Sudiro: Difference between revisions
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Sudiro. Sumber- ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P10-081.jpg|center|thumb|Sudiro. Sumber: [https://anri.go.id ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P10-081]]] | |||
Sudiro dilahirkan pada 24 April 1911 di Kampung Ledokratmakan, Kota Yogyakarta. Ayahnya, Hardjodisastro, bekerja sebagai ''hoofdlaborant'' (kepala laboratorium) sebuah pabrik gula di Klaten, sebelum dipindahkan ke Ledokratmakan. Pendidikan dasar Sudiro ditempuh di ''Sekolah Ongko Loro'' di daerah Margoyasan Yogyakarta. Setelah berumur 6 tahun, Sudiro masuk di sekolah ''Neutrale Hollands Javaansche School'' di daerah Danurejan, yang diperuntukkan bagi anak-anak Jawa yang orang tuanya menjadi pegawai negeri. Di sekolah ini sewaktu duduk di kelas 4, Sudiro sempat mengikuti gerakan kepanduan bernama ''Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging'' (Soebagijo, 1981: 14). | Sudiro dilahirkan pada 24 April 1911 di Kampung Ledokratmakan, Kota Yogyakarta. Ayahnya, Hardjodisastro, bekerja sebagai ''hoofdlaborant'' (kepala laboratorium) sebuah pabrik gula di Klaten, sebelum dipindahkan ke Ledokratmakan. Pendidikan dasar Sudiro ditempuh di ''Sekolah Ongko Loro'' di daerah Margoyasan Yogyakarta. Setelah berumur 6 tahun, Sudiro masuk di sekolah ''Neutrale Hollands Javaansche School'' di daerah Danurejan, yang diperuntukkan bagi anak-anak Jawa yang orang tuanya menjadi pegawai negeri. Di sekolah ini sewaktu duduk di kelas 4, Sudiro sempat mengikuti gerakan kepanduan bernama ''Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging'' (Soebagijo, 1981: 14). | ||
Revision as of 21:42, 28 August 2024
Sudiro dilahirkan pada 24 April 1911 di Kampung Ledokratmakan, Kota Yogyakarta. Ayahnya, Hardjodisastro, bekerja sebagai hoofdlaborant (kepala laboratorium) sebuah pabrik gula di Klaten, sebelum dipindahkan ke Ledokratmakan. Pendidikan dasar Sudiro ditempuh di Sekolah Ongko Loro di daerah Margoyasan Yogyakarta. Setelah berumur 6 tahun, Sudiro masuk di sekolah Neutrale Hollands Javaansche School di daerah Danurejan, yang diperuntukkan bagi anak-anak Jawa yang orang tuanya menjadi pegawai negeri. Di sekolah ini sewaktu duduk di kelas 4, Sudiro sempat mengikuti gerakan kepanduan bernama Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (Soebagijo, 1981: 14).
Setelah lulus dari sekolah Neutrale, Sudiro melanjutkan pendidikan ke sekolah guru karena pertimbangan praktis, yakni biaya dan jumlah adik yang bersekolah masih banyak. Sudiro kemudian bersekolah di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Jetis Yogyakarta. Di sekolah guru, Sudiro tetap mengikuti gerakan kepanduan, selain juga terpilih sebagai ketua klub catur sewaktu duduk di kelas 2. Aktivitasnya di luar sekolah adalah menjadi anggota dari Jong Java cabang Yogyakarta.
Berkat prestasinya selama di sekolah guru, pada tahun 1926 Sudiro dikirim ke Sekolah Tinggi Guru (Hogere Kweekschool) atau HKS, yang semula berada di Purworejo namun kemudian dipindahkan ke Magelang. Di Magelang Sudiro melanjutkan keanggotaannya di Jong Java, bahkan menjadi ketua Indonesia Muda wilayah Magelang. Indonesia Muda adalah sebuah organisasi pemuda seluruh Indonesia, yang meleburkan diri menjadi satu, dan disahkan pada 31 Desember 1930. Bersama anggota Indonesia Muda Yogyakarta dan Surakarta, Sudiro menerbitkan majalah Garuda Merapi. Dalam majalah tersebut Sudiro menjadi salah satu anggota tim redaksi (Soebagijo, 1981: 25).
Setelah tamat HKS, Sudiro melamar jabatan Direktur MULO-Kweekschool Budi Utomo cabang Madiun, dan mulai bekerja pada 1 Juli 1931. Di Madiun Sudiro menikah dengan pujaan hatinya Siti Djauhari pada 13 Desember 1931. Pernikahan dilaksanakan di Kanigoro. Istrinya sebenarnya memiliki latar belakang pendidikan ELS (Europeesche Lagere School), dan dapat melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School). Namun setelah menikah akhirnya istri Sudiro menjadi guru kelas 1 di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Madiun, sebelum akhirnya ikut bergabung di Taman Siswa Madiun.
Setelah menikah, Sudiro bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia), dan mengagumi pemikiran Sukarno. Sudiro juga seringkali menuliskan pemikirannya di media surat kabar, yang isinya terutama adalah pembelaannya terhadap rakyat, sesuai dengan pemikiran partai. Surat kabar yang memuat pemikiran Sudiro ini di antaranya adalah Sikap, Aksi, dan Kedaulatan Rakyat. Akibat kritiknya yang tajam, Sudiro harus berurusan dengan PID, dinas intelijen Hindia Belanda. Bahkan Sudiro sempat merasakan penjara selama 1 bulan, akibat tuduhan melanggar ketentuan larangan mengadakan rapat (Soebagijo, 1981: 35). Selepas dari penjara, Sudiro pindah ke Bandung Jawa Barat. Hal itu dilakukan selain untuk melindungi keluarganya, juga karena ada kesempatan untuk mendapat pekerjaan sebagai guru di Ksatrian Instituut, sebuah sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker. Sudiro kemudian diterima dan akhirya menjadi guru di sekolah tersebut, namun ditempatkan di Cianjur pada 1 Januari 1936. Beberapa tahun di Cianjur, Sudiro kemudian melamar sebagai kepala sekolah di HIS Rejang Setia Curup Bengkulu, dan kepala sekolah di HIS milik BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) Plaju Palembang. Situasi tersebut bertahan hingga masuk pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang Sudiro mendapat tawaran dari Sukarno untuk kembali ke Jawa, dan bergabung dengan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada pertengahan tahun 1944. Sudiro kemudian ditunjuk sebagai ketua Barisan Pelopor atau dalam bahasa Jepang adalah Shuisintai. Di dalam organisasi ini Sudiro berperan sebagai pendamping Sukarno saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa. Sebagai bagian dari golongan muda, Sudiro juga turut serta dalam Rapat Ikrar Pemuda pada 3 Juni 1945 yang memutuskan bahwa anggota Angkatan Baru Indonesia terdiri atas wartawan, mahasiswa, dan sejumlah organisasi pemuda lainnya. Pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sudiro berperan dalam mengarahkan para pemuda Barisan Pelopor untuk ikut serta meramaikan pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur (Ricklefs, 2011: 157).
Pada periode revolusi kemerdekaan Sudiro masih tergabung dalam Barisan Pelopor, sehingga muncul perintah untuk menangkapnya. Untuk itu dia memilih meninggalkan Jakarta dan pindah ke Surakarta. Di Surakarta, Barisan Pelopor berganti nama menjadi Barisan Banteng, dengan Dr. Muwardi sebagai ketua dan Sudiro sebagai wakil. Saat di Surakarta, gerakan anti-swapraja mulai mengemuka, sehingga pada 6 Juni 1946, Presiden Sukarno bahkan harus mengumumkan status bahaya di Surakarta. Hal ini direspon dengan pembentukan Dewan Pertahanan Daerah, yang Sudiro juga menjadi anggotanya. Dewan kemudian memberikan keputusan bahwa seluruh pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran menjadi pegawai Pemerintah Republik Indonesia. Situasi tersebut bertahan hingga penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Indonesia. (Kahin, 1995: 75).
Pada Bulan Mei 1951, Sudiro mendapat panggilan dari Menteri Dalam Negeri Mr. Iskak Tjokroadisuryo dan mendapat tugas menjadi Gubernur Sulawesi. Jabatan itu dipegangnya hingga 9 November 1953. Sudiro kemudian diminta untuk menjabat sebagai walikota Jakarta Raya menggantikan walikota sebelumnya Syamsulridzal. Serah terima jabatan itu dilangsungkan pada 8 Desember 1953. Ketika dilantik Sudiro menekankan 3 hal yang akan dilakukannya saat menjabat sebagai Walikota, yakni: (1) mengutamakan estetika sosial daripada fisik. (2) mendekatkan pemerintah kota dengan masyarakatnya. (3) mempertahankan prinsip kerja sebagaimana saat menjabat Gubernur Sulawesi, yakni adil, suci, dan tegas. Langkah pertamanya saat menjabat walikota adalah melakukan peninjauan di kampung-kampung, persoalan air, dan kebakaran. Hal itu membuatnya mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pembuatan jalan yang lebih lebar, dan mengadakan perumahan rakyat. Dalam tugasnya, Sudiro membentuk Wisma-Karya-Marga-Suka, sebagai pendukung program Pemerintah Kotapraja Jakarta. Contohnya adalah pembangunan bioskop sebagai sarana hiburan rakyat. Bioskop tersebut diharuskan memutar lagu atau film Indonesia. Selain itu ada pula program Rintis Wisata yang bertujuan untuk membuat destinasi wisata seperti kebun binatang, dan pembangunan hotel. Sudiro juga mulai mengadakan pembangunan perumahan rakyat di daerah Tomang, Grogol, dan Setiabudi. Untuk memfasilitasi kaum muslim, digagaslah pembangunan Masjid Istiqlal (Lubis, 2018: 54).
Selama menjabat sebagai walikota, Sudiro juga mengupayakan pembagian kotapraja Jakarta menjadi 3 kabupaten administratif: Jakarta Utara, Tengah, dan Selatan. Hasil penting selama jabatan Sudiro selaku walikota adalah rancangan pembangunan Monumen Nasional (Monas), pendataan sejumlah RT/RW, serta pelaksanaan Pemilu 1955. Jabatan sebagai walikota berakhir pada Desember 1959. Jabatan itu bukan berakhir secara periode, namun Sudiro sudah tidak bersedia duduk di dalam pemerintahan. Khususnya setelah banyak penyelewengan yang dilakukan Presiden Sukarno, sehingga lebih baik mundur daripada tidak konsekuen. Setelah pensiun, Sudiro sempat tergabung sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) pada masa Orde Baru, dan anggota Dewan Pertimbangan Nasional Angkatan 45.
Setelah dirawat di RS Cipto Mangunkusumo karena sakit, Sudiro meninggal dunia pada 18 April 1992 dalam usia 81 tahun dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Penulis: Nugroho Bayu Wijanarko
Referensi
Abdullah, Taufik (ed.). 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).
Kahin, George Mc. Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. (Surakarta: UNS Press).
Lubis, Firman. 2018. Jakarta 1950-1970. (Depok: Komunitas Bambu)
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern 1300-2008. (Jakarta: Serambi)
Soebagijo, I.N. 1981. Sudiro: Pejuaanpa Henti. (Jakarta: Gunung Agung).