Roestam Effendi: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 34: | Line 34: | ||
Yunus, Umar (1981), ''Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern'', Jakarta: Bhratara. | Yunus, Umar (1981), ''Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern'', Jakarta: Bhratara. | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 08:38, 9 August 2023
Roestam Effendi adalah aktivis pergerakan antikolonial dan pernah menjadi orang Indonesia termuda yang terpilih sebagai anggota parlemen di Belanda. Ia lahir di Padang, Sumatra Barat, dalam tahun 1903. Dia tumbuh di kota pantai itu sebagai anak sulung dari keluarga dengan sembilan orang anak dari pasangan Soeleiman Effendi (seorang juru foto) dan Sawiah. Setelah menamatkan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang, kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Raja) di Bukittinggi. Tamat dari Sekolah Raja, dia melanjutkan pendidikan ke Hogere Kweekschool School (HKS) di Bandung pada tahun 1924. Setelah itu, dia bekerja sebagai guru di Sumatra Barat sambil terus mengarang di berbagai surat kabar.
Sebagai pengarang sastra, Roestam terutama menulis sajak dan drama. Dalam mempublikasikan karangannya, dia menggunakan banyak nama samaran, di antaranya Alfaroes, Rangkajo Elok, Rahasia Emas, Rantai Emas, dan lain-lain. Sebagai seorang penyair, Roestam amat mengagumkan terutama, kata A. Teeuw (1980: 37), "karena bahasanya yang tersendiri dan karena usahanya mencari bentuk-bentuk baru untuk menggantikan bentuk lama yang dianggapnya sudah lapuk." Sajak-sajaknya, yang dikumpulkan dalam Percikan Permenungan, tampak jelas berisi percobaan-percobaan bahasa ketika bahasa Indonesia belum terbentuk sempurna. Dia mencari perbendaharaan ke bahasa Sanskerta dan Arab dan bahasa daerahnya sendiri, yang kata Jassin (1985: 128), "dengan demikian memperkaya pula bahasa Indonesia." Perjuangannya, sebagaimana perjuangan pengarang angkatannya, ialah perjuangan "memperbaharui bahasa". Buku sajaknya itu, kata Ajip Rosidi, "Merupakan percobaan-percobaan berani...dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastera Melayu" (Rosidi, 2018: 33).
Dari segi bentuk sastranya, kumpulan puisinya itu telah berani mengemukakan puisi-puisi panjang baris yang tidak teratur dalam satu baik. Percobaan yang berani dalam merombak tatanan puisi lama ini belum lagi benar-benar dimulai sebelum Roestam memulainya dalam sajak-sajaknya yang terkumpul pada antologi itu. Di antara penyair sezamannya, dia juga dianggap penyair yang paling sadar tentang pola dan permainan suara dalam sajak (Yunus, 1981: 23). Teknik-teknik semacam ini merupakan teknik baru dalam puisi Indonesia dan terpinjam jelas dari tradisi puisi di Eropa. "Begitulah, Rustam telah membawakan perkembangan yang lebih berkesan terhadap perkembangan puisi Melayu modern," tulis Umar Yunus (1981: 26).
Dalam hal isinya, sajak-sajak Roestam menemukan ilhamnya dari alam, pada bunga dan hewan, dan dalam hubungan antara ibu dan anak, dan kasmaran yang tak sampai. Namun, kata Ajip Rosidi, ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyairnya melihat bangsanya yang berada dalam cengkeraman penjajah (Rodisi, 2018: 33). Sajak-sajaknya mengandung unsur nasionalis yang amat tebal, sekalipun cita-cita dan seruan perjuangannya diselindungkannya di balik lambang, metafora serta kiasan-kiasan (Teeuw, 1980: 39). Hal serupa itu yang juga akan terlihat dalam jenis karyanya yang lain.
Selain menulis sajak, Roestam juga menulis drama. Bebasari (1926), salah satu naskah drama-bersajak yang dia tulis ialah "drama Indonesia pertama yang menggunakan bahasa Melayu," kata A. Teeuw (1980: 48). Drama-bersajak ini, menurut ukuran sastra, kata Jassin (1985: 126) penting sebagai "hasil usaha mencobakan bentuk baru dalam kesusastraan Indonesia." Dari segi sejarah sastra Indonesia, Bebasari "penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia," kata Ajip Rosidi (2018: 33).
Drama ini merupakan sindiran tajam dan protes menohok atas ketidakadilan penjajah. Beberapa bagian dari drama ini secara langsung mengarah sebagai kritik kepada pemerintah kolonial Belanda dan memiliki tenaga sugestif untuk mendorong perlawanan kepada pemerintah jajahan. Kata Jassin, drama ini menampilkan simbolisasi dari hasrat bangsa Indonesia yang hendak merdeka. "Pemain-pemainnya hanyalah perlambang-perlambang. Rawana, raksasa yang lalim, kita kenali sebagai penjajah, yang telah merampas kemerdekaan Bebasari, perlambang Indonesia, sedang Bujangga ialah putra Indonesia. Semangat berontak dan hasrat kemerdekaan menjadi suara dasar drama ini," demikian Jassin (1985: 126). Atas dasar itu, drama ini dilarang beredar pemerintah Hindia Belanda.
Setelah dewasa dan matang, Roestam terutama bergerak di bidang politik dengan menjadi politikus (Rosidi, 2018: 33). Mula-mula dia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond, khususnya pergerakan di Minangkabau, selama tahun 1924–1927. Di saat bersamaan dia menjadi guru/kepala sekolah di Perguruan Tinggi Islam Adabiah II dan dipilih sebagai anggota termuda untuk Dewan Kotapraja, Padang. Pada kurun itu juga Roestam menjalin hubungan dengan para petinggi Partai Komunis Indonesia. Ketika terjadi huru-hara Komunis di Sumatra Barat pada tahun 1927, ruang gerak Roestam dipersempit pemerintah kolonial. Atas kondisi ini, dia kemudian pergi melarikan diri ke negeri Belanda.
Di Belanda dia melanjutkan pendidikannya, mula-mulai pada pendidikan dasar di Den Haag, kemudian ke Middelbaar Onderwijs Economie (pendidikan menengah ekonomi). Setamat dari itu, Roestam kuliah di Hochschule fuer Journalistik di Berlin dan Lenin's Universiteit di Moskow. Namun, selain melanjutkan pendidikan, di Belanda dia tetap aktif dalam dunia politik. Dia pernah menjadi orang Indonesia pertama dan anggota dewan termuda pada Tweede Kamer der Staten Generaal (1933–1946). Keaktifannya dalam anggota dewan tersebut, menurut surat Roestam kepada Ajip Rosidi, untuk merealisasikan jeritan hatinya mempertahankan kemerdekaan manusia (Rosidi, 2013).
Roestam meninggal di Jakarta 24 Mei 1979 dalam umur 76 tahun.
Penulis: Dedi Arsa
Referensi
Jassin, H.B. (1983), Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia dan Karangan-karangan Lainnya, Jakarta: Gramedia.
Jassin, H.B. (1985), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I, Jakarta: Gramedia.
Rosidi, Ajip (2013), Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan, Jakarta: Pustaka Jaya.
Rosidi, Ajip (2018), Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia, Bandung: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. (1980), Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah.
Yunus, Umar (1981), Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Jakarta: Bhratara.