Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

From Ensiklopedia

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah kelompok bersenjata yang dibentuk sebagai respons terhadap kesepakatan Belanda dan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) atas seluruh wilayah kepulauan Indonesia, kecuali Papua (Ricklefs 2001: 284-285). Negara federal yang dibentuk sebagai hasil kompromi antara Indonesia dan Belanda terdiri atas 16 negara bagian dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang bervariasi, dan harus menyelesaikan berbagai masalah, termasuk di antaranya adalah pembentukan angkatan bersenjata (Poesponegoro, Notosusanto, Soejono dan Leirissa 2010: 303). Selain harus menyelesaikan persoalan keuangan, RIS juga membentuk angkatan bersenjata yang disebut Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Angkatan bersenjata ini dibentuk dengan menggabungkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tentara Belanda (Koninklijke Nederlands Indische Leger, KNIL). Dari unsur KNIL, terdapat sekitar 33 ribu tentara dengan 30 orang perwira.  Namun, peleburan kedua angkatan perang yang sebelumnya berposisi sebagai lawan satu sama lain menimbulkan masalah psikologis. Pihak TNI berkeberatan dengan masuknya kekuatan militer bekas musuhnya ke dalam kekuatan tentara nasional yang baru. Sementara pihak KNIL menuntut posisi sebagai aparat negara bagian dan menolak kehadiran TNI di dalam negara federal tersebut.

Respons ketidaksetujuan ini muncul di Bandung dalam bentuk gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond "Turk" Westerling. Kelompok ini menuntut kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan agar diakui sebagai sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Negara ini.  Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling bersama 800 orang merebut beberapa tempat penting di Bandung. Namun, Komisaris Tinggi Belanda dan komandan garnisun Belanda di Bandung mendesak kelompok ini agar mundur di hari yang sama. Di hari berikutnya, Westerling berencana membunuh beberapa orang menteri di kabinet RIS. Pasukan Westerling yang berhasil menyusup di Jakarta berhasil dipukul mundur.

Kegagalan ini mendorong Westerling untuk meninggalkan Indonesia dengan cara menyamar. Pemberontakan APRA tersebut berakibat pada ditangkapnya beberapa pemimpin Negara Pasundan dan mundurnya Wali Negara, R.A.A. Wiranatakusumah (Poesponegoro, Notosusanto, Soejono dan Leirissa 2010 : 304; Ricklefs 2001: 285). Pemerintah RIS mengangkat Sewaka sebagai Komisaris RIS untuk Negara Pasundan. Pengangkatan ini tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat Jawa Barat yang menginginkan pembubaran negara federal ini.  Pada tanggal 8 Maret 1950, masyarakat Jawa Barat melakukan unjuk rasa yang menuntut pembubaran Negara Pasundan dan penggabungan seluruh wilayah Jawa Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia.

Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

M. C. Ricklefs. 2001. A history of modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave.

Poesponegoro, Marwati Djoened  and Nugroho Notosusanto (editor umum); R.P. Soejono dan R. Z. Leirissa (editor umum pemutakhiran). 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI, zaman Jepang dan zaman Republik (± 1942-1998), edisi pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka.