Syarif Kasim II: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
No edit summary
 
Line 1: Line 1:
[[File:Syarif Kasim II - KITLV 80275.jpg|center|thumb|Syarif Kasim II. Sumber: [http://hdl.handle.net/1887.1/item:907979 Koleksi Digital KITLV - 80275] ]]
Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Syarif Kasim II adalah sultan terakhir di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang memerintah antara tahun 1915-1945. Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura pada tanggal 1 Desember 1893 dan wafat di Pekanbaru tanggal 23 April 1968. Sebagai putra mahkota, Syarif Kasim sejak kecil sudah belajar tentang ilmu-ilmu agama, politik, strategi, bahasa, dan keterampilan lainnya di istana (Wahyuni, Agustono & Warjio, 2020: 41). Pada tahun 1904, Syarif Kasim yang kala itu berusia 11 tahun pergi untuk belajar agama Islam kepada Sayed Husen al-Aidit di Batavia. Di sana, kemudian ia juga belajar Ilmu Hukum dan Ilmu Ketatanegaraan di ''Institut Beck en Volten'' di bawah asuhan Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Safwan, 2010: 15).
Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Syarif Kasim II adalah sultan terakhir di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang memerintah antara tahun 1915-1945. Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura pada tanggal 1 Desember 1893 dan wafat di Pekanbaru tanggal 23 April 1968. Sebagai putra mahkota, Syarif Kasim sejak kecil sudah belajar tentang ilmu-ilmu agama, politik, strategi, bahasa, dan keterampilan lainnya di istana (Wahyuni, Agustono & Warjio, 2020: 41). Pada tahun 1904, Syarif Kasim yang kala itu berusia 11 tahun pergi untuk belajar agama Islam kepada Sayed Husen al-Aidit di Batavia. Di sana, kemudian ia juga belajar Ilmu Hukum dan Ilmu Ketatanegaraan di ''Institut Beck en Volten'' di bawah asuhan Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Safwan, 2010: 15).



Latest revision as of 03:11, 17 September 2024

Syarif Kasim II. Sumber: Koleksi Digital KITLV - 80275


Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Syarif Kasim II adalah sultan terakhir di Kesultanan Siak Sri Indrapura yang memerintah antara tahun 1915-1945. Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura pada tanggal 1 Desember 1893 dan wafat di Pekanbaru tanggal 23 April 1968. Sebagai putra mahkota, Syarif Kasim sejak kecil sudah belajar tentang ilmu-ilmu agama, politik, strategi, bahasa, dan keterampilan lainnya di istana (Wahyuni, Agustono & Warjio, 2020: 41). Pada tahun 1904, Syarif Kasim yang kala itu berusia 11 tahun pergi untuk belajar agama Islam kepada Sayed Husen al-Aidit di Batavia. Di sana, kemudian ia juga belajar Ilmu Hukum dan Ilmu Ketatanegaraan di Institut Beck en Volten di bawah asuhan Prof. Dr. Snouck Hurgronje (Safwan, 2010: 15).

Selama berada di Batavia, Syarif Kasim banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama dari kalangan Sarekat Islam. Karena kedekatannya itu, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang sempat menaruh curiga kepada Syarif Kasim kemudian membatasi lingkaran pergaulannya. Namun benih anti-kolonialisme terlanjur bersemai di benak Syarif Kasim. Sayangnya, Syarif Kasim tidak mampu menunjukkan sikap yang frontal karena Kesultanan Siak masih terikat banyak perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda sejak masa lalu (Samin, 2002: 25).

Pada tahun 1915, Syarif Kasim telah tumbuh dewasa dan berhasil menyelesaikan studinya di Batavia. Ia memutuskan kembali ke Siak karena tugas selanjutnya sudah menunggu, yaitu naik tahta sebagai sultan Siak. Tepat setelah kepulangannya, Kesultanan Siak Sri Indrapura menggelar penobatan sultan baru pada tanggal 9 Maret 1915. Syarif Kasim resmi dilantik sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Sultan Syarif Kasim II pada usia 23 tahun (Yusuf, 1997: 12). Selama menjabat sebagai sultan ia terus memegang teguh prinsip hidupnya, yaitu membuat berbagai peraturan yang dapat menyejahterakan rakyat Kesultanan Siak. Hal ini menjadi bukti bahwa Sultan Syarif Kasim II merupakan sultan yang peduli dan dekat dengan rakyatnya.

Sebagai seorang sultan yang nasionalis, Sultan Syarif Kasim II lebih banyak menyalurkan ekspresi anti-kolonialismenya melalui jalur pendidikan. Sultan Syarif Kasim II mendirikan beberapa sekolah untuk rakyatnya, di antaranya Hollandsch Inlandsche School (HIS), Latifah School, dan Madrasah Taufiqiyah al-Hasimiyah (Wilaela, 2016: 120). Tidak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II pelan-pelan mulai memperkuat militer Kesultanan Siak. Hal itu dilakukannya untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi konfrontasi terbuka dengan pemerintah kolonial belanda. Sultan Syarif Kasim II terus mempertahankan sikap dan caranya tersebut sampai Indonesia merdeka.

Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Siak pada akhir bulan Agustus. Setelah mendengar berita tersebut, Sultan Syarif Kasim II mengutus sekretaris pribadinya untuk menemui Residen Riau sekaligus mengirim telegram kepada Presiden Sukarno di Jakarta. Tujuannya adalah menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura bergabung dan menjadi bagian dari Republik Indonesia yang baru merdeka. Keputusan tersebut pada awalnya mendapat penolakan dari para pembesar istana. Namun dengan cepat Sultan Syarif Kasim II membuat sebuah maklumat yang isinya meminta kepada seluruh bangsawan dan rakyat Kesultanan Siak Sri Indrapura untuk mendukung kemerdekaan Indonesia (Halim, 2001: 45).

Keputusannya untuk bergabung dengan Republik Indonesia dilandasi pengalaman pahit selama memimpin Kesultanan Siak Sri Indrapura di bawah penjajahan (Belanda dan Jepang). Pengalaman itu pula yang mendorong Sultan Syarif Kasim II untuk segera melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan lebih baik mengorbankan harta benda demi perjuangan Republik Indonesia. Keputusan ini sebenarnya amat berat karena situasi pemerintahan dan politik di Indonesia kala itu belum stabil. Namun Sultan Syarif Kasim II tetap berpendirian teguh untuk memberikan pengorbanan moril maupun materil demi tanah airnya agar terlepas dari penjajahan dan penindasan (Halim, 2001: 53).

Untuk mewujudkan cita-citanya, Sultan Syarif Kasim II tidak hanya memberikan dukungan, melainkan juga beraksi untuk membantu Republik Indonesia. Ia mengirim telegraf kepada tokoh-tokoh Republik di Jakarta bahwa dirinya ingin turut serta mendirikan Komite Nasional Indonesia (KNI), Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan badan-badan perjuangan lainnya di wilayah Riau. Pembentukan badan-badan perjuangan ini kemudian diikuti oleh rapat umum yang digelar di lapangan istana Siak dengan mengibarkan bendera merah putih. Dalam rapat tersebut, ia bersama seluruh rakyatnya mengucapkan janji setia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Pada bulan Februari 1946, Sultan Syarif Kasim II melakukan safari ke beberapa wilayah kesultanan Melayu di Sumatera Timur sebagai upaya konsolidasi agar sultan-sultan di sana turut bergabung dengan Republik Indonesia. Selama safari tersebut ia sebenarnya juga berniat untuk menemui Mr. Teuku Mohammad Hasan (Gubernur Sumatra) dan memberikan sumbangan sebagai bentuk komitmen Kesultanan Siak kepada pemerintah Republik Indonesia. Namun niat tersebut belum sempat terlaksana akibat terjadinya huru-hara yang dikenal sebagai peristiwa “Revolusi Sosial” di Sumatra Timur. Sultan Syarif Kasim II terpaksa mengungsi ke wilayah Langkat. Atas perintah Mr. Mohammad Hasan dan Daud Beureueh (Gubernur Militer Aceh), Sultan Syarif Kasim II beserta rombongan diamankan ke Aceh dan kemudian pada bulan Oktober 1949 mereka bertolak ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Setiba di Yogyakarta, Sultan Syarif Kasim II beserta rombongan disambut dengan upacara kebesaran di Gedung Agung Yogyakarta. Dalam upacara tersebut, Sultan Syarif Kasim II menyerahkan mahkota dan sumbangan harta benda lainnya senilai 13 juta gulden (± 1,47 triliun rupiah) sebagai bantuan modal kepada pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri (Safwan, 2010: 56).

Atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia memberi gelar kehormatan Pahlawan Nasional kepada Sultan Syarif Kasim II disertai anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana melalui Keppres Nomor 109/TK/1998 tanggal 6 November 1998. Sejak tahun 2000 namanya juga diabadikan sebagai nama bandara di Kota Pekanbaru, menggantikan nama Bandara Simpang Tiga menjadi Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II. Selain itu namanya juga disematkan pada perguruan tinggi di Pekanbaru yaitu Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim II.

Penulis:  Ahmad Muhajir


Referensi

Halim, Edyanus Herman (2001). Mengapa Harus Merdeka?: Tangis dan Darah Rakyat Riau dalam Memperjuangkan sebuah Marwah. Pekanbaru: Unri Press.

Safwan, Mardanas (2010). Sultan Syarif Kasim II: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, 1893-1968. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Samin, Suwardi Mohammad (2002). Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.

Wahyuni, Murni, Budi Agustono, & Warjio (2020). “Siak Masa Revolusi Tahun 1945-1949.” Yupa: Historical Studies Journal 4(1): 40–49. DOI: 10.30872/yupa.v4i1.243.

Wilaela (2016). “Pendidikan Jalan Tengah di Kerajaan Siak (1915-1945).” Sosial Budaya 12(1): 102–16. DOI: 10.24014/SB.V12I1.1929.

Yusuf, Yusman (1997). “Sultan Siak II di Mata Masyarakat Riau.” Makalah Seminar Sultan Syarif Kasim II. Bengkalis.