Soeharto: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 64: | Line 64: | ||
Vatikiotis, Michael R. J. (1993), ''Indonesian Politics under Soeharto: Order, Development and Pressure for Change''. London: Routledge. | Vatikiotis, Michael R. J. (1993), ''Indonesian Politics under Soeharto: Order, Development and Pressure for Change''. London: Routledge. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 16:43, 25 August 2023
Soeharto merupakan Presiden RI kedua. Memerintah selama 32 tahun (1966-1998), yang terpilih dalam enam enam kali Pemilihan Umum. Hanya saja, kursi kepresidenan hasil pemilihan yang keenam, yang seharusnya berakhir tahun 1999, terpaksa ditinggalkannya pada tahun 1998 karena adanya demonstrasi mahasiswa/masyarakat besar-besaran yang mendesaknya mundur. Jabatan Presiden diserahkannya kepada Wakil Presiden, Prof. Dr. B.J. Habibie.
Jenderal Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Godean, sebelah Barat Kota Yogyakarta, pada hari Rabu, 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro, seorang petugas desa pengatur aliran air dalam pengairan sawah desa (ulu-ulu), di samping juga bertani di atas tanah tungguh, tanah jabatan selama memikul tugas ulu-ulu. Sementara ibunya bernama Sukirah (Dwipayana dan Ramadhan 1989: 5-6; Vatikiotis 1993: 7).
Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, di Sekolah Dasar (SD) Puluhan, tapi kemudian pindah ke SD Pedes Yogyakarta. Setamat SD, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah, juga di Yogyakarta, serta Sekolah Militer di Gombong, sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Dia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945 (Dwipayana dan Ramadhan 1989: 6).
Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah, seorang anak pegawai Mangkunegaran dan adik kelasnya ketika di SD. Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Dari perkawinan Soeharto-Siti Hartinah (setelah menjadi ibu Negara terkenal panggilannya dengan Ibu Tien Soeharto), mereka dikaruniai tiga putra dan tiga putri: Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Menurut catatan otobiografinya, karir Soeharto di bidang ketentaraan dimulai dari anggota KNIL (KoninKlijk Nederlands-Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Sejak diterima di KNIL ia mulai mengikuti pendidikan dan latihan di Gombong dan lulus dengan prestasi yang baik. Dari kelulusan dan karirnya yang baik itu, dalam waktu yang tidak lama pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Akan tetapi, memasuki zaman Jepang, karena kondisi masa peralihan kekuasaan (dari Belanda ke Jepang) yang tidak menentu, ia sejak tahun 1942 pulang ke Wuryantoro dan kemudian ke Yogyakarta. Di sana ia melamar untuk jadi polisi dan diterima, terakhir menjadi Asisten Inspektur (Tokko) di Yogyakarta.
Pada masa pendudukan Jepang itu, Soeharto tidak mencapai pangkat setingkat Inspektur Polisi; pangkatnya tetap bertahan setingkat Asisten Inspektur. Ia tidak dipercaya dan dicemooh oleh beberapa mantan anggota Kempeitai dan para Perwira Polisi Sipil di Jawa ketika mengajukan kenaikan pangkat menjadi Inspektur Polisi. Taniguchi Taketsugu (pernah menjabat sebagai Kepala Kempeitai Bogor) menyatakan tentang Soeharto: “seorang Indonesia dalam usia awal 20-an tahun dapat mencapai pangkat setinggi itu…”. Begitu juga dengan Teramoto Maschi (mantan Sersan di Kempeitai Solo) juga mengeluarkan pendapat yang melecehkan Soeharto: “saya tidak ingat ada orang Indonesia yang menduduki posisi nomor 2 di Kepolisian Yogyakarta dengan sebutan pangkatnya Kaibuko. Hal itu sulit dibayangkan (Jenkins 2020: 31).
Tidak bisa berkembang di Kepolisian, atas saran atasannya, seorang opsir Jepang, Soeharto kemudian mengajukan diri untuk menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA), dan setelah proses penyeleksian ia diterima. Ia mengikuti latihan untuk menjadi Shodanco di Bogor. Akan tetapi, setelah usai mengikuti pelatihan ia malah ditempatkan di Solo, dan kemudian dipindahkan ke Madiun. Setelah beberapa bulan di Madiun, Soeharto dipindahkan lagi ke Jakarta untuk menjadi pelatih di asrama Jaga Monyet. Menjelang akhir masa pendudukan Jepang, ia dipindahkan pula ke Desa Brebeg, Selatan Madiun untuk menjadi pelatih PETA di sana.
Segera setelah menerima berita proklamasi kemerdekaan RI, Soeharto mengajak teman-teman anggota PETA bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua BKR Yogyakarta, sementara ketuanya Umar Slamet. Ketika terjadi pertempuran antara pemuda dengan tentara Jepang di Semarang, ia membawa pemuda dari Yogyakarta untuk membantunya melawan Jepang di Semarang. Bersama bawahannya pula, Soeharto menyerbu lapangan terbang Maguwo (Adisucipto sekarang) dan menawan sejumlah tentara Jepang di sana (Harsrinuksmo 2004: 146-147).
Pasukan yang dipimpin Soeharto kemudian diresmikan menjadi Batalion X dan ia diangkat secara resmi menjadi mayor, sekaligus resmi menjadi anggota TNI sejak 5 Oktober 1945. Seusai pertempuran di Ambarawa melawan pasukan Belanda dan Sekutu, Jenderal Sudirman mengangkatnya sebagai Komandan Resimen III, dengan membawahi empat batalion dan pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel. Kemudian berturut-turut sebagai Komandan Brigade Garuda Mataram; Komandan Resimen Infanteri 15 dengan pangkat Letnan Kolonel; Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD); Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat; Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad); Panglima Kopkamtib; Mayor Jendral; dan 1966-1998 Presiden Kedua RI. Soeharto pernah mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional; dan Bintang Mahakarya Gotong Royong dari Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Dwipayana dan Ramadhan 1989: 74-81).
Seperti disebut sebelumnya, Soeharto adalah Presiden kedua RI. Jabatan itu diembannya setelah Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret 1967 menunjuknya sebagai Pejabat Presiden RI. Penunjukan tersebut berawal dari situasi politik di Indonesia yang memburuk setelah meletusnya Peristiwa G-30-S. MPRS menunjuk Soeharto dengan tujuan untuk mengendalikan situasi yang sudah kacau. Penugasan Soeharto sebagai Pejabat Presiden diawali dengan adanya satu surat yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno sebelumnya, yaitu Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966, yang tujuannya untuk mengamankan situasi yang sudah kacau, karena PKI sudah membunuh sejumlah enam jenderal pada 30 September 1965, dan tindakan kekerasan lainnya.
Soeharto baru dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, 8 Maret 1967, yaitu setelah sekitar setahun menjadi Pejabat Presiden. Pengalaman menjabat sebagai Presiden selama setahun, dalam pantauan MPRS yang diketuai oleh Jenderal A.H. Nasution, sudah siap dan memadai untuk dilantik menjadi presiden RI kedua. Setelah dilantik, Soeharto berpidato perihal Demokrasi Pancasila. Menurutnya, demokrasi tak boleh ditentukan oleh paksaan kekuatan. Dia menyebutkan tak boleh ada kepemimpinan diktator, baik diktator perorangan, diktator kelompok, atau diktator militer. Soeharto juga menjamin tak akan ada pemaksaan diktator mayoritas pada minoritas. Kemudian ia menambahkan lagi bahwa "Tidak satu golongan pun boleh apriori mempertahankan atau memaksakan kehendak atau pendiriannya" (Fadillah, Reporter News, 18 Oktober 2019).
Soeharto memerintah lebih dari tiga dasawarsa (Maret 1967-1998 atau sekitar 32 tahun) dan mengikuti enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Selama masa jabatannya, ia sempat mendapat penghargaan dari badan dunia Food and Agriculture Organization (FAO) atas keberhasilan mencapai swasembada pangan pada 1985, dan juga mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Soeharto menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas politik, pembangunan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Stabilitas politik dimaksudkan akan menjamin berlangsungnya pembangunan, dan pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi inilah yang harus dapat diratakan hasilnya untuk pemerataan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia umumnya (Assegaf 2013: 325).
Dengan Strategi Trilogi Pembangunan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun memiliki kondisi politik yang tergolong stabil. Dengan stabilitas politik pula pembangunan dapat diprogramkan dengan baik, yang terkenal dengan Program Jangka Pendek, dan Program Jangka Panjang. Pemerintahannya sukses, baik di bidang politik, pertumbuhan ekonomi yang baik dan kesejahteraan masyarakatnya (Vatikiotis 1993: 142-143).
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi Presiden Soeharto, yang dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA). Proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat top-down. Adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat eksklusif. Pemerintah daerah dan masyarakat sebagai subjek utama output perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, dan daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya, program tersebut mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya. Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik atau top-down untuk membangun sebuah bangsa, pada fase-fase awal pemerintahannya adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi.
Program pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: 1. Jangka panjang, yang mencakup pencanangan pembangunan periode panjang 25 sampai 30 tahun; dan 2. Jangka pendek, mencakup periode 5 tahun yang terkenal dengan sebutan “PELITA” (Pembangunan Lima Tahun).
Berikut perencanaan program pelita yang dicanangkan pemerintah Orde Baru: 1. Pelita I (1 April 1969–31 Maret 1974): Menekankan pada pembangunan bidang pertanian; 2. Pelita II (1 April 1974–31 Maret 1979): Tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja; 3. Pelita III (1 April 1979–31 Maret 1984); Menekankan pada perwujudan Trilogi Pembangunan di Indonesia; 4. Pelita IV (1 April 1984–31 Maret 1989): Menitik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri; 5. Pelita V (1 April 1989–31 Maret 1994): Menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri; dan 6. Pelita VI (1 April 1994–31 Maret 1999). Hingga Pelita VI masih menitikberatkan pembangunan pada sektor yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Hanya saja, Pelita terakhir dimaksud tidak sempat mencapai tahun 1999, karena pada tahun 1998 ia harus menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Prof, Dr. B.J. Habibie, karena tuntutan demonstran besar-besaran hampir di seluruh Indonesia.
Pembangunan Indonesia selama masa Orde Baru menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup zaman Soeharto, Email Salim (1997: 4), bertopang pada empat faktor kebijaksanaan utama, yaitu:
- Kebijaksanaan ekonomi makro yang mencakup kebijakan anggaran berimbang, kebijakan moneter dan perbankan yang bersifat prudent (hati-hati), dan kebijaksanaan perdagangan luar negeri serta neraca pembayaran yang berorientasi pada ekspor sebagai faktor pendorong pembangunan;
- Kebijaksanaan perombakan struktur ekonomi dari pola ekonomi penghasil bahan mentah menjadi ekonomi industri penghasil barang jadi. Dampak dari hal tersebut adalah menghasilkan diversifikasi struktur masyarakat di Indonesia;
- Kebijaksanaan kependudukan yang tertuju pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk, meningkatkan harapan usia hidup penduduk berkat peningkatan kesehatan penduduk, serta menaikkan tingkat pendidikannya agar mampu menanggapi perubahan struktur ekonomi; dan
- Kebijaksanaan stabilitas politik untuk menjamin iklim yang kondusif bagi pembangunan, yang pada gilirannya diharapkan melanjutkan stabilitas politik.
Keempat faktor kebijaksanaan tersebut menjadi landasan dalam menentukan arah pembangunan RI, dengan Strategi Trilogi Pembangunan yang sudah dirumuskan. Hanya saja, sesuai dengan kondisi perekonomian dan kebangsaan yang ditandai dengan demonstrasi besar-besaran, maka Pelita VI yang direncanakan berakhir 1999, dapat dipastikan gagal dalam capaiannya. Lebih-lebih klimaksnya tahun 1998, Soeharto harus mengundurkan diri atas tuntutan rakyat Indonesia melalui demonstrasi besar-besaran di ibu kota, Jakarta utamanya dan daerah, yang berakhir dengan mundurnya Soeharto.
Pembangunan ekonomi selama pemerintahan Soeharto, ditilik dari aspek fiskal, umumnya diakui para ahli cukup baik. Akan tetapi, para ahli juga menyebut bahwa dari aspek fundamental perekonomian menghasilkan fondasi yang sangat rapuh. Hal ini disebabkan oleh karena titik berat dari masing-masing tahapan pembangunan dapat berubah-ubah (walaupun strategi pembangunan waktu itu bertumpu pada Strategi Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas). Karena itu, ekonomi Indonesia saat itu sangat rentan, yang kemudian menciptakan krisis tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah Orde Baru. Perlu juga dicatat di sini masalah stabilitas nasional. Meski memang terjadi pada masa Orde Baru, akan tetapi sifatnya semu, yang berarti sebenarnya semua anggota masyarakat merasa takut dan tunduk kepada pemerintahan Orde Baru di bawah kendali Soeharto.
Seperti sudah disebutkan di atas, Soeharto harus meletakkan jabatan secara tragis, dia didesak oleh demonstran, para mahasiswa dan pemuda untuk lengser dari jabatannya pada tahun 1998. Menurut sebagian pengamat, lengsernya Soeharto bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa dan pemuda, tetapi juga akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya bersifat ABS (Asal Bapak Senang).
Pasca mengundurkan diri, atas tuntutan masyarakat, Soeharto sempat diadili dengan tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Soeharto menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan-yayasannya. Akan tetapi, ia jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan. Soeharto meninggal pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Dia meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari, sejak 4 sampai 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita meninggalnya Soeharto secara resmi disampaikan oleh Tim Dokter Kepresidenan, yang menyampaikan siaran pers tentang meninggal dunia Soeharto, tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ. Soeharto bersama ibu Tien atau Siti Hartinah dikebumikan di pemakaman keluarga Astana Giribangun, berada di puncak satu bukit di Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.
Penulis: Misri A. Muchsin
Referensi
Assegaff, Djafar Husin (2013), Zaman Keemasan Soeharto: Tajuk Rencana Harian Surabaya Post 1989-1993. Jakarta: Penerbit Kompas.
Dwipayana, G. dan Ramadhan K.H. (1989), Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Otobiografi, Seperti dipaparkan kepada G.Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.
Harsrinuksmo, Bambang (2004), Ensiklopedi Nasional Indonesia, No. 15, cet. Keempat.
Jenkins, David (2020), Soeharto Di Bwah Militerisme Jepang. Jakarta: Komunitas Bambu.
Vatikiotis, Michael R. J. (1993), Indonesian Politics under Soeharto: Order, Development and Pressure for Change. London: Routledge.