Ali Hasjmy: Difference between revisions
(Created page with "Ali Hasjmy adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang telah terlibat dan memberi kontribusi penting bagi perkembangan sosial-politik dan keagamaan kota Serambi Mekkah itu. Tepat tanggal 28 Maret 1914 di Aceh Besar, Ali Hasjmy dilahirkan dari pasangan Tengku Basyim dengan Cut Buleun (Ghazaly, 1978: 3). Waktu Ali Hasjmy masih usia kanak-kanak, ibu kandungnya meninggal dunia, sehingga dirinya dari kecil hingga remaja berstatus yatim (Sufi & Wibowo, 2007: 114). Ali Ha...") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Ali Hasjmy adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang telah terlibat dan memberi kontribusi penting bagi perkembangan sosial-politik dan keagamaan kota Serambi Mekkah itu. Tepat tanggal 28 Maret 1914 di Aceh Besar, Ali Hasjmy dilahirkan dari pasangan Tengku Basyim dengan Cut Buleun (Ghazaly, 1978: 3). Waktu Ali Hasjmy masih usia kanak-kanak, ibu kandungnya meninggal dunia, sehingga dirinya dari kecil hingga remaja berstatus yatim (Sufi & Wibowo, 2007: 114). | [[Ali Hasjmy]] adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang telah terlibat dan memberi kontribusi penting bagi perkembangan sosial-politik dan keagamaan kota Serambi Mekkah itu. Tepat tanggal 28 Maret 1914 di Aceh Besar, [[Ali Hasjmy]] dilahirkan dari pasangan Tengku Basyim dengan Cut Buleun (Ghazaly, 1978: 3). Waktu [[Ali Hasjmy]] masih usia kanak-kanak, ibu kandungnya meninggal dunia, sehingga dirinya dari kecil hingga remaja berstatus yatim (Sufi & Wibowo, 2007: 114). | ||
Ali Hasjmy sejak kecil telah diasuh oleh neneknya (ibu dari ibu kandung Ali Hasjmy) yang lebih akrab disebut Nyak Puteh (Hasjmy, 1993: 2). Dalam proses asuhan bersama neneknya tersebut, Ali Hasjmy sering mendapat pemahaman tentang semangat perjuangan yang diajarkan oleh neneknya melalui pendekatan cerita dan syair (Hasjmy, 1985: 31). Saat usia 27 tahun, pada tanggal 14 Agustus 1941, Ali Hasjmy menikahi Zuriah Aziz dan dikarunia anak sebanyak tujuh orang yang terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan (Sirajuddin, 2005: 14). | [[Ali Hasjmy]] sejak kecil telah diasuh oleh neneknya (ibu dari ibu kandung [[Ali Hasjmy]]) yang lebih akrab disebut Nyak Puteh (Hasjmy, 1993: 2). Dalam proses asuhan bersama neneknya tersebut, [[Ali Hasjmy]] sering mendapat pemahaman tentang semangat perjuangan yang diajarkan oleh neneknya melalui pendekatan cerita dan syair (Hasjmy, 1985: 31). Saat usia 27 tahun, pada tanggal 14 Agustus 1941, [[Ali Hasjmy]] menikahi Zuriah Aziz dan dikarunia anak sebanyak tujuh orang yang terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan (Sirajuddin, 2005: 14). | ||
Pendidikan formal Ali Hasjmy dimulai di ''Government Inlandsche School Montasie'' yang bertempat di Banda Aceh (Kuta Radja). Ali Hasjmy muda sangat berpengaruh dalam pergerakan organisasi. Pada tahun 1932–1935 M, Ali Hasjmy juga aktif sebagai pengurus Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) cabang Padang Panjang (Hasjmy, 1977: 33). | Pendidikan formal [[Ali Hasjmy]] dimulai di ''Government Inlandsche School Montasie'' yang bertempat di Banda Aceh (Kuta Radja). [[Ali Hasjmy]] muda sangat berpengaruh dalam pergerakan organisasi. Pada tahun 1932–1935 M, [[Ali Hasjmy]] juga aktif sebagai pengurus Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) cabang Padang Panjang (Hasjmy, 1977: 33). | ||
Berkat pengalaman organisasi yang diperoleh Ali Hasjmy, saat berada di Sumatera Barat dan Aceh, maka pada tahun 1939 ia diangkat sebagai anggota muda Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) cabang Aceh Besar. Ali Hasjmy bersedia aktif di berbagai organisasi asalkan memiliki visi yang sama, yaitu melepaskan rakyat dari penjajahan dan kebodohan. Dengan alasan ini pula Ali Hasjmy bersedia menjadi wakil ketua kwartir Kasyafatul Islam (KI) Cabang Aceh Besar (Talsya, 1990: 22). | Berkat pengalaman organisasi yang diperoleh [[Ali Hasjmy]], saat berada di Sumatera Barat dan Aceh, maka pada tahun 1939 ia diangkat sebagai anggota muda [[Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)|Persatuan Ulama Seluruh Aceh]] (PUSA) cabang Aceh Besar. [[Ali Hasjmy]] bersedia aktif di berbagai organisasi asalkan memiliki visi yang sama, yaitu melepaskan rakyat dari penjajahan dan kebodohan. Dengan alasan ini pula [[Ali Hasjmy]] bersedia menjadi wakil ketua kwartir Kasyafatul Islam (KI) Cabang Aceh Besar (Talsya, 1990: 22). | ||
Sekitar tahun 1945 M, Belanda telah meninggalkan Aceh. Tiba saatnya Jepang menguasai sosial kultural masyarakat Aceh. Sehingga mengakibatkan Ali Hasjmy beserta rekan-rekannya mengubah pola gerakan perlawanannya. Organisasi PERSINDO pada masa penjajahan Belanda berganti nama menjadi Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) pada masa penjajahan Jepang (Hasjmy, 1979: 22). | Sekitar tahun 1945 M, Belanda telah meninggalkan Aceh. Tiba saatnya Jepang menguasai sosial kultural masyarakat Aceh. Sehingga mengakibatkan [[Ali Hasjmy]] beserta rekan-rekannya mengubah pola gerakan perlawanannya. Organisasi PERSINDO pada masa penjajahan Belanda berganti nama menjadi Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) pada masa penjajahan Jepang (Hasjmy, 1979: 22). | ||
Ali Hasjmy telah banyak memberikan gagasan-gagasan cemerlang dalam membentuk kebijakan-kebijakan terhadap pembangunan sumber daya manusia di negara ini. Salah satu gagasan cemerlang yang tiada duanya di pemerintah Aceh adalah tentang program pembangunan Kota Pelajar dan Mahasiswa (KOPELMA) yang berada di wilayah administrasi kota Banda Aceh (Amiruddin, 2008: 69). | [[Ali Hasjmy]] telah banyak memberikan gagasan-gagasan cemerlang dalam membentuk kebijakan-kebijakan terhadap pembangunan sumber daya manusia di negara ini. Salah satu gagasan cemerlang yang tiada duanya di pemerintah Aceh adalah tentang program pembangunan Kota Pelajar dan Mahasiswa (KOPELMA) yang berada di wilayah administrasi kota Banda Aceh (Amiruddin, 2008: 69). | ||
Semangat Ali Hasjmy dalam meyakinkan Sukarno dimulai dari pemahaman Ali Hasjmy bahwa masyarakat Aceh pada masa itu cenderung diwarnai dengan peristiwa-peristiwa konflik yang berkepanjangan, baik konflik pada masa kolonial Belanda, Jepang, maupun DI/TII Aceh yang dipelopori oleh Tengku Daud Beureueh (Ibrahimi, 1982: 95). Ali Hasjmy memiliki hubungan yang baik dengan Presiden Sukarno maupun Soeharto. Hubungan tersebut bermula ketika Ali Hasjmy menjabat sebagai orang pertama di Provinsi Aceh (Gubernur) dan sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (Hasb,i 2008: 63). | Semangat [[Ali Hasjmy]] dalam meyakinkan [[Sukarno]] dimulai dari pemahaman Ali Hasjmy bahwa masyarakat Aceh pada masa itu cenderung diwarnai dengan peristiwa-peristiwa konflik yang berkepanjangan, baik konflik pada masa kolonial Belanda, Jepang, maupun DI/TII Aceh yang dipelopori oleh Tengku Daud Beureueh (Ibrahimi, 1982: 95). [[Ali Hasjmy]] memiliki hubungan yang baik dengan [[Sukarno|Presiden Sukarno]] maupun [[Soeharto]]. Hubungan tersebut bermula ketika [[Ali Hasjmy]] menjabat sebagai orang pertama di Provinsi Aceh (Gubernur) dan sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (Hasb,i 2008: 63). | ||
Jabatan yang pernah di pegang oleh Ali Hasjmy tidak hanya sebagai Gubernur maupun Rektor, melainkan banyak posisi strategis lain yang pernah diisi oleh Ali Hasjmy. Semua jabatan tersebut diperoleh berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap beliau. Kepercayaan masyarakat muncul karena kepribadian Ali Hasjmy disukai oleh masyarakat Aceh. (Zulfata, 2017: 41) Berikut beberapa jabatan penting yang pernah diduduki oleh Hasjmy (Zulfata, 2017: 41-42; Baddruzzaman, 1994: 34-99): | Jabatan yang pernah di pegang oleh [[Ali Hasjmy]] tidak hanya sebagai Gubernur maupun Rektor, melainkan banyak posisi strategis lain yang pernah diisi oleh [[Ali Hasjmy]]. Semua jabatan tersebut diperoleh berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap beliau. Kepercayaan masyarakat muncul karena kepribadian [[Ali Hasjmy]] disukai oleh masyarakat Aceh. (Zulfata, 2017: 41) Berikut beberapa jabatan penting yang pernah diduduki oleh Hasjmy (Zulfata, 2017: 41-42; Baddruzzaman, 1994: 34-99): | ||
Berdasarkan jasa-jasa Ali Hasjmy yang cukup besar terhadap perkembangan negara Indonesia, pada tahun 1976 M, Ali Hasjmy dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) (Zulfata, 2017: 43). Setelah menyandang gelar guru besar, Ali Hasjmy diangkat menjadi pegawai bulanan organik, dimana kemudian mendaulat menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry yang ketiga sejak tahun 1977–1982. Tidak hanya dari jabatan akademisi. Pada tahun 1994, Ali Hasjmy dipercayakan menahkodai Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh (MUI Aceh) sebagai Ketua Umum (Hasbi, 2008: 64). | Berdasarkan jasa-jasa [[Ali Hasjmy]] yang cukup besar terhadap perkembangan negara Indonesia, pada tahun 1976 M, [[Ali Hasjmy]] dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) (Zulfata, 2017: 43). Setelah menyandang gelar guru besar, [[Ali Hasjmy]] diangkat menjadi pegawai bulanan organik, dimana kemudian mendaulat menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry yang ketiga sejak tahun 1977–1982. Tidak hanya dari jabatan akademisi. Pada tahun 1994, [[Ali Hasjmy]] dipercayakan menahkodai Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh (MUI Aceh) sebagai Ketua Umum (Hasbi, 2008: 64). | ||
Pada usia 83 tahun, bertepatan pada tanggal 18 Januari 1998, Ali Hasjmy kembali dipanggil ke pangkuan Allah SWT. Fakta ini sangat mengakibatkan masyarakat Aceh merasa telah kehilangan seorang sosok negarawan yang sangat kental dengan karakter keacehannya. | Pada usia 83 tahun, bertepatan pada tanggal 18 Januari 1998, [[Ali Hasjmy]] kembali dipanggil ke pangkuan Allah SWT. Fakta ini sangat mengakibatkan masyarakat Aceh merasa telah kehilangan seorang sosok negarawan yang sangat kental dengan karakter keacehannya. | ||
Penulis: Mujiburrahman | Penulis: Mujiburrahman |
Revision as of 17:32, 21 July 2023
Ali Hasjmy adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang telah terlibat dan memberi kontribusi penting bagi perkembangan sosial-politik dan keagamaan kota Serambi Mekkah itu. Tepat tanggal 28 Maret 1914 di Aceh Besar, Ali Hasjmy dilahirkan dari pasangan Tengku Basyim dengan Cut Buleun (Ghazaly, 1978: 3). Waktu Ali Hasjmy masih usia kanak-kanak, ibu kandungnya meninggal dunia, sehingga dirinya dari kecil hingga remaja berstatus yatim (Sufi & Wibowo, 2007: 114).
Ali Hasjmy sejak kecil telah diasuh oleh neneknya (ibu dari ibu kandung Ali Hasjmy) yang lebih akrab disebut Nyak Puteh (Hasjmy, 1993: 2). Dalam proses asuhan bersama neneknya tersebut, Ali Hasjmy sering mendapat pemahaman tentang semangat perjuangan yang diajarkan oleh neneknya melalui pendekatan cerita dan syair (Hasjmy, 1985: 31). Saat usia 27 tahun, pada tanggal 14 Agustus 1941, Ali Hasjmy menikahi Zuriah Aziz dan dikarunia anak sebanyak tujuh orang yang terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan (Sirajuddin, 2005: 14).
Pendidikan formal Ali Hasjmy dimulai di Government Inlandsche School Montasie yang bertempat di Banda Aceh (Kuta Radja). Ali Hasjmy muda sangat berpengaruh dalam pergerakan organisasi. Pada tahun 1932–1935 M, Ali Hasjmy juga aktif sebagai pengurus Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) cabang Padang Panjang (Hasjmy, 1977: 33).
Berkat pengalaman organisasi yang diperoleh Ali Hasjmy, saat berada di Sumatera Barat dan Aceh, maka pada tahun 1939 ia diangkat sebagai anggota muda Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) cabang Aceh Besar. Ali Hasjmy bersedia aktif di berbagai organisasi asalkan memiliki visi yang sama, yaitu melepaskan rakyat dari penjajahan dan kebodohan. Dengan alasan ini pula Ali Hasjmy bersedia menjadi wakil ketua kwartir Kasyafatul Islam (KI) Cabang Aceh Besar (Talsya, 1990: 22).
Sekitar tahun 1945 M, Belanda telah meninggalkan Aceh. Tiba saatnya Jepang menguasai sosial kultural masyarakat Aceh. Sehingga mengakibatkan Ali Hasjmy beserta rekan-rekannya mengubah pola gerakan perlawanannya. Organisasi PERSINDO pada masa penjajahan Belanda berganti nama menjadi Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) pada masa penjajahan Jepang (Hasjmy, 1979: 22).
Ali Hasjmy telah banyak memberikan gagasan-gagasan cemerlang dalam membentuk kebijakan-kebijakan terhadap pembangunan sumber daya manusia di negara ini. Salah satu gagasan cemerlang yang tiada duanya di pemerintah Aceh adalah tentang program pembangunan Kota Pelajar dan Mahasiswa (KOPELMA) yang berada di wilayah administrasi kota Banda Aceh (Amiruddin, 2008: 69).
Semangat Ali Hasjmy dalam meyakinkan Sukarno dimulai dari pemahaman Ali Hasjmy bahwa masyarakat Aceh pada masa itu cenderung diwarnai dengan peristiwa-peristiwa konflik yang berkepanjangan, baik konflik pada masa kolonial Belanda, Jepang, maupun DI/TII Aceh yang dipelopori oleh Tengku Daud Beureueh (Ibrahimi, 1982: 95). Ali Hasjmy memiliki hubungan yang baik dengan Presiden Sukarno maupun Soeharto. Hubungan tersebut bermula ketika Ali Hasjmy menjabat sebagai orang pertama di Provinsi Aceh (Gubernur) dan sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (Hasb,i 2008: 63).
Jabatan yang pernah di pegang oleh Ali Hasjmy tidak hanya sebagai Gubernur maupun Rektor, melainkan banyak posisi strategis lain yang pernah diisi oleh Ali Hasjmy. Semua jabatan tersebut diperoleh berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap beliau. Kepercayaan masyarakat muncul karena kepribadian Ali Hasjmy disukai oleh masyarakat Aceh. (Zulfata, 2017: 41) Berikut beberapa jabatan penting yang pernah diduduki oleh Hasjmy (Zulfata, 2017: 41-42; Baddruzzaman, 1994: 34-99):
Berdasarkan jasa-jasa Ali Hasjmy yang cukup besar terhadap perkembangan negara Indonesia, pada tahun 1976 M, Ali Hasjmy dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) (Zulfata, 2017: 43). Setelah menyandang gelar guru besar, Ali Hasjmy diangkat menjadi pegawai bulanan organik, dimana kemudian mendaulat menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry yang ketiga sejak tahun 1977–1982. Tidak hanya dari jabatan akademisi. Pada tahun 1994, Ali Hasjmy dipercayakan menahkodai Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh (MUI Aceh) sebagai Ketua Umum (Hasbi, 2008: 64).
Pada usia 83 tahun, bertepatan pada tanggal 18 Januari 1998, Ali Hasjmy kembali dipanggil ke pangkuan Allah SWT. Fakta ini sangat mengakibatkan masyarakat Aceh merasa telah kehilangan seorang sosok negarawan yang sangat kental dengan karakter keacehannya.
Penulis: Mujiburrahman
Referensi
Hasjmy, Ali, (1992) “Bahasa dan Kebudayaan Melayu Raya”, dalam Waspada
Hasjmy, Ali, (1979) “Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda”, Jakarta: Bulan Bintang
Hasjmy, Ali, (1977) “Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh”, Jakarta: Bulan Bintang
Hasjmy, Ali, (1969) “Sejarah Kebudayaan dan Tamadun Islam”, Banda Aceh: Lembaga Penerbit IAIN Jami’ah Ar-Raniry
Hasjmy, Ali, (1969) “Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru”, Banda Aceh: Pustaka Putro Canden
Hasjmy, Ali, (1985) “Semangat Merdeka”, Jakarta: Bulan Bintang
Hasjmy, Ali, (1993) “Seorang Wanita Telah Membina Kepribadian Ali Hasjmy Sejak Dini”, Banda Aceh: Yayasan & Museum Ali Hasjmy
Hasjmy, Ali, (1977) “Sumbangan Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan Indonesia”, Jakarta: Bulan Bintang
H.A, Ghazaly, (1978) “Biografi Teungku H. Ali Hasjmy”, Jakarta: SOCILIA
M. Hasbi Amiruddin, (2008) “Biografi Rektor IAIN Ar-Raniry: Kepemimpinan IAIN Ar-Raniry dari Masa ke Masa”, Banda Aceh: Ar-Raniry Press
M. Nur El Ibrahimi, Tgk. Dawud Bereueh: (1982) “Peranannya dalam Pergolakan di Aceh”, Jakarta: Gunung Agung
Sufi Rusdi, Agus Bidi Wibowo, (2007) “Tokoh-Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad XX”, Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Sirajuddin, (2005) Pergolakan Konsep Kenegaraan di Aceh: Studi Pemikiran A. Hasjmy, Jakarta: Studia Press
T.A Talsya (1990) Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan Aceh 1947-1948, Banda Aceh: Lembaga Sejarah Aceh
M. Hasbi Amiruddin, dkk, (2008). Biografi Rektor IAIN Ar-Raniry: Kepemimpinan IAIN Ar-Raniry dari Masa ke Masa. Banda Aceh: Ar-Raniry.
Zulfata (2017). PEMIKIRAN POLITIK ALI HASJMY: Banda Aceh. Pade Books
Badruzzaman Ismail, (1994). Ali Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta: Bulan Bindang.