Soesalit: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
 
Line 27: Line 27:


''Tempo'', 12 Desember 1987.
''Tempo'', 12 Desember 1987.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 17:06, 25 August 2023

Mayor Jenderal R. Soesalit merupakan putra semata wayang dari R.A. Kartini yang lahir pada 13 September 1904 di Rembang. Saat mengandung R.M. Soesalit, Kartini terus belajar dan berusaha untuk mendirikan sekolah dengan mendapat dukungan penuh dari suaminya yakni Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat (Monash Asia Institute, 2004: 199-200). Empat hari setelah melahirkan Soesalit, kesehatan Kartini terus menurun hingga meninggal dunia pada 17 September 1904 (Imron, 2018: 47). Sepeninggalan ibunya, Soesalit diasuh oleh neneknya bernama Ngasirah dan seorang pembantu Kartini ketika hidup yakni Mbok Mangunwikromo. Soesalit diasuh oleh kedua orang tersebut sampai usianya beranjak enam bulan. Setelahnya, Soesalit dibawa ke Jepara dan diasuh oleh ayahnya sendiri (Soeroto, 1979: 405).

Pada tahun 1912, ketika berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia yang saat itu Soesalit masih duduk di sekolah rendah Eerste Europese Lagere School (ELS) di Rembang. Setelah mengenyam pendidikan di ELS selama tujuh tahun, Soesalit berhasil lulus pada tahun 1919 dan melanjutkan pendidikan lanjutan di Hogere Burger School (HBS) di Semarang dan berhasil lulus pada tahun 1925. Ketika lulus dari HBS, Soesalit ingin melanjutkan pendidikannya menjadi insinyur atau dokter dan Soesalit juga berkeinginan menjadi perwira angkatan laut. Akan tetapi keinginan Soesalit ditolak oleh Bupati Abdoelkarnaen dan Soesalit dipaksa untuk mengambil pendidikan lanjutan sesuai keinginan sang bupati untuk masuk RHS (Rechtscofelschool) yakni Sekolah Kehakiman Tinggi di Batavia. Setelah memasuki satu tahun di RHS, pada tahun 1926, Soesalit memutuskan untuk berhenti karena ia diterima kerja sebagai Pegawai Pamongpraja Bumiputera diperbantukan kepada kontrolir Rembang. Selama tiga tahun bekerja sebagai pegawai pamongpraja, Soesalit sering mendapat hinaan dari orang-orang Belanda sehingga membuat dirinya sangat membenci penjajahan di Indonesia (Soeroto, 1979: 405-406).

Karir Soesalit terus membaik selama bekerja sebagai pegawai pamongpraja di Rembang. Atas hal itu, kemudian Soesalit diangkat menjadi Asisten Wedana di Rembang. Pada tahun 1929, atas usaha Bupati Abdielkarnaen, Soesalit masuk dinas kepolisian di bagian Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Ketika menjabat pada dinas kepolisian, jiwa Soesalit bergejolak karena tugas dari dinas tersebut adalah mengawasi gerak-gerik politik kaum mahasiswa dan pemuda yang menentang praktik kolonialisme. Meskipun Soesalit menjabat pada dinas itu, sebagai hal yang bertolak belakang dengan jiwanya, Soesalit sering sekali merahasiakan gerakan politik yang dilakukan oleh golongan terpelajar dan golongan pemuda. Tugas ini ia emban hingga Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942 (Soeroto, 1979: 406).

Pada masa pendudukan Jepang, Soesalit yang berbekal latar belakang kepolisian kemudian memutuskan untuk masuk pada ketentaraan PETA. Persiapan awal yang dilaksanakan oleh Soesalit adalah mengikuti pelatihan atau sekolah pendidikan perwira (Bo-Ei-Gyu-Gun-Rensetai) di Bogor. Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Bogor sebagai angkatan pertama Daidantyo (Batalion Komandan) kemudian Soesalit juga mendapatkan latihan praktek Daidan di Sumpyuh (Banyumas) serta pendidikan Khusus Staf dan Komando Jepang. Selesai mengenyam pendidikan dan pelatihan militer, Soesalit kemudian diangkat menjadi Daidanco Daidan II di Banyumas pada tahun 1943 lalu dipindahkan ke Daidan II di Sumpyuh pada tahun 1944 hingga 1945.

Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, selanjutnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka dibentuklah ketentaraan dan lasykar. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1945 setelah PETA dibubarkan, Soesalit menjadi pelatih Lasykar di Tegal dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Setelah itu, Soesalit kemudian menjabat sebagai kepala staf Resimen XIII TRI Tegal berpangkat mayor. Selama menjadi kepala staf di Tegal, Soesalit berhasil melucuti senjata pasukan Jepang, dan atas prestasinya, Soesalit kemudian diangkat menjadi Komandan Brigade V Divisi II Cirebon dengan pangkat Kolonel. Pada 01 Oktober 1946, mengingat situasi genting yang dialami Indonesia atas serangan Belanda, Soesalit kemudian dipindahkan ke Yogyakarta untuk mengisi kekosongan jabatan sebagai Panglima Divisi III atas perintah Jenderal Soedirman.

Ketika menghadapi Agresi Militer II di wilayah Jawa Tengah, Soesalit sebagai Panglima Divisi III bertugas untuk menyiapkan pasukan di  titik-titik strategis pertempuran seperti di Candiroto, Pingit, dan Grabag. Selain menyiapkan pasukan, Soesalit juga menginstruksikan bawahannya untuk membumihanguskan sektor-sektor strategis untuk menghindari pendudukan Belanda kembali seperti sektor perkebunan, perkantoran dan sebagainya (Soeroto, 1979: 407-408).

Setelah berhasil menghadapi serangan Agresi Militer II, Soesalit diangkat menjadi Panglima Komando Pertempuran daerah Kedu dan sekitarnya. Pada masa itu juga, terjadi rasionalisasi organisasi ketentaraan di Indonesia dimana Soesalit turun pangkat menjadi Kolonel kembali. Sejak tahun 1948, Soesalit berkedudukan non-aktif dalam ketentaraan. Non-aktifnya Soesalit tidak diketahui secara pasti akan tetapi, jiwa patriotismenya tetap berlanjut meskipun tidak duduk sebagai tentara, ia tetap aktif membantu gerilyawan di area pegunungan selatan Kedu (Tempo, 12 Desember 1987).

Setelah pengakuan kedaulatan, Soesalit tetap tidak memegang tugas ketentaraan, akan tetapi pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I, oleh Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri, Soesalit diangkat sebagai penasihat yang diperbantukan untuk Kementerian Pertahanan dengan diberi pangkat Kolonel. Setelah meninggalkan tugas kemiliteran, Soesalit dan keluarga memilih untuk hidup menyendiri hingga ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat pada 17 Maret 1962 dan berusia 58 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Bulu, Rembang, bersama-sama dengan pusara R.A. Kartini.

Penulis: Handoko


Referensi

Monash Asia Institute, 2004, Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme (Surat-Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903), Jakarta: Penerbit Kompas.

Soeroto, Sitisoemandari, 1979, Kartini Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung.

Rosyadi, Imron, 2018, R.A. Kartini Biografi Singkat 1879-1904, Yogyakarta: House of Book.

Tempo, 12 Desember 1987.