakan evolusi ini senantiasa akan berlangsung di bawah naungan Sang Tiga Warna. Tapi bagaimanapun juga, rakyat harus bekerja untuk menentukan nasibnya sendiri” (Roem 1977: 20-22).            

Pidato tersebut menunjukkan dua pandangan Tjokro. Di satu sisi berupaya untuk membangun kemandirian bagi anak negeri dan negerinya. Di sisi lain ia menganjurkan sikap kooperatif terhadap pemerintah. Cara itu dipandang efektif dalam memelihara kelangsungan pergerakan, karena SI pernah dibekukan oleh Residen Surakarta. Pandangan ini direspon secara berbeda oleh anggotanya, antara lain terkait keterlibatan SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Tokoh yang mendukung pandangan ini ialah Abdoel Muis. Menurutnya, partisipasi seperti itu memungkinkan bagi partai mengemukakan pandangannya tentang berbagai masalah dan untuk membela hak-hak rakyat. Ia memandang Volksraad sebagai suatu langkah mendirikan dewan perwakilan yang sebenarnya. Sebaliknya, tokoh yang tidak setuju dengan pandangan itu adalah Semaun (ketua SI lokal Semarang). Menurutnya, Dewan Rakyat hanyalah suatu “pertunjukan kosong, suatu akal dari kaum kapitalis mengelabui mata rakyat jelata untuk memperoleh untung lebih banyak”. Pandangan pertama disetujui PSI. Pada 23 Februari 1918 Tjokro ditunjuk oleh pemerintah masuk dalam Dewan Rakyat. Tjokro dan Moeis mendominasi Dewan Rakyat (Noer 1982: 129-130).  

Pertentangan antara Moeis dengan Semaun dan Darsono semakin kuat pada Kongres Nasional ketiga di Surabaya pada 29 September – 6 Oktober 1918. Semaun dan Darsono mengancam menarik mundur cabang SI Semarang. Manuver ini secara tidak langsung ditujukan kepada Tjokro yang selama ini mencurahkan usaha menjaga kesatuan umat Islam. Untuk menguasai kelompok ini, Semaun dimasukkan dalam panitia pengarahan sentral, sedangkan Darsono menjadi propagandis resmi (van Niel 1984: 191-192). Sementara itu, kelompok lain yang dipimpin Agus Salim berusaha membawa organisasi kembali kepada konsep keagamaan. Sarekat Islam pun berlayar di lautan penuh gelombang. Tjokro mengalami kesukaran pada setiap langkahnya mengendalikan organisasi (van Niel 1984: 205). Jumlah anggota berkurang drastis dari 825.000 pada Kongres Nasional kedua di Jakarta tahun 1917 menjadi 450.000 pada Kongres Nasional ketiga di Surabaya tahun 1918. Meskipun terjadi pertentangan, Tjokro tetap mendapat banyak pendukung. Kongres Nasional Keempat di Surabaya tahun 1919 dihadiri 2 ½ juta orang dari 83 satuan SI. Jumlah ini merupakan pencapaian terbanyak dalam sejarah keanggotaan SI (Noer 1982: 140).

Tjokro sangat erat dengan SI. Ia tampil sebagai pembicara yang menarik dan bersemangat. Ia dapat menawan hati banyak orang dan menjadi simbol harapan bagi mereka yang merasa diri tertekan dan yang sudah merasa bebas. Ia menjadi suatu inkarnasi kebaikan dan kebahagiaan masa depan atas nama Islam. Bersamaan dengan kemajuan popularitasnya, SI pun semakin kuat. Para intelektual Indonesia terbaik menjadi pengurus SI dan mengitarinya. Keinginan utama Tjokro adalah mempertahankan kesatuan dalam organisasi (van Niel 1984: 145-146).

Keberhasilan tersebut disusul oleh tuntutan pemerintah kepada pimpinan SI untuk bertanggungjawab terhadap kejadian di Toli-toli Sulawesi Tengah (Juni 1919) dan Garut Jawa Barat (Juli 1919) yang dimotori SI lokal. Akibatnya Tjokro dipenjarakan tahun 1920 dan Kongres Nasional Keempat di Surabaya dipimpin oleh Agus Salim (Gonggong 1985: 46-47). Dalam kongres ini terjadi pertentangan antara Agus Salim dengan Semaun terkait disiplin partai, bahwa anggota SI tidak boleh memiliki keanggotaan ganda. Mereka harus memilih salah satunya. Pada akhirnya Semaun dan pendukungnya dari Solo, Salatiga, Sukabumi, dan Bandung ke luar dari SI. Mereka mengorganisir diri menjadi Sarekat Rakyat. Dampaknya jumlah anggota SI lokal semakin berkurang dari 53 satuan pada kongres kelima (Yogyakarta, Mei 2021) menjadi 36 satuan pada kongres keenam (Surabaya, Oktober 1921) (Noer 1982: 145).

Kendati Tjokro telah dibebaskan pada Oktober 1921, namun kondisi partai sudah terpecah belah akibat keluarnya kubu Semaun yang berhaluan komunis. Sarekat Islam berupaya mendekatkan semua organisasi Islam. Pada 1920-1922 diadakan kongres Al-Islam secara berturut-turut di Cirebon dan Garut yang bertujuan untuk mengurangi perbedaan di antara umat Islam dengan mengutamakan persatuan menghadapi penjajah. Pada kongres SI di Madiun 1923 diputuskan bahwa Central SI (CSI) diubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Sikap terhadap Belanda berubah dari kooperasi menjadi non-kooperasi. Sikap yang terakhir itu ditegaskan lagi pada Kongres Nasional 1924, selain bergiat menentang gerakan komunis. Pada tahun 1925, Agus Salim memutuskan keluar dari Volksraad (Gonggong 1985: 51).  

Pada awal tahun 1925 Tjokro (SI) dan KHM. Mansur (Muhammadiyah) berangkat ke Mekkah, sebagai wakil bangsa Indonesia, untuk menghadiri Muktamar ‘Alam Islamy. Setelah mereka kembali ke tanah air lalu diadakan Muktamar Al-Islam Kongres di Surabaya pada September 1926. Dalam kongres itu diputuskan membentuk Muktamar ‘Alam Islamy Far-‘ul Hindis Syarayah (MAIHS), menggantikan Komite Khilafat yang dibentuk di Surabaya 4 Oktober 1924, sebagai cabang Muktamar ‘Alam Islamy di Mekkah. Ketuanya adalah Tjokro, wakil ketua adalah Wondoamiseno, dan sekretaris ialah Agus Salim. Organisasi ini berpusat di Surabaya. Atas prakarsa Tjokro maka dibentuk Hadz Organisasi Hindia sebagai badan penerangan perjalanan haji ke Mekkah dan Madinah (Gonggong 1985: 53).

Pada kongres nasional PSI di Pekalongan (28 September–2 Oktober 1926), Agus Salim menganjurkan untuk membentuk sebuah lembaga baru, berupa Majelis Ulama, yang diharapkan menyelesaikan perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam. Usulan tersebut diterima pada kongres PSI berikutnya di Yogyakarta (26-29 Januari 1928). Pada saat itu Tjokro sedang mengerjakan tafsir al-Quran di bawah pengawasan Majelis Ulama Indonesia. Kongres di Pekalongan juga menyetujui usulan Sukarno (dari PNI) untuk membentuk sebuah federasi yang terdiri dari PSI, PNI, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia dengan nama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Federasi ini terbentuk di Bandung dalam suatu rapat di Sekolah Taman Siswa pada 17-18 Desember 1927 (Ingleson 1988: 55). Tjokro hadir dalam kongres pertama PPPKI di Surabaya pada 30 Agustus–2 September 1928.

Ketika kaum muda nasionalis sekuler mengambil alih momentum gerakan nasionalis, Tjokro segera mengingatkan kepada anggota PSI agar tidak memasuki organisasi yang tidak berdasarkan pada agama, maksudnya adalah PNI yang berupaya menarik anggota PSI ke dalam PNI. Ia mengkritik Majelis Pertimbangan yang mengirim utusan ke Kongres Muhammadiyah tanpa persetujuan dari semua partai anggota PPPKI. PSI berhasil memaksa federasi itu menghapus komisi bank nasional dengan alasan bahwa bank akan memungut dan membayar bunga yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebagai gantinya PPPKI setuju memberikan dukungan kepada Bank Nasional Indonesia yang dikelola oleh Kelompok Studi Indonesia (Ingleson 1988: 81-82). Tjokro kurang sejalan dengan pandangan dan cara kerja PPPKI.

Pada tahun 1929 nama PSI diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setiap cabang partai di daerah berhak untuk mengadakan kongres dan kegiatannya. Kongres PSII cabang Surabaya (25-27 April 1929) dihadiri oleh dr. Soetomo. Menurut tokoh ini cita-cita Pan Islamisme sulit terwujud karena perasaan kebangsaan dalam diri umat Islam begitu banyak coraknya. Partai ini lebih mementingkan Islamisme daripada nasionalisme. Padahal, menurutnya, nasionalisme berakar kuat dalam Islam. Soetomo mengecam praktek poligami. Kecaman itu direspon oleh Tjokro bahwa Islam tidak memerintahkan poligami, ia hanya mengizinkan poligami (Gonggong 1985: 57-58).

Berdasarkan hasil kongres di Yogyakarta (24-27 Januari 1930), struktur PSII dibagi dua, yaitu Dewan Partai (Majelis Tahkim) dan Lajnah Tanfidhyah. Tjokro menjadi Ketua Dewan Partai dengan anggota Agus Salim dan Suryopranoto. Sementara ketua Lajnah Tanfidhyah dipercayakan kepada Abdoel Moetthallib Sangaji dan wakilnya dr. Sukiman. Dalam kongres ini disepakati anggaran dasar baru yang antara lain (1) menciptakan suatu persatuan yang kokoh di antara semua muslim menurut peraturan-peraturan agama Islam untuk memajukan kesentosaan negeri dan rakyat, dan (2) bekerjasama dengan perkumpulan lain untuk kepentingan umum (Gonggong 1985: 59; Noer 1982: 155). Setelah kongres, Tjokro dan Agus Salim berkeliling ke seluruh Jawa, sedangkan Sangaji dan Soekiman melaksanakan keputusan-keputusan kongres. Dari hasil perjalanan itu maka pada 5 Mei 1930 diadakan rapat secara serentak di Jawa pada 23 cabang SII dengan tujuan menuntut penghapusan semua jenis kerja paksa (Amelz, t.t.: 7).      

Kongres PSII di Surabaya tahun 1931 memutuskan Program Azas dan Program Tandhim perlu diberikan keterangan yang lebih jelas. Tugas itu diserahkan kepada Tjokro. Dsalam upaya menciptakan dunia Islam yang sejati, maka ada enam asas partai yang harus dijalankan: pertama, persatuan dalam umat Islam, bahwa untuk menjadikan umat Islam bersatu maka lebih dahulu diadakan suatu kaum (partai) di seluruh Indonesia yang tidak berpecah-belah; kedua, kemerdekaan umat (nationale vrijheid), bahwa kaum PSII percaya sekuat-kuatnya terhadap firman Allah dalam Al-Quran. Mereka akan dibela oleh Allah dalam usahanya, khususnya dalam perlawanan terhadap musuh-musuhnya; ketiga, sifat kerajaan (staat) dan pemerintahan, bahwa negara yang merdeka harus bersifat demokrasi (democratisch); keempat, dalam bidang ekonomi, kaum SII wajib memerangi kapitalisme mulai dari benihnya sampai ke akar-akarnya, karena bukan saja suatu kejahatan dalam pandangan manusia, tetapi juga diancam oleh Allah dan pelakunya diancam siksa di dunia dan akhirat; kelima, keadilan dan derajat manusia di dalam pergaulan hidup bersama; dan keenam, kemerdekaan yang sejati (Almelz, t.t.: 20-42). Untuk mewujudkan asas tersebut, setiap anggota harus berpijak kepada (1) sebersih-bersihnya tauhid, (2) ilmu (wetenschap), dan (3) siyasah (politiek), berkaitan dengan bangsa dan negeri tumpah-darah sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan umat-umat Islam di lain-lain negeri (Pan-Islamisme) (Almelz, t.t.: 44-48).  

Tjokro terus mengikuti perkembangan politik dunia Islam. Dia menghadiri kongres Al-Islam di Malang (April 1932) yang membicarakan antara lain seruan Mufti Besar Said Amin Al-Husainy untuk mengadakan Muktamar ‘Alam Islamy di Palestina. Sementara A.M. Sangaji melakukan perjalanan ke Sulawesi untuk menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh para pendukung PSII (Gonggong 1985: 61-62).

Pertentangan dalam tubuh PSII dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai asas dasar partai. Tjokro dan Agus Salim berpijak pada asas Islam, sebaliknya Soekiman dan Suryopranoto menghendaki asas kebangsaan. Soekiman dipecat tahun 1932. Kendati demikian, kegiatan partai terus ditingkatkan di luar Pulau Jawa. Dua tahun kemudian Tjokro meninggal dunia karena sakit pada 17 Desember 1934 (Gonggong 1985: 62).  

Majalah mingguan Penindjauan (Jakarta, Desember 1934) merilis berita bahwa “Pengandjur P.S.I. pemimpin pergerakan Bumiputera pahlwan Indonesia “jang utama” H.O.S. Tjokroaminoto malam Selasa 17/18 Desember ini, berpulang kerachmatullah. Inna lilahi wa’ina ilaihi radjiun!. Chabar ini tentu mengedjutkan segala golong Bumiputera Indonesia, karena beliau terkenal di seluruh negeri kita. Tua muda, besar ketjil, laki-laki perempuan semua tahu akan nama beliau itu. Adapun almarhum itu tjutju Bupati Ponorogo” (Almez, tt: 152).

Selama kurun waktu antara tahun 1914 sampai 1930, Tjokro tercatat sangat aktif dalam berbagai media massa (koran dan majalah). Dia menjadi pimpinan redaksi harian Utusan Hindia (1914-1923), majalah dua mingguan Bendera Islam (1924-1927), dan harian Fajar Asia (1927-1930). Kemudian sebagai editor pada majalah bulanan Al-Islam (1916) dan majalah dua mingguan Bintang Islam (1923-1926) (Noer, 1982: 345-347). Ini jelas bahwa media massa merupakan sebagai salah satu sarana paling efektif menyebarkan gagasan dan pandangan Tjokro tentang agama dan nasionalisme Indonesia kepada publik.

Di antara pelajar dan pejuang yang pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto adalah Sukarno. Pada saat itu Sukarno berusia 15 tahun dan Tjokro 33 tahun. Sukarno memiliki posisi istimewa di mata Tjokro dibandingkan dengan pelajar yang lain. Selain anak kos dan murid, Sukarno adalah menantu Tjokroaminoto. Sukarno (21 tahun) menikah dengan putri Tjokro yakni Oetari (16 tahun).  

Setiap hari para pemimpin partai lain atau pemimpin cabang SI datang di rumah Tjokro. Mereka biasanya tinggal beberapa hari. Ketika anak-anak kos lain keluar rumah menyaksikan pertandingan bola, Sukarno lebih memilih duduk dan mendengarkan percakapan para tamu dengan Tjokro. Ia mendapatkan pendidikan politik secara langsung dari Tjokro. Tokoh terakhir ini memiliki kemampuan berpidato yang luar biasa sehingga mampu menghipnotis para pendengarnya selama berjam-jam. Kemampuan seperti itu kelak dimiliki pula oleh Sukarno.  

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Achdian, A. 2017. Sarekat Islam sebagai Kelanjutan Boedi Oetomo:H.O.S. Tjokroaminoto dan Awal Kebangkitan Nasional di Kota Surabaya, 1908 – 1912.  Jurnal Sejarah, Vol. 1(1), hlm. 30 – 51

Adams, C. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. (terj. Syamsu Hadi). Yogyakarta: Media Presindo.

Amelz. tt. H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuanganja Jilid II. Djakarta: Bulan Bintang.

Gonggong, A. 1985. HOS. Tjokroaminoto. Jakarta: Depdikbud.

Ingleson, J. 1988. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Noer, D. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Hlm. 121-170.

Roem, M. 1977. Bunga Rampai dari Sejarah (I). Bandung: Bulan Bintang. Hlm.15-30.

van Niel, R. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.