Partai Komunis Indonesia (1920-1966)

From Ensiklopedia

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis tertua di Asia dan partai komunis terbesar yang tidak berkuasa di luar Uni Soviet dan Cina. Sejarahnya dimulai dengan terbentuknya Indische Sociaal Democratische Vereeniging pada 1914 di bawah pimpinan Sneevliet (Tornquist 1984: 47). Josephus Fransiscus Marie Sneevliet adalah tokoh intelektual Marxis yang pada 1909 menjadi ketua persatuan buruh kereta api dan trem di Belanda (Syukur 2008: 1). Berkat keahliannya dalam menyebarkan pahamnya, Sneevliet berhasil menarik minat para tokoh muda dalam tubuh Sarekat Islam (SI)—saat tersebut merupakan salah satu organisasi terbesar di Hindia-Belanda—seperti Semaun dan Darsono.

Oleh karena itu, SI terpecah menjadi dua golongan, yang kemudian dikenal dengan SI Merah dan SI Putih (Suhartono 1991: 2-3). Tidak lama setelah perpecahan itu, pada 1918 Sneevliet harus kembali ke Belanda, setelah diusir oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda karena gerakan-gerakan dan paham yang disebarkannya. Meski, sebelum meninggalkan Hindia-Belanda, Sneevliet telah berhasil memindahkan tongkah estafet kepemimpinannya kepada dua tokoh SI tersebut. Keduanya mendirikan Perserikatan Komunis Hindia pada 1921. Seiring berjalannya waktu dan dengan mengikuti jiwa zaman, pada 1924 Perserikatan Komunis Hindia berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (Kahin 1952: 77).

Pada dekade awal pembentuknya, PKI menjadi organisasi radikal yang berhasil sebagai kekuatan anti-kolonial. Namun gerakannya mulai meredup memasuki paruh pertama dekade 1920an seiring dengan meningkatnya represi pemerintah terhadap aktivis pergerakan. Sekitar tahun 1925, muncul gagasan di kalangan para pemimpin PKI untuk memulai gerakan revolusi, yang akan diawali dengan pemogokan pekerja buruh kereta api. Aksi ini diawali pada November 1926 dengan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Akan tetapi, aksi tersebut berhasil dilumpuhkan oleh pemerintah kolonial. Ribuan orang dibunuh, sekitar 13.000 orang ditahan, kemudian 5.000 orang lainnya diasingkan, sekitar 4.500 orang di penjara, dan 1.308 orang dilaporkan diasingkan ke Boven, Digul (Pauker 1969: 3). Akibat dari aksi ini, pada 1927 Partai Komunis Indonesia dinyatakan sebagai sebuah partai/organisasi yang illegal, dan membuat aktivitas PKI menjadi terhenti setidaknya hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial (McVey 1965: 353).

Setelah gagalnya aksi pertama PKI pada 1927, Muso yang pada saat tersebut menjadi salah satu pemimpin memutuskan untuk mengasingkan diri ke Uni Soviet, dan di sana ia berhasil menjadi salah satu tokoh komunis internasional. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaa, pada 1948 Muso kembali ke Indonesia untuk menghidupkan kembali partai yang dulu ditinggalkannya. Muso berhasil membangkitkan kembali PKI hingga mempunyai 30.000 anggota, yang sebelumnya hanya 3.000. Selain itu, ia juga berhasil menggabungkan PKI dengan partai-partai lain seperti Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Partai Buruh Indonesia (Swift 1989: 23) .

Dengan kekuatan yang berhasil digalang oleh Muso, muncul gagasan tentang sebuah gerakan pemberontakan untuk membayar kegagalan pada 1927. Jika pada aksi sebelumnya mereka berhadapann dengan pemerintah kolonial, maka pada aksi 1948  mereka melakukan penentangan secara terbuka terhadap pemerintah Republik Indonesia, yang gerakannya berpusat di kota Madiun, Jawa Timur (Swift 1989: 35-36). Akan tetapi, aksi ini kembali berhasil digagalkan oleh pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Kegagalan ini mengulang kembali mimpi buruk yang pernah dialami oleh PKI pada 1927.

Siapa sangka, kegagalan Peristiwa Madiun 1948 ternyata justru menjadi katalisator terjadinya suksesi kepemimpinan di dalam tubuh PKI. Pada 1950, tampuk kekuasaan PKI diserahkan kepada generasi muda seperti D.N. Aidit, Nyoto, dan Sudisman. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit inilah PKI mencapai puncak kejayaannya, bahkan hingga menjadi salah satu Partai Komunis terbesar di dunia (HMR 1965: 23). Aidit seringkali melakukan pendekatan kepada partai-partai kaum buruh dan tani. Selain itu, ia juga menjalin kerjasama dengan golongan non-Komunis yang anti terhadap penjajahan (Ricklefs 2007: 362). Karena strateginya tersebut, pada Pemilu 1955 PKI berhasil menjadi salah satu partai terbesar keempat di bawah PNI, Masyumi, dan Partai NU (Soedarmo, 2014: 132). PKI kembali mendapatkan angin segar ketika pada 1959 Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut disebutkan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang agresif dalam menentang Neo Kolonialisme dan Imperialisme, yang mana hal tersebut membuat Sukarno sangat bergantung salah satunya pada jaringan internasional PKI untuk menghadapi negara-negara Nekolim. Selain itu, ide NASAKOM yang dicetuskan oleh Sukarno pada 1961 juga menjadi titik kekuatan baru bagi PKI (Cahyono 2014: 157).

Ketika posisi PKI terus menguat, sebuah peristiwa terjadi yang diduga kuat melibatkan PKI, sehingga menjadi titik awal keruntuhan partai komunis tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang memegang jabatan penting di Markas Besar Angkatan Darat, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo (Tempo.co, edisi 30 September 2021). Penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat tersebut diduga dilakukan oleh PKI. Oleh karena itu, Angkatan Darat melakukan penggalangan massa melalui ormas Islam dan partai-partai lainnya untuk memberantas PKI beserta para simpatisan hingga akar-akarnya. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan peristiwa G 30 S/. Akibat adanya peristiwa ini, pada 5 Juli 1966 Jenderal Abdul Haris Nasution menerbitkan TAP MPRS No: XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxis-Leninisme (Syukur 2008: 7). Sejak saat itulah PKI beserta sayap-sayapnya menjadi organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia, yang kemudian menjadi penanda runtuhnya PKI sebagai sebuah partai dan/atau organisasi, hingga saat ini.

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Abdul, Syukur, “Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia” dalam Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2008, hlm. 1-8.

D. N. Aidit, (1955). Lahirnja PKI dan Perkembangannja (Pidato untuk memperingati  ulangtahun ke-35 PKI, diutjapkan tanggal 23 Mei 1955 di Djakarta), Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Iqbal Muhtarom (ed.,), “Struktur Pasukan dan Komando G30S di Bawah Pimpinan LetkolUntung”, dalam Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1512316/struktur-pasukan-dan-komando-g30s-di-bawah-pimpinan-letkol-untung , diakses pada 25 Maret 2022.

Kahin, George McTurnan, (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca New York: Cornell University Press.

McVey, Ruth T., (1965). The Rise of Indonesian Communism. New York: Cornell University Press.

Pauker, Guy J., (1969). The Rise and Fall of The Communist Party of Indonesia. California:The Rand Corporation.

Ricklefs, M.C., (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi.

Soedarmo, Runalan., dan Ginanjar, “Perkembangan Politik Partai Komunis Indonesia (1948-1965)”, dalam Jurnal Artefak, Vol. 2, No. 1, Maret 2014, hlm. 129-138.

Suhartono, “Sarekat Islam: Dari Gerakan Sosioreligius Menuju Gerakan Kebangsaan”, dalam   Laporan Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 1991.

Swift, Ann., (1989). The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948. New      York: Cornell Southeast Asia Program Publications.

Tornquist, Olle, (1984). Dilemmas of Third World Communism : The Destruction of the PKI in Indonesia, London: Zed Books.

Yulius Dwi Cahyono, “Penggulingan Presiden Sukarno di Balik Peristiwa G30S”, dalam  Histori Vitae: Seri Pengetahuan dan Pengajaran Sejarah, Vol. 28, No. 2, Oktober 2014, hlm. 154-171.