Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

From Ensiklopedia

Fajar kemerdekaan Indonesia tampak ketika Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo pada sidang Parlemen Jepang di Tokyo 16 Juni 1943 mengumumkan kesempatan bagi bangsa Indonesia berperan dalam politik dan pemerintahan. Hal itu ditegaskan lagi saat berkunjung di Jakarta 7 Juli. Selanjutnya dibentuk Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) di Jakarta dan Syu Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Daerah) di daerah-daerah keresidenan (Syu) (Sagimun 1989: 257). Karena kondisi pasukan Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, maka Perdana Menteri Jepang berikutnya, Kuniaki Kaiso, dalam sidang Parlemen Jepang di Tokyo 7 September 1944 mengumumkan bahwa Dai Nippon memperkenankan Indonesia merdeka kelak di kemudian hari. Sehari setelah itu, Indonesia boleh mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya (Soeroto 1976: 27).

Ketika janji kemerdekaan tersebut mulai dipertanyakan, pada 1 Maret 1945 Panglima Tentara (Saiko Syikikan) Jepang, Kumaciki Harada, mengumumkan rencana pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan tersebut resmi diumumkan pada 29 April 1945 dengan ketua dr. Radjiman Wediodiningrat serta dua wakil ketua yaitu Itibangase Yosio dan R.P. Soeroso. Ada 7 orang Jepang, dari 60 orang anggota, yang duduk sebagai pengurus istimewa yang akan menghadiri setiap sidang tanpa hak suara. Dengan demikian lembaga ini tetap berada di bawah kontrol Jepang.

Agenda utama sidang pertama BPUPKI (28 Mei–1 Juni) membahas mengenai dasar negara. Pada akhir sidang dicetus Pancasila sebagai dasar negara sesuai pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Sebelum merumuskan dasar negara, Sukarno terlebih dahulu menyatakan betapa pentingnya kemerdekaan sebagai “jembatan emas” bagi bangsa Indonesia. Di seberang jembatan emas itulah kita menyempurnakan masyarakat kita. Menurutnya, kita tidak harus menunggu semua aspek kehidupan rakyat sudah menjadi bagus baru merdeka, karena kemerdekaan merupakan syarat mutlak dalam menyusun masyarakat yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi (Sekneg 1995: 65-68).

Setelah sidang pertama dibentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang, sehingga dikenal sebagai Panitia Sembilan, dengan ketua Sukarno dan anggotanya adalah Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosuroso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Pada 22 Juni panitia ini berhasil merumuskan batang tubuh UUD yang lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta. Pada sidang kedua (10 – 17 Juli) dibahas mengenai bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan UUD, eknomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran (Sekneg 1995; Djoyoadisuryo 1978: 280).      

Sepuluh hari sebelum proklamasi BPUPKI dibubarkan. Namun pada hari itu juga dibentuk Dokuritzu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan ketua Ir. Sukarno dan wakil Drs. Mohammad Hatta. Panitia ini beranggotakan 21 orang, yang terdiri atas 12 orang perwakilan dari Jawa (Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dr. Rajiman Wediodiningrat, R. Oto Iskandardinata, K.H. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Surjoamidjojo, M. Sutardjo Kartohadikoesomo, Raden Pandji Suroso, Prof.M. Soepomo, Abdul Kadir, dan Purbojo), 3 orang dari Sumatera (dr. Amir, Mr. Teuku Mohammad Hassan, dan Mr. Abdul Abbas), 2 orang dari Sulawesi (Dr. G.S.J.J. Ratulangie, Andi Pangeran Pettarani), seorang dari Kalimantan (A.A. Hamidhan), seorang dari Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ktut Pudja), seorang dari Maluku (Mr. J. Latuharhary), dan seorang dari golongan Cina (Drs. Yap Tjwan Bing) (Hatta 2011: 67; Sagimun 1989: 264-265).

Pada 9 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan dr. Radjiman berangkat ke Dalat (Vietnam Selatan) untuk bertemu Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara, yakni Jenderal Terauchi. Dalam pertemuan itu Terauchi menyampaikan bahwa Pemerintah Jepang di Tokyo telah memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Ketika Sukarno bertanya, bahwa kapan keputusan itu boleh disampaikan kepada rakyat Indonesia, dia menjawab “terserah kepada Tuan-tuan Panitia Persiapan. Kapan saja dapat. Itu sudah menjadi urusan Tuan” (Hatta 2011: 67-68). Ini menandakan fajar kemerdekaan Indonesia semakin terang.  

Tiga tokoh tersebut tiba di Kemayoran Jakarta pada 14 Agustus. Mereka disambut oleh banyak rakyat dan pemimpin Indonesia yang meminta agar Sukarno menyampaikan hasil pembicaraan dengan Jepang. Sukarno mengatakan, bahwa “Apabila dulu aku beritahu bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga” (Hatta 2011: 72; Adams 2011: 250). Dengan demikian kemerdekaan sebentar lagi dan diserahkan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia lewat PPKI.

Sebelum PPKI bersidang, berita tentang kekalahan Jepang kepada Sekutu telah tersiar dan diketahui oleh para pejuang. Berita itu direspon dengan reaksi berbeda oleh kaum tua dan kaum muda. Kaum tua adalah generasi Sukarno dan Hatta, sedangkan kaum muda adalah generasi Sukarni, Darwis, dan Wikana. Kaum tua memandang bahwa kemerdekaan harus dipersiapkan secara matang melalui PPKI, menghindari konfrontasi, dan memastikan kenetralan Jepang terhadap proklamasi. Sementara kaum muda memandang bahwa kemerdekaan harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Mereka tidak ingin kemerdekaan Indonesia kelak dianggap sebagai hadiah dari Jepang. Apalagi PPKI, suatu panitia yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, adalah bentukan Jepang.

Perbedaan tersebut membuat proklamasi belum dapat dilakukan dengan segera. Hal itu tidak baik di tengah kekosongan kekuasaan sekarang. Para pemuda pun segera mengadakan rapat di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan Timur Jakarta pada 15 Agustus pukul 20.00. Rapat dipimpin Chairul Saleh yang dihadiri antara lain Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, dan Wikana. Mereka memutuskan akan mendesak Sukarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan tanpa intervensi Jepang. Keputusan itu disampaikan oleh Wikana dan Darwis kepada Sukarno di rumahnya disaksikan Hatta, Buntaran, Samsi, Ahmad Soeabardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Wikana mendesak dan mengancam Sukarno agar memproklamirkan kemerdekaan esok hari, 16 Agustus. Namun Sukarno bersikap tegas bahwa soal itu akan dibicakan dalam sidang PPKI. Karena tidak berhasil, para pemuda kembali rapat di Cikini 71 pukul 24.00 untuk menyusun rencana selanjutnya. Selain para pemuda yang hadir di Lembaga Bakteriologi, rapat ini dihadiri pula oleh Soekarni, Jusuf Kunto, Muwardi dari Barisan Pelopor, dan Singgih dari Daidan Peta Jakarta. Rapat itu menegaskan kembali keputusan rapat sebelumnya dan akan mengamankan Sukarno dan Hatta ke luar kota, tepatnya Rengasdengklok yang jaraknya 85 kilometer di sebelah timur Jakarta. Tindak pengamanan dipimpin oleh Singgih, seorang shodanco dari Jakarta, dengan menggunakan kendaraan dan pengawal dari tentara Peta (Kartodirdjo et al. 1975: 25–26; Notosusanto 1979: 132).

Orang pertama yang dibawa Soekarni dan kawan-kawan ialah Hatta dari rumahnya di Jalan Syowa Dori (sekarang Jalan Diponegoro) dengan sebuah oto sedan, lalu bergerak menuju rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur. Sukarno bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berumur sembilan bulan. Sekitar pukul 04.00, rombongan bergerak ke luar kota. Pada kesempatan itu, Soekarni menyampaikan kepada Sukarno dan Hatta, bahwa sebelum pukul 12.00 terdapat 15.000 rakyat akan menyerbu kota Jakarta bersama mahasiswa dan tentara Peta untuk melucuti pasukan Jepang. Karena itulah mereka harus dibawa ke luar kota demi keselamatan diri mereka dan perjuangan Indonesia.

Sebelum tiba di Karawang, rombongan dipindahkan dari oto sedan ke sebuah pick-up karena kondisi jalan tidak memungkinkan menggunakan sedan. Selanjutnya sedan tersebut diperintahkan untuk kembali ke Jakarta. Rombongan kemudian meneruskan perjalanan ke asrama Peta, yang dijaga 50 orang di bawah komandan dr. Soetjipto. Setelah lebih kurang satu jam duduk di sana, rombongan dibawa ke sebuah rumah tuan tanah Tionghoa, jaraknya sekitar 300 meter, yang sudah dikosongkan oleh para pemuda. Hingga sore hari belum ada berita mengenai revolusi dari kota, sebagaimana dikatakan oleh Soekarni kepada Sukarno dan Hatta. Pada pukul 18.00, Mr. Soebardjo datang dari kota, atas perintah Gunseikan, untuk membawa pulang Sukarno dan Hatta ke Jakarta. Dia menjamin dengan taruhan nyawanya bahwa proklamasi akan diumumkan paling lambat besok, 17 Agustus, pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi Peta setempat, Cudanco Subeno, melepaskan Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta (Hatta 2011: 80-85; Djoyodisuryo 1978: 320-321).    

Setelah tiba di Jakarta, 16 Agustus, Sukarno dan Hatta ke rumah masing-masing mempersiapkan untuk menghadiri rapat PPKI di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi pada pukul 24.00. Rapat itu seharusnya dilaksanakan pukul 10.00, tetapi gagal karena ketua dan wakilnya diamankan oleh pemuda di luar kota. Sebelum pukul 22.00, Sukarno bertolak dari rumahnya dan menyingahi Hatta, kemudian mereka menuju rumah Maeda. Di sana telah ada Mayoshi dan beberapa pejabat Jepang lainnya. Dari sana Sukarno, Hatta, Maeda, dan Moyoshi (sebagai juru bahasa) ke rumah Sumobaco, Mayor Jenderal Nishimura.

Sukarno dan Hatta berunding dengan Nishimura lebih kurang dua jam. Masing-masing punya pandangan dan sikap berbeda mengenai kemerdekaan. Di satu sisi, Nishimura bertanggungjawab menjaga status qua sampai datang pasukan Sekutu. Namun di sisi lain, Sukarno dan Hatta yang baru menerima janji kemerdekaan dari Pemerintah Jepang melalui Jenderal Terauchi di Dalat pada 12 Agustus 1945 dan desakan para pejuang Indonesia ingin segera mengumumkan kemerdekaan. Karena tidak mencapai kata sepakat, maka Sukarno dan Hatta meninggalkan rumah Nishimura menuju rumah Maeda dengan ditemani Miyoshi. Sementara Maeda, lebih dahulu pulang ke rumahnya, sudah menunggu mereka. Setelah menyampaikan hal-hal yang dibicarakan dengan Nishimura, kemudian Sukarno, Hatta, Soebardjo, Seokarni, dan Sayuti Melik pindah ke ruang tamu kecil untuk menyusun teks proklamasi. Tidak seorang pun dari mereka membawa hasil rumusan Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 (Hatta 2011: 88-91).  

Sukarno mempersilahkan Hatta untuk menyusun teks proklamasi, karena dianggap bahasanya yang terbaik. Mereka setuju bahwa kalimat pertama proklamasi diambil dari akhir alinea ketiga Piagam Jakarta. Kalimatnya adalah “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Lalu, Hatta mendiktekan satu kalimat lagi, yang ditulis oleh Sukarno, yaitu bahwa “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Setelah mereka setuju dengan teks tersebut, Soekarni diminta untuk mengetiknya. Naskah itu dari Soekarni diserahkan untuk diketik oleh Sayuti Malik. Sambil menunggu teks diketik, para perumus teks itu pergi mengambil makanan dan minuman di ruang dapur yang sudah disediakan oleh tuan rumah, sebagai makan malam sekaligus sahur Ramadan. Setelah itu, mereka kembali ke ruang tengah rumah untuk memulai rapat (Hatta 2011: 97; Djoyodisuryo 1978: 334-335).

Rapat dibuka oleh Sukarno. Dia menanyakan pendapat peserta mengenai teks proklamasi yang telah mereka rumuskan. Semua setuju dengan teks itu. Lalu, menurut Hatta jika semua setuju maka semua yang hadir akan bertandatangan pada naskah itu. Sejenak rapat terdiam. Soekarni kemudian tampil ke depan dan berkata bahwa cukuplah dua orang saja yang menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Seluruh peserta setuju. Sebelum rapat ditutup, Sukarno menyampaikan bahwa pada hari itu juga, 17 Agustus 1945 pukul 10.00, proklamasi akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya, Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sidang ditutup pukul 03.00 dini hari (Hatta 2011: 92-93; Djoyodisuryo 1978: 341).

Sukarno dan Hatta kembali ke rumah masing-masing. Pada esok pagi, semua jalanan menuju rumah Sukarno telah dipenuhi rakyat. Garnizum Peta telah siaga. Barisan Pelopor dipersenjatai dan lima orang ahli judo sebagai pengawal Sukarno tiba pukul 09.00. Sekitar 500 orang berdiri di depan beranda rumah. Mereka mendesak Sukarno segera membacakan proklamasi. Namun Sukarno berkata bahwa “Hatta belum datang. Aku tak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta”. Lima menit sebelum pukul 10.00 Hatta tiba di sana. Dia bertemu Sukarno di kamarnya ditemani Fatmawati. Mereka keluar kamar dengan pakaian putih. Fatmawati sendiri sudah menjahit bendera Merah Putih. Upacara dimulai tanpa protokol. Setelah Sukarno membacakan teks proklamasi didampingi Hatta, kemudian Latif Hendraningrat mengambil bendera dari Fatmawati lalu dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya (Adam 2011: 266-268).


Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17-8-‘45
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno – Hatta

Proklamasi tersebut menandai kelahiran negara baru dan revolusi Indonesia. “Saat itu pukul 10. Revolusi sudah dimulai”, kata Sukarno (Adams 2011: 268). Betapa tidak, apa yang dilakukan Sukarno dan Hatta tidak sejalan kebijakan status quo yang harus dijaga oleh Jepang sebagai pihak yang kalah perang sampai tiba pasukan Sekutu. Baru bulan berikutnya, September, pasukan Sekutu tiba di Indonesia. Proklamasi tersebut tanpa persetujuan Jepang, seperti dikatakan Nishimura kepada Sukarno dan Hatta di Jakarta 16 Agustus 1945. Namun, proklamasi itu tak lepas pula dari janji kemerdekaan Pemerintah Jepang yang disampaikan melalui Jenderal Terauchi kepada Sukarno dan Hatta di Dalat 12 Agustus 1945. Kondisi ini mengingatkan kita pada alinea ketiga Piagam Jakarta 2 Juni 1945, bahwa proklamasi terlaksana “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.

Proklamasi disiarkan ke seluruh Tanah Air sebagai penanda zaman baru bagi rakyat Indonesia yakni MERDEKA. Tugas itu terutama diamanahkan kepada Adam Malik, seorang pemimpin gerakan bawah tanah yang bekerja di Kantor Berita Domei. Ketika orang-orang Jepang pergi makan siang, dia segera menjalankan pemancar gelombang pendek menyiarkan proklamasi ke seluruh dunia. Setelah itu dia lekas keluar kantor, kabur dan bersembunyi sebelum orang-orang Jepang kembali di ruang kerja. Berita tersebut mencapai Filipina, Australia, dan Saigon, serta dalam waktu seminggu diketahui dunia luar dari pihak Sekutu (Adam 2011: 272).    

Pada sore hari setelah proklamasi, Hatta menerima telpon dari Nishiyama, pembantu Laksamana Maeda, mengatakan bahwa seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) ingin bertemu. Opsir itu mengatakan bahwa wakil-wakil umat Kristen Katolik dan Protestan dari Indonesia Timur tidak setuju dengan bagian kalimat Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kalimat itu dipandang tidak mengikat mereka, karena hanya menyangkut umat Islam. Jika kalimat itu ditetapkan dalam UUD maka mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia (Hatta 2011: 95).

Sehari setelah proklamasi, sebelum sidang PPKI pukul 09.30, Hatta mengajak empat tokoh penting yaitu Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan membicarakan masalah serius yang disampaikan oleh opsir Jepang di atas. Setelah bermusyawarah kurang dari 15 menit mereka setuju menghilangkan bagian kalimat yang dipandang menusuk hati umat Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Masa Esa”. Hasil musyawarah itu disampaikan pada sidang PPKI yang dipimpin Sukarno. Perubahan tersebut disetujui oleh peserta sidang dengan suara bulat. Sesudah itu dibahas UUD seluruhnya dengan sedikit perubahan yang tidak prinsipil (Hatta 2011: 97–98; Sekneg 1995: 414–420).  

Pada hari pertama sidang PPKI (18 Agustus) diputuskan menetapkan UUD serta memilih Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Pada sidang hari kedua PPKI menetapkan pembagian wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi yang dipimpin seorang gubernur yaitu: Jawa Barat (Mas Soetardjo Kartohadikusumo), Jawa Tengah (R.P. Soeroso), Jawa Timur (R.M.T.A. Soeryo), Sumatera (Mr. Teuku Muhammad Hasan), Kalimantan (Ir. Pangeran Muhamad Nur), Sulawesi (dr. G.S.S.J Ratulangie), Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja), dan Maluku (Mr. J. Latuharhary) (Hatta,2011: 103-107; Sekneg 1995: 510).

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Adams, C. (2011) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Terj. Syamsu Hadi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Djoyodisuryo, A.S (1978) Kesadaran Nasional: Otobiografi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo. Jakarta: Gunung Agung.

Hatta, M. (2011) Untuk Negeriku 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan Sebuah Otobiografi. Jakarta: Kompas.

Notosusanto, N. (1979) Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Sagimun MD (1989) Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara.

Kartodirdjo, S., Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto (1975) Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sekneg (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Soeroto (1976) Sejarah Proklamasi. Jakarta: Sanggabuwana.