Pembela Tanah Air (PETA)

From Ensiklopedia

Pembela Tanah Air (PETA) adalah tentara sukarela  yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang. Pada 3 Oktober 1943, Panglima Tentara Ke-16 Kumakici Harada mengeluarkan peraturan Osamu Seirei No. 44 tentang pembentukan tentara PETA. Pembentukan PETA dilatarbelakangi  kondisi pasukan Jepang yang semakin berkurang   selama Perang Pasifik dan karenanya membutuhkan tambahan pasukan untuk mengantisipasi serangan Sekutu di Jawa dan Sumatera. Selain itu, pembentukan PETA juga didasari oleh keinginan golongan nasionalis agar pemuda Indonesia memperoleh pelatihan militer dan dilibatkan dalam perang melawan Sekutu (Suwondo 1996: 21; Cribb 2010: 54). 

Pembentukan PETA bertujuan untuk mendukung militer Jepang dalam upaya pertahanan diri melawan sekutu. Oleh karena itu, PETA dijadikan sebagai tentara teritorial untuk mempertahankan Jawa, Bali, dan Sumatera oleh Jepang. Bagi bangsa Indonesia pembentukan PETA bertujuan untuk membangkitkan semangat juang para pemuda yang mendapat latihan di bidang militer. Selain itu, PETA juga dipersiapkan sebagai bentuk kekuatan militer  apabila Indonesia sewaktu-waktu memproklamirkan kemerdekaan.

Para pejabat angkatan darat ke-16 Jepang merancang PETA sebagai pasukan  gerilya  terdesentralisasi yang akan digunakan jika Sekutu menyerang Jawa. Pasukan  militer yang berasal dari PETA  akan ditempatkan di daerah asalnya dan akan digunakan semata-mata untuk pertahanan lokal. Berdasarkan bentuk pertempuran yang akan dilakukannya, PETA disusun hanya sampai tingkat batalyon atau daidan, Setiap batalyon beranggotakan rata-rata sekitar 500-600 orang.  Secara keseluruhan, PETA memiliki 69 daidan di Pulau Jawa dan  3 daidan di Pulau Bali. Kawasan komando PETA umumnya sama dengan kabupaten, meskipun di kabupaten yang sangat besar seperti Jakarta dan Bandung ditempatkan dua atau  tiga batalyon.  Struktur kepangkatan PETA didasarkan pada jabatan mereka yaitu Daidanco (Komandan Batalyon), Cudanco (Komandan Kompi), Shodanco (Komandan Peleton), Budanco (Komandan Regu), dan Giyuhei (Prajurit).  Anggota PETA mengenakan seragam dengan model yang sama seperti yang digunakan oleh tentara Jepang. Meskipun PETA dibentuk oleh Jepang, pasukan ini dipimpin para perwira Indonesia sementara Perwira Jepang  bertugas sebagai pelatih atau penasihat (Anderson 2018: 22;  Oktorino 2013: 91).

Proses perekrutan anggota PETA dilakukan oleh Bappen (Dinas Intel Tentara Ke-16). Para pemuda usia 18-25 tahun direkrut  dan diberi pelatihan militer yang menekankan solidaritas, disiplin, kekuatan fisik dan retorika patriotisme heroik. Sebagian besar anggota PETA berasal dari kelompok terpelajar.  Pelatihan PETA pertama kali dilakukan pada tanggal 15 Oktober 1943 di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bogor yang diberi nama Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Suwondo 1996: 55)

Pembentukan PETA memberikan arti penting dalam sejarah Indonesia. PETA    merepresentasikan warisan paling efektif dari periode Jepang baik itu dari segi organisasional maupun ideologis (Reid 2018: 31-32). Hal ini tampak pada keterlibatan tentara PETA dalam  upaya percepatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Selain itu, pada masa kemerdekaan , PETA menjadi pilar utama dalam pembentukan Tentara Kemanan Rakyat dan cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Suwondo, Purbo S (1996). PETA Tentara Sukarela Pembela Tanh Air di Jawa dan Sumatera 1942-1945.  Jakarta:Pustaka Sinar Harapan

Oktorino, Nino (2013). Ensiklopedi: Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Anderson, Benedict (2018). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tanggerang: Marjin Kiri.

Reid, Anthony (2018). Indonesia Revolusi dan Sejumlah Isu Penting. Jakarta : Prenadamedia.

Cribb, Robert (2010). Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Jakarta : Komunitas Bambu.