Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah satuan bersenjata bentukan Raymond Pierre Paul Westerling (1919-1987), bekas komandan pasukan Belanda di Indonesia. Berbasis di Jawa Barat, APRA mulai diketahui keberadaannya secara luas pada akhir 1949 di bawah organisasi Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI).
Perlu ditegaskan bahwa karir militer Westerling di Indonesia memang penuh dengan kisah kekerasan. Sebelum kasus APRA, sejarah mencatat satu peristiwa Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, seiring penugasannya di wilayah tersebut pada 1946 untuk melumpuhkan semangat perjuangan kemerdekaan yang berkobar di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Dia datang sebagai komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen (DST), yang berjumlah 150 orang prajurit. Dalam melaksanakan tugasnya, dia telah bertindak sebagai algojo dan pasukannya telah membunuh kurang lebih 40.000 orang rakyat yang tidak berdosan di Sulawesi Selatan selama kurun waktu tiga bulan.
Tidak lama setelah masa dinas di Sulawesi Selatan berakhir, Kapten Westerling mendapat tugas militer baru dengan memimpin pasukan khusus di Jawa Barat dengan anggotanya berjumlah 1.200 orang. Di sini, Westerling dan pasukannya terlibat dalam pembunuhan masyarakat tanpa alasan, antara lain di Cikalong, Tasikmalaya, dan Cirebon, yang kemudian membuatnya dipecat dari angkatan tentara Belanda pada Nopember 1948 (Dinas Sejarah Militer AD 1973: 218).
Sejak itu, alih-alih pulang ke negaranya, Westerling menetap di Jawa Barat sebagai pengusaha, dan mulai menjalankan petualangannya di dunia ketentaraan (Sumantri 2006: 82). Pemecatannya sebagai tentara justru membuat Westerling lebih leluasa melakukan kehendaknya melawan Republik Indonesia. Berbekal jaringannya yang kuat dengan bekas anak buahnya, khususnya mantan anggota KNIL, dia membentuk satuan bersenjata untuk gerakan bawah tanah yang dinamainya Angkatan Perang Ratu Adil. Beranggotakan sebanyak 8000 orang lengkap dengan senjata, Westerling melancarkan gerakan dengan tujuan akhir menggulingkan pemerintah Soekarno.
Pada awalnya, pendorong terbentuknya APRA adalah ketidakpuasan anggota KNIL (Koninklijk Nederland-Indische Leger) terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) khususnya terkait peresmian Republik Indonesia Serikat (RIS). Terlebih lagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) bersamaan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kondisi tersebut tidak dapat diterima satu sama lain, karena mereka pernah berhadapan dalam pertempuran pada masa perang kemerdekaan.
Konflik lama yang tidak bisa dihindarkan, justru diperparah dengan sambutan yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI. Dengan situasi tersebut, Westerling terus menyebar hasutan kepada kaum oportunis guna menyudutkan pemerintah RIS. Dia bahkan mulai menyusun kekuatan dengan menarik bekas anggota KNIL dan eks pasukan DST. Pada 22 Januari 1950, Westerling bersama pasukannya mendekati Bandung petang. Diperkuat resimen gerak cepat KL yang berpangkalan di Bandung, dia melancarkan satu gerakan yang dikenal dengan “Kudeta 23 Januari”. Memiliki pasukan berjumlah 800 orang bersenjata berat, dan diperkirakan 500 diantaranya adalah mantan serdadu KNIL, dia secara membabi buta menembak anggota Divisi Siliwangi, mengakibatkan tewasnya 94 serdadu TNI dan puluhan warga sipil. Sedangkan di pihak APRA, tak ada seorang pun yang menjadi korban. Penyerangan ini berakhir sekitar pukul 05.00 sore, ditandai dengan kembalinya pasukan APRA ke Cimahi.
Setelah mendapatkan bujukan Major Jenderal Engles, Westerling dan pasukannya meninggalkan kota tersebut. Biaya operasional pasukan APRA sendiri diperoleh atas keterlibatan para pengusaha perkebunan Eropa dan Tionghoa dikarenakan persemian kedaulatan Republik Indonesia Serikat, sehingga mereka berpotensi besar terancam angkat kaki dan kehilangan usaha perkebunan mereka seperti di masa pendudukan Jepang. Sehingga mereka tidak ragu untuk membiayai pasukan Westerling dengan harapan keamanan mereka terjamin. Sumber keuangan Westerling juga mendapatkan dukungan dari The Big Five (Lindeteves, Javastaal, Gio Wehry, Borsumij, dan BPM) serta Landbouwsyndicaat. Mereka terkenal sebagai perusahaan-perusahaan Besar milik orang Belanda dan Tionghoa (Matanasi 2017).
Leon Nicolaas Hubert Yoeslager merupakan sponsor utama gerakan APRA. Dia membantu Westerling dalam menyediakan dana yang digalang dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat dan perusahaan besar Belanda yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Isnaeni 2014). Selain itu, berbagai macam masalah yang ditimbulkan Westerling dianggap sangat mengganggu hubungan Belanda-Indonesia. Bangsa Indonesia merasa dihianati karena keterlibatan beberapa perwira angkatan bersenjata Belanda, dan mengungakapkan bahwa komandan tertinggi angkatan bersenjata Belanda benar-benar lalai dalam mempertahankan pengawasan atas pasukannya sendiri. Keyakinan bahwa beberapa pejabat tertentu dari pemerintahan Pasundan telah mengadakan “perjanjian” dengan Westerling dan kenyataan bahwa sejumlah anggota pemerintah Pasundan yang berkebangsaan Belanda membelot kepada Westerling, benar-benar merusak kedudukan Federalis.
Pada 8 Februari kabinet RIS membuat rancangan undang-undang darurat mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah Pasundan kepada Komisaris Negara yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dengan dorongan tuntutan dasar yang meluas oleh para pemimpin RIS agar para pemimpin pemerintahan Pasundan diganti. Keesokan harinya Wiranatakusuma menyerahkan kekuasaannya kepada Sewaka, komisaris untuk Pasundan yang baru ditunjuk oleh pemerintah RIS (Kahin 2013: 636). Peristiwa ini membuat Menteri Pertahan RIS Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan pengerahan seluruh pasukan Siliwangi di Jawa Barat ditambah pasukan TNI di Jawa Tengah untuk menumpas pergerakan pasukan APRA. Kolonal Tb. Simatupang kemudian mengintruksikan Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin meyiapkan sejumlah pasukan untuk melakukan serangan balasan terhadap pasukan APRA di Bandung. Operasi militer TNI ini berhasil menghentikan pasukan APRA yang akan menuju Jakarta. Pada 27 Januari 1950 Van der Meulen pemimpin pasukan APRA ditangkap di Cianjur. Dan Westerling melarikan diri 22 Februari 1950 ia menuju pelabuhan Tanjung Priuk dan pergi ke Singapura. Pada April 1952 Westerling berhasil pulang ke Belanda. Dari peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh APRA ini, maka pemerintah RIS telah melakukan pengkapan terhadap Anwar Tjokroaminoto, Suriakartalegawa, Abikusno Tjokrosujono, Arudji Kartawinata, Ritman, Kozak, Mr. Dr. J. Ozinga, R. Jusuf, R. Djanakum, Nj. Malia Sunarjo, Suhari, dan para pemberontak lainnya (Suherly 1970: 59).
Penulis: Satrio priyo utomo
Referensi
Anwar, R. (2010). Napak Tilas Ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Departemen Sejarah Angkatan Darat. (1972). Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat. Bandung: Dinas Sejarah Militer.
Isnaeni, Hendri F. “Leon Jungschlager Mendukung Westerling Sampai Kartosoewirjo” https://historia.id/politik/articles/leon-jungschlager- mendukung-westerling-sampai-kartosoewirjo-DE54D. (diakses pada 21 April 2022).
Kahin, G. M. (2013). Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Matanasi, Petrik. “Westerling Memberontak Bermodalkan Duit Pengusaha” 26 November 2017, https://tirto.id/westerling-memberontak-bermodalkan-duit-para-pengusaha-chu3. (diakses pada 21 April 2022).
M.C.Ricklef. (2011). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Smail, John R.W. (2011). Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Depok: Komunitas Bambu
Suherly, T. (1970). Sekitar Negara Pasundan. Yogyakarta: Seminar Sejarah Nasional II.
Sumantri, R. (2006). Cuplikan Sejarah Penting Dalam Periode Perjuangan Merebut Dan Membela Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949. Bandung: Tugas Prakasa Siliwangi.
Zed, M. (1997). Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan. Jakarta: PT Utama Grafiti.