Iwa Kusuma Sumantri
Iwa Kusuma Sumantri adalah seorang tokoh politik Indonesia dari masa Pergerakan Nasional hingga masa Orde Lama. Beliau lahir pada tanggal 31 Mei 1899 di Ciamis, Jawa Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Hollandsch Inlandsch School (HIS), ia dianjurkan oleh ayahnya, Raden Wiramatri untuk melanjutkan sekolahnya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Iwa Kusuma Sumantri pun sempat bersekolah di OSVIA namun tidak sampai tamat. Ia berhenti dari OSVIA dan memilih untuk bersekolah di Recht School Batavia dengan mengambil jurusan hukum (Sumantri, 2002: 19). Selain bersekolah, ia juga ikut bergabung dengan sebuah organisasi kepemudaan Jawa yaitu Jong Java (Sudarmanto, 2007: 368).
Setelah menyelesaikan studinya di Batavia pada tahun 1921, Iwa Kusuma Sumantri lalu bekerja di Landraad (Pengadilan Negeri) Bandung dan kemudian dipindahkan ke Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Surabaya. Semasa bekerja, ia dikenal rajin membaca majalah dan surat kabar serta kerap berhubungan dengan pergerakan. Pada masa ini kesadaran politik Iwa Kusuma Sumantri semakin tumbuh dan kerap mengkritik Pemerintah Hindia Belanda, terutama Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum yang telah berjanji akan memberikan otonomi dan demokrasi yang luas bagi rakyat koloni Hindia Belanda.
Pada suatu waktu, ia mendengar informasi mengenai kesempatan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda bagi lulusan Recht School Batavia yang sudah bekerja di pemerintahan. Akhirnya Iwa Kusuma Sumantri kembali ke Batavia untuk mengurus studinya tersebut. Di Batavia, ia menyaksikan persidangan H.O.S Tjokroaminoto terkait Peristiwa Cimareme, Garut. Di persidangan tersebut, Iwa Kusuma Sumantri merasa bahwa Tjokroaminoto adalah sosok yang bijaksana dan dapat melihat unsur-unsur sosialisme dalam Islam (Sumantri, 2002: 28). Ia juga menilai bahwa Peristiwa Cimareme adalah wujud dari perlawanan rakyat yang merasa dirugikan akibat kebijakan pemerintahan kolonial.
Iwa Kusuma Sumantri akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi amtenar dan memilih melanjutkan studinya di Universitas Leiden, Belanda. Selama di Belanda, ia bergabung dengan organisasi Indonesische Vereeniging yang kelak berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) (Mirnawati, 2012: 276-277). Ia bergabung bersama rekan-rekannya yang lain seperti Moh. Hatta, Sutomo, Ali Sastroamidjojo, Tan Malaka, Semaun, dan Darsono yang merupakan anggota generasi kedua (Ingleson, 1993: 3). Di tahun 1923, ia menjabat sebagai ketua organisasi tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Indonesische Vereeniging mulai menyusun anggaran dasar organisasi dan mulai menggencarkan tuntutan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia (Djoyohadisuryo, 1978: 124).
Selaku Ketua Indonesische Vereeniging, Iwa Kusuma Sumantri menyerukan kepada para pelajar Indonesia di Belanda untuk mengikuti perkembangan politik di tanah air. Dalam sambutannya saat pengangkatan dirinya sebagai ketua, Iwa Kusuma Sumantri menyatakan bahwa masa depan bangsa Indonesia hanya terletak pada institusi pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus berjuang dengan segenap kemampuan dan kekuatannya sendiri tanpa bantuan pihak asing (Ingleson, 1993: 7).
Iwa Kusuma Sumantri mempunyai keyakinan bahwa untuk meraih kemerdekaan, bangsa Indonesia harus saling bekerja sama tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau kelas sosial. Ia bahkan menyerukan organisasi tersebut untuk mengambil jalur non-kooperatif dalam perjuangannya yang berarti mereka tidak akan bekerja sama dengan Belanda untuk meraih kemerdekaan (Sudarmanto, 2007: 368). Indonesische Vereeniging dibawah kepemimpinan Iwa dianggap sebagai organisasi radikal oleh Pemerintah Belanda karena dengan keras menuntut kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuat Pemerintah Belanda pun mengawasi gerak-gerik dari organisasi ini dengan ketat bahkan melarang para pelajar dari Hindia Belanda yang baru datang ke Belanda untuk menjadi anggota Indonesische Vereeniging. (Poeze, 2008: 176).
Tahun 1925, Iwa Kusuma Sumantri telah menyelesaikan studinya di Leiden. Ia kemudian melanjutkan studinya bersama Semaun di Moskow. Mereka berdua merupakan delegasi dari Indonesische Vereeniging yang telah berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) untuk Komintern. Tujuan mereka dikirim adalah untuk memperkenalkan ideology PI kepada Komintern (Ingleson, 1993: 48). Mereka mempelajari tentang program Front Persatuan (Eenhiedsfront) yang sedang digembar-gemborkan di Rusia. Di sana ia mempelajari tentang komunisme namun ia merasa tidak cocok dengan komunisme ala Lenin tersebut. Meskipun demikian, ia sepaham dengan pemikiran Tan Malaka yang merupakan tokoh dari Partai Komunis Indonesia (PKI) (Poeze, 2008: 176). Di Moskow Iwa sempat menikah dengan seorang wanita lokal bernama Anna Ivanova dan dikaruniai seorang putri bernama Sumira Dingli. Dua tahun berselang, Iwa Kusuma Sumantri kemudian kembali ke Indonesia tanpa membawa keluarganya.
Ketika Iwa Kusuma Sumantri tiba di Indonesia pada tahun 1927, situasi politik pada saat itu sedang tidak kondusif. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengawasi secara ketat kegiatan politik akibat dari terjadinya pemberontakan oleh PKI di tahun 1926 yang berakhir dengan kegagalan. Meskipun gerakan orang-orang komunis dapat dihalau, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tetap melakukan pengawasan secara ketat terhadap semua organisasi dan individu yang dianggap radikal dan membahayakan, termasuk Iwa Kusuma Sumantri (Sudarmanto, 2007: 368). Ia bekerja sebagai seorang pengacara di Medan dan sempat mendirikan surat kabar Matahari Indonesia yang menjadi tempat aspirasi pekerja dan mengkritik perkebunan besar Belanda di daerah tersebut. Ia juga bergabung dengan Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno.
Iwa Kusuma Sumantri sering menulis kritikan-kritikan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terutama terkait kebijakan poenale sanctie atau hukuman kepada para buruh yang melanggar kontrak yang dianggap merugikan petani perkebunan di Deli. Iwa Kusuma Sumantri juga mengorganisir serikat buruh seperti menjadi penasihat Persatuan Supir dan Pekerja Bengkel serta menjadi Ketua Perkumpulan Pekerja Opium Regie Bond Luar Jawa dan Madura (ORBLOM). Tindak-tanduk dan sikap progresifnya membuat ia harus mendekam di penjara Medan pada tahun 1929 dan setahun kemudian dibuang ke Banda Neira, Maluku selama sepuluh tahun (Adam, 2009: 23). Di sana ia diberi tunjangan sebesar 200 gulden tetapi kemudian turun menjadi 175 akibat krisis malaise.
Di Banda Neira, ia menjadi sosok muslim yang semakin taat. Ia belajar Bahasa Arab sekaligus memperdalam ilmu agama Islamnya dengan sahabatnya, Syekh Abdullah bin Abdurakhman. Iwa Kusuma Sumantri juga menulis buku yang berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah. Meskipun demikian ia tetap meyakini juga nilai-nilai Marxisme. Iwa Kusuma Sumantri juga berjumpa dengan berbagai tokoh pergerakan yang juga ikut diasingkan di Banda Neira seperti Dr. Cipto Mangunkusumo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir (Kahin, 1952: 150). Pada tahun 1941, Iwa Kusuma Sumantri dipindahkan menuju Makassar dengan status tahanan politik. Ia kemudian mengajar di Sekolah Taman Siswa Makassar. Ketika Jepang menduduki Makassar, Iwa Kusuma Sumantri dibebaskan. Ia diminta oleh pihak militer Jepang untuk membantu walikota Makassar, Nazamudin Daeng Malea. Setelah selesai membantu walikota, ia bersama keluarganya memutuskan untuk pergi menuju kampung halamannya di Ciamis.
Iwa Kusuma Sumantri kemudian pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai advokat bersama Mr. A.A. Maramis. Ia juga memberikan kursus-kursus kepada pemuda yang diadakan oleh Kantor Riset Kaigun Cabang Jakarta pimpinan Mr. Ahmad Subarjo dan diawasi langsung oleh Laksamana Tadashi Maeda. Sebelum kekalahan Jepang, Iwa Kusuma Sumantri bergabung ke dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Subarjo, 1978: 254). Di sini Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan untuk memakai istilah Proklamasi dan membantu menyusun Undang-Undang Dasar 1945 (Adam, 2009: 22).
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan Republik Indonesia yang pertama hingga tanggal 14 November 1945. Setelah masa jabatannya berakhir, Iwa Kusuma Sumantri tetap aktif di kancah politik dan sempat ikut berjuang secara fisik bersama para pemuda Bogor, Cianjur, dan Purwakarta. Iwa Kusuma Sumantri lalu bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka (Sudarmanto, 2007: 369).
Persatuan Perjuangan adalah wadah dari 141 organisasi politik dari berbagai ideologi dan latar belakang yang memiliki tujuan yaitu kemerdekaan Indonesia 100%. Bergabungnya Iwa Kusuma Sumantri ke dalam Persatuan Perjuangan didasari oleh kesamaan prinsip yang dianut yaitu prinsip non kooperasi terhadap penjajah (Adam, 2009: 24). Sepak terjang organisasi ini pun membuat Iwa Kusuma Sumantri terjebak ke dalam masalah yang cukup besar.
Iwa Kusuma Sumantri bersama para koleganya di Persatuan Perjuangan dituduh berusaha melancarkan kudeta terhadap Pemerintahan Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Ia dan anggota lainnya dituduh berusaha mempengaruhi Jenderal Sudirman untuk bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan dan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Akibatnya Iwa Kusuma Sumantri dan anggota Persatuan Perjuangan lainnya seperti Tan Malaka, Muh. Yamin, dan Ahmad Subarjo dipenjara oleh Sjahrir (Mirnawati, 2012: 276-277).
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir, pada tanggal 27 Mei 1948 Iwa Kusuma Sumantri dibebaskan dan diberi grasi oleh Presiden Sukarno. Kemudian pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Iwa Kusuma Sumantri bersama Sukarno, Moh. Hatta, dan pemimpin Indonesia lainnya ditangkap dan baru dibebaskan setelah perjanjian Roem-Royen. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, Iwa Kusuma Sumantri kemudian menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga tahun 1950 (Sudarmanto, 2007: 369).
Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1953, Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Pertahanan di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo. Jabatan ini sebetulnya sudah ditawarkan kepada beberapa orang namun tidak ada yang mau menerimanya karena tidak ingin berurusan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya Angkatan Darat (TNI AD) yang sedang tidak stabil pasca Peristiwa 17 Oktober 1952. Iwa Kusma Sumantri pun akhirnya bersedia menerima jabatan itu. Selama menjadi Menteri Pertahanan, Iwa Kusuma Sumantri berhasil menetapkan program-program bagi kemajuan TNI seperti mengajukan undang-undang pertahanan, menjadikan Jakarta Raya sebagai daerah militer sendiri terlepas dari Jawa Barat, memperhatikan kepentingan asrama tentara, mengusahakan dana pensiun bagi para janda pahlawan, dan memperhatikan pendidikan di kalangan TNI dengan mengirim para perwira TNI menempuh pendidikan di luar negeri (Sudarmanto, 2007: 369).
Akan tetapi, terdapat pula kebijakan Iwa Kusuma Sumantri yang dinilai bertentangan atau bahkan membuat TNI, khususnya TNI AD marah. Kebijakan yang pertama adalah menyampaikan rasa simpati secara terbuka kepada kelompok kiri yang terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Kedua adalah kebijakan yang membuat perpecahan di internal TNI AD setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 semakin dalam. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pun seolah mengakui hal tersebut. Ia pernah berkata bahwa kebijakan Iwa Kusuma Sumantri ini membuat para perwira di lingkungan TNI AD merasa tidak nyaman dan membuat mereka berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri sehingga para politisi tidak bisa mengintervensi kembali (Said, 1987: 21).
Di sisi TNI AD, Iwa Kusuma Sumantri dianggap terlalu jauh ikut campur urusan internal mereka. Bahkan Kolonel Bambang Sugeng pun selaku Kepala Staf Angkatan Darat pada saat itu merasa otoritasnya banyak dilangkahi oleh Iwa Kusuma Sumantri, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian kasus 17 Oktober 1952. Akhirnya TNI AD pun menyelesaikan permasalahan ini ini sendiri melalui penandatanganan Piagam Yogya pada 17 Februari 1955 tanpa kehadiran Iwa Kusuma Sumantri (Muhaimin, 1982: 75). Hal ini menunjukkan ketidaksukaan TNI AD terhadap tindakan Iwa Kusuma Sumantri sebagai Menteri Pertahanan.
Kesalahan lain yang dilakukan oleh Iwa Kusuma Sumantri sebagai Menhan adalah terkait dengan polemik pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Kolonel Bambang Sugeng. Pengangkatan ini terjadi pada tanggal 27 Juni 1955 dan ditentang oleh Kolonel Zulkifli Lubis yang didukung oleh mayoritas perwira AD. Para perwira tersebut menolak hadir saat upacara pelantikan sehingga posisi Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD dianggap tidak sah. (Kroef, 1956: 130).
Presiden Sukarno melalui Menhan Iwa Kusuma Sumantri pun memecat Kolonel Zulkifli Lubis dari semua posisinya di TNI AD, namun Kolonel Zulkifli Lubis tidak bergeming. Ia menyatakan bahwa seluruh Komandan Teritorium mendukungnya. Hal inilah yang kemudian membuat kegaduhan dan polemik antara pimpinan TNI AD dengan pemerintah yang bersikukuh dengan keputusannya masing-masing. Partai-partai pun juga ikut menentang keputusan pemerintah ini yang membuat mereka menarik perwakilannya dari kabinet (Muhaimin, 1982: 81). Permasalahan ini pun akhirnya membuat Kabinet Ali I jatuh sebulan kemudian.
Setelah Kabinet Ali menyerahkan mandatnya pada tahun 1955, Iwa Kusuma Sumantri sempat vakum dari kegiatan politik. Pada tahun 1958, ia diangkat menjadi Rektor Universitas Padjadjaran di Bandung hingga tahun 1961. Selama menjabat sebagai rektor, ia melakukan banyak perubahan seperti menghapus sistem perpeloncoan dan mengusulkan Undang-Undang Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ia juga dikukuhkan sebagai seorang Guru Besar sesuai dengan bidang keahliannya (Mirnawati, 2012: 276-277).
Pada tahun 1961, Iwa Kusuma Sumantri diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang merupakan bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selama menjabat, Iwa Kusuma Sumantri melahirkan dua kebijakan yang dianggap cukup berlebihan yaitu peremajaan di kalangan pengajar karena banyak dosen dan rektor yang terlalu tua serta pembersihan tenaga-tenaga pengajar yang masih berjiwa Belanda karena dianggap tidak sesuai dengan alam kemerdekaan.
Iwa Kusuma Sumantri juga menolak untuk memberhentikan beberapa siswa yang gagal menyelesaikan studinya karena ia menganggap Indonesia sedang dalam masa pembangunan nasional sehingga memerlukan tenaga ahli sebanyak-banyaknya dan cenderung menyalahkan institusi pendidikan (Thomas, 1963: 261). Kebijakan tersebut menimbulkan reaksi yang cukup besar sehingga Presiden Sukarno pun terpaksa memindahkan posisi Iwa Kusuma Sumantri ke posisi Menteri Negara dari tahun 1962 sampai 1966.
Sejak tahun 1966, Iwa Kusuma Sumantri pensiun dari semua jabatan politik dan pemerintahan. Ia kemudian aktif menulis berbagai buku yang berjumlah Sembilan buah. Diantaranya adalah Ilmu Hukum Keadilan, Revolusinalisasi Hukum Indonesia, Sejarah Revolusi Indonesia, Ke Arah Perumusan Konstitusi Baru, Pengantar Ilmu Politik, Pokok-Pokok Ilmu Politik, dan Pemberontakan 30 September. Selain itu masih ada naskah otobiografi dan naskah Islam di Indonesia yang belum sempat diterbitkan (Sudarmanto, 2007: 369).
Ditengah kesibukannya sebagai penulis, penyakit jantungnya kambuh pada bulan September 1971. Iwa Kusuma Sumantri sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 27 September 1971 pukul 21.07 WIB (Mirnawati, 2012: 276-277). Sebelum wafat, Iwa Kusuma Sumantri berpesan kepada keluarga agar dirinya tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Atas dasar inilah akhirnya Iwa Kusuma Sumantri dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak. Jauh setelah kematiannya, tepatnya pada tahun 2002 Iwa Kusuma Sumantri baru mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia dari Pemerintah RI. Hal ini terjadi karena hubungan antara Iwa Kusuma Sumantri dengan Tan Malaka dan hal-hal berbau komunis lainnya yang membuat Pemerintah Orde Baru tidak menganugerahkannya gelar pahlawan (Adam, 2009: 22).
Iwa Kusuma Sumantri merupakan tokoh yang sering dituduh sebagai tokoh komunis. Dirinya yang pernah menetap dan memiliki keluarga di Rusia, kedekatannya dengan tokoh komunis seperti Semaun dan Tan Malaka, hingga campur tangannya ke dalam internal TNI AD sewaktu ia menjabat Menhan membuat Iwa Kusuma Sumantri dianggap sebagai komunis (Adam, 2009: 25). Fakta diatas memang menunjukkan bahwa sosok Iwa Kusuma Sumantri lekat dengan komunisme namun bukan berarti ia adalah seorang penganut komunis. Bahkan Presiden Sukarno pun pernah membela Iwa Kusuma Sumantri saat dirinya dituduh sebagai komunis oleh pihak militer. Presiden Sukarno menyatakan bahwa Iwa Kusuma Sumantri adalah seorang yang ‘nasionalis-revolusioner’ (Adam, 2009: 25).
Penulis: Satriono Priyo Utomo
Instansi: Overseas Research Assistant, National University Of Singapore
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Adam, Asvi Warman (2019) Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Djoyohadisuryo, Ahmad Subardjo (1978) Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Gunung Agung.
Ingleson, John (1993) Perhimpunan Indonesia and The Indonesian Nationalist Movement. Jakarta: Temprint.
Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Kroef, Justus M. van der. "A New Course in Indonesia." International Journal , Spring, 1956, Vol. 11, No. 2 (1956): 129-137. http://www.jstor.com/stable/40198207.
Mirnawati (2012) Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta: CIF.
Muhaimin, Yahya (1982) Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Poeze, Harry A (2014) Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: KPG.
Said, Salim. "The Political Role of the Indonesian Military: Past, Present and Future." Asian Journal of Social Science (1987): 16-34.
Sudarmanto, J.B (2007) Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Sumantri, Iwa Kusuma (2002) Sang Pejuang Dalam Gejolak Sejarah. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
Thomas, R. Murray. "Guided Study in Indonesian Universities: The Conflict over a Major Change in the Pattern of Higher Education." The Journal of Higher Education, Vol. 34, No. 5 (1963): 256-262. https://www.jstor.org/stable/1980283.