Mohammad Hatta

From Ensiklopedia
Revision as of 16:58, 26 July 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Soekarno" to "Sukarno")

Mohammad Hatta atau dikenal juga dengan panggilan Bung Hatta adalah Wakil Presiden Pertama RI dan salah satu tokoh proklamator RI bersama Ir. Sukarno. Beliau dikenal dengan sikap hidup santun, hemat, sederhana dan jujur. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 12 Agustus 1902 dari pasangan Angku Bule Syekh Batu Hampar yang juga dikenal dengan sebutan Haji Muhammad Djamil dan ibunya Siti Saleha. Nama Bung Hatta sesungguhnya adalah Muhammad Athar, yaitu sebuah kata Arab yang artinya harum (minyak wangi). Ayah Bung Hatta adalah keturunan Ulama’ besar di Tanah Minangkabau dan berasal dari Batu Hampar dekat Payakumbuh. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga kaya Bukittinggi, anak seorang pedagang, Ilyas Bagindo Marah

Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ketika beliau berumur 7 bulan ayahnya meninggal dunia dan ibunya kemudian menikah kembali dengan Agus Haji Ning yang merupakan seorang pedagang dari Palembang. Dari pernikahan ini, ibunda Mohammad Hatta dengan Agus haji Ning dikaruniai empat orang anak yang semuanya perempuan.

Pendidikan formal Hatta dimulai pada awal umur lima tahun, saat ia sudah masuk sekolah taman kanak-kanak atau Frobel School, dan setahun kemudian ia bersekolah di Europese Lagere School (Sekolah Rakyat) di Bukittinggi selama dua tahun. Pagi ia belajar di sekolah tersebut, sedangkan sore hari ia belajar bahasa Belanda, karena cita-cita orang tuanya kelak Bung Hatta akan disekolahkan di Rotterdam, Belanda

Hatta dikenal sebagai anak yang cerdas. Di tahun 1913, setelah lulus ELS, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid lager) di Padang. Sesudah itu ia memasuki Handels Middelbare School (Sekolah Menengah Ekonomi) di Jakarta. Tamat dari sekolah ini, pada tahun 1921, ia berangkat ke negeri Belanda untuk mengikuti kuliah di Handels Hogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam. Semula ia memilih jurusan ekonomi perdagangan, kemudian ia pindah ke jurusan ekonomi kenegaraan. Akibat perpindahan jurusan dan kegiatan dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Hatta terlambat menyelesaikan kuliah. Baru pada tahun 1932 ia memperoleh gelar sarjana ekonomi.

Ketika masih sekolah di MULO, Hatta sudah aktif dalam organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) cabang Padang. Di Jakarta, ia diangkat sebagai bendahara JSB Pusat sekaligus mengurus penerbitan majalah Jong Sumatera. Kegiatan dalam organisasi tersebut dilanjutkan Hatta di negeri Belanda dalam Indische Vereeniging (IV) atau Perhimpunan Hindia (PH) yang merupakan organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda yang berdiri pada tahun 1908. IV  berdiri atas prakarsa  Soetan Kasajangan dan R.M. Noto Soeroto

Mulanya IV merupakan organisasi mahasiswa bersifat sosial-budaya yang menaungi para pemuda Indonesia di negeri Belanda. IV mulai meluaskan wawasannya kepada persoalan Tanah Air dan memasuki bidang politik sejak bergabungnya Suwardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan E.F.E Douwes Dekker tahun 1913, pada saat tokoh Tiga Serangkai tersebut diasingkan di Belanda. Kedatangan Tiga Serangkai  mulai mempengaruhi organisasi ini. Para mahasiswa Indonesia mulai memikirkan mengenai masa depan Tanah Kelahirannya.

Sejak tiba di Negeri Belanda, Mohammad Hatta mulai aktif di organisasi IV. Ia berperan sebagai penanggung jawab majalah dwi bulanan Hindia Poetra, yang memiliki 16 halaman dengan biaya langganan seharga 2,5 gulden setahun. Pada edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktik sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani.

Dari kedudukan sebagai anggota biasa, ia dipercayai menjadi bendahara yang merangkap anggota dewan redaksi majalah Hindia Poetra (kemudian menjadi Indonesia Merdeka), dan akhirnya selama empat tahun berturut-turut (1926-1930),  menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (PI). Perubahan nama Indische Vereeniging (IV) menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) terjadi pada tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo menjadi ketua.

Perjuangan politik menentang penjajahan Belanda dimulai Hatta melalui PI. Sebagai ketua PI, ia menggariskan haluan politik PI, yakni non kooperasi dan mencanangkan semboyan “Indonesia merdeka sekarang juga”. Diluar PI, Hatta juga aktif dalam organisasi yang bertujuan  menghapuskan penjajahan, seperti Liga Menentang Kolonialisme. Dalam kongres Liga di Brussel, ia menguraikan perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pada akhir tahun 1926 dan awal 1927 di beberapa tempat di Indonesia meletus pemberontakan yang digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan ini dengan mudah ditumpas pemerintah dan PKI dibubarkan. Samaun, salah seorang tokoh PKI, melarikan diri ke luar negeri. Di negeri Belanda, ia mengadakan perundingan dengan Hatta yang akhirnya melahirkan Konvensi Semaun-Hatta. Isinya yang utama ialah, PKI akan menyerahkan semua miliknya kepada Partai Nasional yang akan didirikan oleh Hatta. Akibat konvensi ini, Pemerintah Belanda menuduh Hatta sudah menjadi komunis dan menyiapkan pemberontakan melawan pemerintah. Berdasarkan tuduhan itu, ditambah dengan kritik-kritiknya yang tajam terhadap pemerintah dalam beberapa tulisannya di majalah Indonesia Merdeka, pada tanggal 25 September 1927 ia ditangkap dan dipenjarakan. Tokoh PI lainnya yang juga dipenjarakan ialah Datuk Pamuneak, Ali Sastroamijoyo, dan Abdul Majid Joyodiningrat.

Selama lima bulan Hatta dan kawan-kawannya meringkuk di dalam penjara. Mereka kemudian diadili. Pada sidang pengadilan (22 Maret 1928), Hatta membacakan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Dalam pembelaan itu, ia mengupas praktik-praktik kolonial yang dijalankan Belanda di Indonesia. Ia mengatakan bahwa PI memang berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, tetapi perjuangan itu dilakukan melalui saluran politik, bukan dengan kekerasan. Pengadilan tidak dapat membuktikan kesalahan Hatta dan kawan-kawannya, sehingga mereka dibebaskan.

Pada akhir tahun 1929, Ir. Sukarno, ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap pemerintah dan dipenjarakan dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak. Mr. Sartono, ketua muda PNI, membubarkan partai dan mendirikan partai baru, yakni Partindo. Tindakan Sartono tidak disetujui sebagian anggota PNI. Mereka menamakan diri “Golongan Merdeka”. Berdasarkan saran Hatta, Golongan Merdeka mendirikan partai baru, yakni Pendidikan Nasional Indonesia yang lebih dikenal sebagai PNI baru. Seperti PNI (lama) dan Partindo, PNI baru juga berhaluan non-kooperasi. Untuk memperkuat PNI baru, Hatta meminta Syahrir pulang lebih dulu ke Indonesia. Hatta baru kembali pada 1932. Ia meletakkan dasar perjuangan bagi PNI-baru. Intinya adalah, mendidik rakyat dalam hal-hal politik dan sosial dengan memperhatikan asas-asas kedaulatan rakyat.

Pada tahun 1930-an Pemerintah Belanda menjalankan politik represif. Partai-partai politik, baik yang berhaluan non-kooperasi maupun kooperasi, dibungkam dengan dikeluarkannya Vergader Verbod (larangan mengadakan rapat). Tokoh-tokoh pergerakan nasional ditangkap. Sukarno yang sudah dibebaskan pada akhir 1931 dan langsung memimpin Partindo, ditangkap kembali pada Juli 1933. Hatta dan Syahrir serta beberapa tokoh PNI baru lainnya ditangkap pada Februari 1934. Setelah mendekam dalam penjara selama hampir satu tahun, pada awal tahun 1935 Hatta dan kawan-kawannya dibuang ke Digul, Irian. Hatta dan Syahrir kemudian dipindahkan ke Banda Naira. Pada Februari 1942, kurang lebih satu bulan sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, keduanya dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat. Sesudah Jepang berkuasa, mereka dibebaskan. Walaupun membenci fasisme, Hatta tidak mungkin menolak sama sekali tawaran Jepang. Ia bekerja sebagai penasihat Pemerintah Pendudukan Jepang. Dalam jabatan ini, ia berusaha mencegah diberlakukannya peraturan-peraturan yang dapat melukai perasaan rakyat, baik yang bersifat agama maupun norma-norma sosial.

Pada tahun 1943, Pemerintah pendudukan Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Hatta diangkat sebagai pemimpin Putera di samping Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Manyur, dan Sukarno. Badan yang dibentuk Jepang untuk kepentingan perang itu, mereka manfaatkan untuk tetap menghidupkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat. Jepang yang mengetahui siasat ini akhirnya membubarkan Putera dan membentuk badan baru, yakni Jawa Hokakai yang langsung dipimpin oleh orang Jepang.

Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso mengucapkan janji bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan. Sehubungan dengan janji itu, pada bulan Mei 1945 dibentuk Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia; BPUPKI). Dalam BPUPKI ini Hatta duduk sebagai anggota panitia kecil yang bertugas menyusun undang- undang dasar.

Setelah tugas-tugas BPUPKI selesai, badan ini dibubarkan dan dibentuk badan baru, yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sukarno diangkat sebagai ketua dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada 9 Agustus 1945, dua hari setelah PPKI dibentuk, Sukarno, Hatta, dan dr. Rajiman Wediodiningrat (bekas ketua BPUPKI) berangkat ke Dalat, Vietnam, menemui Jenderal Terauchi, Panglima Angkatan Perang Jepang di seluruh Asia Tenggara. Terauchi mengatakan bahwa kemerdekaan sudah dapat diumumkan bila persiapan sudah matang.

Waktu mereka tiba kembali di Jakarta, Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Para pemuda yang sudah mengetahui berita itu mendesak Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Sukarno, dan juga Hatta, menolak. Mereka ingin mengadakan rapat dengan PPKI terlebih dulu. Akibat penolakan itu, dinihari tanggal 16 Agustus mereka dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok, dekat Karawang. Namun para pemuda tetap tidak berhasil mendesak Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan di tempat itu. Sehabis Maghrib, atas usaha Ahmad Subarjo, mereka kembali ke Jakarta. Malam itu juga diadakan rapat dengan anggota PPKI yang juga dihadiri oleh wakil-wakil pemuda, di rumah Laksamana Muda Maeda yang bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Teks proklamasi pun disusun oleh Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo. Tepat pukul 10.00 pada 17 Agustus 1945 teks proklamasi itu dibacakan oleh Sukarno didampingi oleh Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Esoknya, 18 Agustus 1945, sidang PPKI secara aklamasi memilih Sukarno dan Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI). Jabatan sebagai wakil presiden dipangku Hatta sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 1 Desember 1956, diselingi oleh periode singkat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Desember 1949 sampai Agustus 1950. Dalam memegang jabatan sebagai wakil presiden, Hatta pernah pula merangkap jabatan sebagai perdana menteri dan sekaligus menteri pertahanan (Januari 1948 sampai Desember 1949).

Dengan proklamasi kemerdekaan, mulailah periode baru dalam perjuangan bangsa Indonesia, bukan lagi merebut kemerdekaan, tetapi mempertahankan kemerdekaan, khususnya menghadapi Belanda yang masih berusaha untuk menguasai kembali Indonesia. Untuk menghadapi Belanda, Pemerintah RI menempuh jalan diplomasi. Pada Maret 1947 ditandatangani Perjanjian Linggarjati. Untuk menggalang kekuatan di Sumatera, pada Juli 1947 Hatta berkunjung ke Bukittinggi. Dari sini ia berangkat ke India menemui Gandhi dan Nehru dalam rangka mencari dukungan politik. Pada waktu pulang dari India, Belanda sudah melancarkan agresi militer. Selama agresi militer itu dan beberapa bulan sesudahnya, Hatta berkedudukan di Bukittinggi.

Sementera itu, kabinet Amir Syarifuddin jatuh akibat diterimanya persetujuan Renville (17 Januari 1948). Hatta kembali ke Yogya untuk membentuk kabinet baru. Pada akhir Januari 1948 terbentuk kabinet Presidensial dengan Hatta sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Salah satu program kabinetnya ialah melanjutkan perundingan dengan Belanda atas dasar Renville. Sementara itu, kabinetnya juga dirongrong oleh golongan kiri yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin. Mereka menuntut agar persetujuan Renville dibatalkan, padahal persetujuan dibuat ketika Amir menjadi Perdana Menteri. Program lain yang dijalankan kabinet Hatta ialah reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang. Pengurangan jumlah anggota angkatan perang dirasa perlu untuk menghemat pembiayaan. Anggota-anggota yang terkena rasionalisasi disalurkan ke bidang-bidang pekerjaan yang produktif.

Perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN) yang dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PPB), tidak berjalan dengan lancar. Sebenarnya, Hatta banyak mengalah mengikuti kemauan Belanda. Ia bersedia mengakui kekuasaan Belanda dalam pemerintahan sementara (interim) sebelum terbentuknya negara Indonesia Serikat. Akan tetapi, ia bersikukuh mempertahankan eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemerintahan sementara. Sebaliknya, Belanda menuntut agar TNI dibubarkan dan hanya mereka yang lulus dalam seleksi yang akan diterima dalam angkatan perang pemerintahan sementara. Akibatnya, perundingan buntu sama sekali.

Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer untuk kedua kalinya. Ibu kota RI, Yogyakarta, mereka duduki pada hari itu juga. Sebelumnya, kabinet masih sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tidak akan meninggalkan ibu kota. Dengan cara itu mereka masih akan dapat berhubungan dengan KTN dan melalui badan ini membuka kembali perundingan dengan Belanda. Akibatnya, mereka ditawan Belanda dan diasingkan ke luar Jawa. Hatta dan beberapa menteri diasingkan di Bangka, sedangkan Presiden Sukarno dan Syahrir di Prapat, Sumatera Utara, namun kemudian dipindahkan ke Bangka.

Resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB dan aksi-aksi gerilya TNI yang semakin meningkat, memaksa Belanda untuk membuka perundingan kembali dengan RI. Perundingan ini diawasi oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI), sebuah badan yang dibentuk oleh PBB sebagai pengganti KTN yang akhirnya melahirkan pernyataan Roem-Roijen (7 Mei 1949). Intinya adalah, pemimpin-pemimpin RI yang ditawan Belanda akan dibebaskan dan selanjutnya akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada 6 Juli 1949 Presiden Sukarno, wakil Presiden Hatta dan lain-lain kembali ke Yogya.

Sesuai dengan isi pernyataan Roem-Roijen, pada pertengahan Agustus 1949 Hatta berangkat ke Negeri Belanda memimpin delegasi RI untuk menghadapi Belanda dalam KMB. Salah satu keputusan KMB ialah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas RI dan negara-negara federal yang dibentuk oleh Belanda. Pada tanggal 20 Desember 1949 Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS, sedangkan Hatta sebagai Perdana Menteri. Dalam kedudukan sebagai Perdana Menteri RIS, Hatta menandatangani naskah “Pengakuan Kedaulatan” oleh Belanda terhadap Indonesia pada 27 Desember 1949 di Amsterdam.

RIS tidak berlangsung lama. Pada 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Hatta pun kembali memegang jabatan sebagai wakil Presiden. Pada tanggal 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri. Akan tetapi, ia tetap menyampaikan saran-saran untuk mengatasi berbagai kemelut yang menimpa negara dan bangsa. Ia ikut dalam Musyawarah Nasional dan Musyawarah Nasional Pembangunan yang diadakan dalam rangka meredakan hubungan yang tegang antara Pemerintah Pusat dan beberapa daerah. Hatta juga mengadakan “koreksi” terhadap tindakan-tindakan Presiden Sukarno yang dinilainya menjurus ke arah diktator. Koreksi itu disampaikan dalam tulisan berjudul “Demokrasi Kita”.

Tahun 1969 oleh Presiden Soeharto ia diangkat sebagai penasihat komisi VI tentang masalah korupsi, dan tahun 1972 ia menerima tanda jasa bintang republik. Pada tahun berikutnya 1975 ditunjuk menjadi ketua panitia lima atau panitia pancasila yang dibentuk atas anjuran presiden dan bertugas melakukan penafsiran tunggal mengenai Pancasila.

Bung Hatta selama hidupnya tidak hanya dikenal sebagai negarawan politisi, beliau juga dikenal sebagai negarawan yang banyak mengungkapkan pemikiran pemikiran hebatnya melalui tulisan dan pidato terutama sejak ia memimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam Belanda,

Bung Hatta bercita-cita sekali membina perekonomian  Indonesia dengan dasar koperasi. Minatnya terhadap koperasi bertambah ketika melihat dan terjun langsung perkembangan di sana yang mampu menggalang kekuatan ekonomi golongan lemah dalam bersaing dengan perusahaan besar kapitalisme

Bung Hatta merupakan seorang yang produktif, aktif dan kecerdasan spiritual serta intelektual yang memadai, ia telah mengarah lebih dari 40 buah buku. Buku yang ditulis dan pertama kali diterbitkan tahun 1926 semasa di Den Haag Belanda berjudul “Economische Werelbouw En Matchtstegen Stellingen” dan karya lain yang terkenal adalah “Potrait of a Patriot” sedangkan karya-karya lain diantaranya adalah :

  1. L’ Indonesie et Son Problem de’t Independence (Indonesia dan Masalah Kemerdekaannya) tahun 1928
  2. Indonesia Merdeka (Indonesia Vrijs) tahun 1928
  3. Tujuan dan Politik PNI, tahun 1931. Bersamaan ini pula selama memimpin PNI baru, di Jakarta, ia sempat menulis buku dengan judul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme pada tahun 1934.


Di samping beberapa karya tersebut, ada banyak karya lain yang khusus membahas tentang ekonomi yang berupa artikel dan makalah serta naskah pidato yang telah disadur, dicetak dan diterbitkan ulang. Dari sekian karyanya, yang jadi momentum terpenting adalah pledoinya dihadapan pengadilan Den Haag, Belanda, pada tanggal 9 Maret 1928. Dan diantara salah satu sekian karya, merupakan cerminan sikap Bung Hatta dalam memahami dan melihat pertarungan ideologi kapitalisme dan sosialisme serta komunisme, yaitu pada karya yang diberi judul “Indonesche Vrijs” (Indonesia Merdeka).

Bung Hatta meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1980. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta, sesuai dengan amanatnya untuk dikuburkan di tengah-tengah rakyat. Pada tahun 1986, Pemerintah RI menganugerahi Hatta gelar Pahlawan Proklamator.

Penulis: Linda Sunarti


Referensi

Deliar Noer. Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2018.

Ingleson, J. (1988). Jalan ke pengasingan: pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Mohammmad Hatta.Memoir. Jakarta: PT Tintamas Indonesia 1979.