Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat dengan nama Mohammad Athar pada 12 Agustus 1902. Beliau wafat di Jakarta pada 14 Maret 1980. Ayah dari Mohammad Hatta adalah Haji Muhammad Jamil, seorang keturunan ulama Tariqat Naqsyabandiyah di Payakumbuh. Datuk (kakek) dari Mohammad Hatta, Syaikh Abdurrahman adalah seorang ulama besar di surau Batuhampar, sekitar 9 kilometer dari Payakumbuh. Hatta memanggil kakeknya, Ayah Gaek. Ketika Hatta berumur 8 bulan, Muhammad Jamil wafat. Hatta memiliki seorang kakak perempuan, Rafi’ah yang usianya terpaut sekitar dua tahun (Hatta 2014a: 18-19).
Siti Saleha, ibu dari Hatta berasal dari kalangan pedagang. Ayah dari Siti Saleha adalah Ilyas Bagindo Marah, salah seorang pedagang kaya di Bukittinggi (Abbas 2010:24). Pak Gaek adalah panggilan Hatta untuk Ilyas gelar Bagindo Marah. Setelah ayah dari Mohammad Hatta wafat, ibunya menikah lagi dengan Mas Agus Haji Ning, seorang saudagar asal Palembang. Hatta memiliki empat orang adik yang semuanya perempuan (Noer 1991: 16-17; Abbas 2010: 25; Noer 2012: 3-5).
Ketika Hatta berusia lima tahun, Pak Gaek akan memasukkan ke sekolah rakyat di Bukittinggi. Namun, Hatta belum dapat diterima karena usianya belum enam tahun dan ia belum dapat menjangkau telinga kirinya dengan tangan kanan di atas kepalanya. Pak Gaek kemudian memasukkan Hatta ke sekolah milik temannya, Ledeboer, seorang mantan tentara yang memiliki sekolah Belanda swasta. Pada pagi hari Hatta bersekolah dan sesudah magrib belajar mengaji di surau Inyik Djambek. Selain itu Hatta juga mengikuti pelajaran tambahan bahasa Inggris tiga kali seminggu (Penders 1981: 19, 24; Hatta 2014a: 30, 41).
Pada pertengahan tahun 1913, ketika Hatta duduk di kelas V, ia pindah sekolah ke Padang. Menjelang pertengahan tahun 1916, saat Hatta berusia 14 tahun, ia lulus ujian masuk HBS (Hogere Burger School), sekolah menengah Belanda untuk anak-anak Belanda, Tionghoa, elite Bumiputra. Ia pun bersiap-siap untuk bersekolah di Batavia. Namun, ibunya tidak mengizinkan karena menganggap Hatta masih terlalu muda dan berpendapat untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sekolah menengah pertama di Padang. Awalnya Hatta keberatan dengan rencana ibunya. Ia bahkan tidak mau melanjutkan sekolah dan melamar untuk bekerja di sebuah kantor pos. Pamannya membujuk Hatta untuk mengikuti keinginan bundanya. Hatta akhirnya bersekolah di MULO sampai tahun 1919 (Penders 1981: 27-28; Abbas 2010: 29; Hatta 2014a: 46-47).
Ketika bersekolah di MULO Padang, Hatta juga aktif dalam organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) cabang Padang dengan menjadi bendahara. Ketua JSB Padang saat itu dijabat oleh Anas Munaf dan Bahder Djohan sebagai Sekretaris. Kemudian Hatta menjadi Sekretaris menggantikan Bahder Djohan. Hatta juga merangkap sebagai bendahara. Pada masa ini Hatta banyak mengikuti pergerakan nasional. Terutama ketika para tokoh seperti Haji Agus Salim (1884-1954) dan Abdul Muis (1878-1958) ‘pulang kampung’ ke Padang (Hatta 1979: 113; Penders 1981: 37; Noer 1991: 21; Noer 2012: 15; Hatta 2014: 61). Selama bersekolah di MULO, Hatta juga aktif dalam perkumpulan sepakbola Swallow. Setelah lulus dari MULO pada bulan Mei 1919, Hatta memutuskan melanjutkan ke Sekolah Dagang Prins Hendrik School (PHS) di Batavia (Penders 1981: 37; Hatta 2014a: 70).
Pada masa bersekolah di Batavia, Hatta tinggal di rumah Raja Bangsawan, mantan inspektur kepala sekolah untuk wilayah Sumatra bagian selatan. Di waktu luang Hatta mengunjungi Mak Etek Ayub, pamannya. Mak Etek Ayub adalah salah seorang pedagang kaya yang setiap bulan membantu keuangan Hatta. Melalui Mak Etek Ayub, Hatta mulai berkenalan dengan buku. Mak Etek Ayub membawanya ke toko buku antik di sebelah Sositet Harmoni. Di sana Hatta dibelikan buku Staathuishoudkunde karya N.G. Pierson sebanyak dua jilid cetakan pertama, De Socialisten karya H.P. Quack sebanyak enam jilid, dan Het Jaar 2000 karya Bellamy. Buku-buku itu menjadi koleksi awal perpustakaan pribadi Hatta. Hatta kerap bertukar pikiran dengan Mak Etek Ayub dalam hal perekonomian dan perdagangan untuk melihat hubungan antara teori yang diperolehnya di sekolah dengan praktik perdagangan (Penders 1981: 44, 47; Hatta 2014a: 91).
Di Batavia, Hatta menjadi anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) tingkat pusat. Pada bulan Desember 1919 Hatta diangkat menjadi bendahara organisasi tersebut. Di antara teman dekat Hatta di JSB adalah Amir dan Bahder Djohan. Bahder Djohan, pelajar STOVIA sebenarnya sudah berteman dengan Hatta sejak di Padang. Bersama mereka, Hatta kerap mengunjungi dan berdiskusi dengan para tokoh dari Sumatra khususnya Minangkabau, seperti Landjumin Datuk Tumenggung, Haji Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Sutan Muhammad Zain (Noer 1991: 26). Dalam pertemuan dengan para tokoh tersebut, Hatta dan teman-temannya mendiskusikan berbagai hal. Dengan Haji Agus Salim misalnya, mereka mendiskusikan hubungan Islam dan politik. Pada saat berdiskusi dengan Abdoel Moeis yang ketika itu anggota Volksraad, mereka diceritakan kelemahan-kelemahan badan tersebut. Ketika berdiskusi dengan Sutan Muhammad Zain, seorang ahli bahasa yang aktif di bidang pendidikan dan Ketua Persatuan Guru Hindia-Belanda, mereka membahas kemungkinan dan kesulitan pengembangan bahasa Melayu. Pada 1921 Hatta lulus dari Sekolah Dagang PHS dan meraih peringkat tiga terbaik. Awalnya Hatta sempat tertarik untuk bekerja tetapi kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda (Noer 1991: 30; Hatta 2014a:111-119 ).
Rencana Hatta melanjutkan pendidikan ke Belanda awalnya tidak berjalan mulus karena persoalan biaya. Pamannya Ayub Rais yang penah menjanjikan bantuan untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda bangkrut. Hatta mencoba mengajukan beasiswa dengan menghubungi Duyveter, pegawai Departemen Pengajaran dan Agama. Hatta diminta menghubungi Z. Stokvis yang ketika itu menjadi Inspektur Perguruan Menengah dan perwakilan Van Deventer Stichting (Yayasan Van Deventer) Den Haag di Hindia. Stokvis menghubungi Yayasan Van Deventer dan. yayasan itu bersedia memberikan beasiswa setelah Hatta berada di Belanda sedangkan biaya transportasi tidak mereka tanggung. Dengan berbekal uang tabungan, bantuan dari Ayub Rais, sanak keluarga, dan kalangan pedagang di Padang yang tergabung dalam Sarikat Usaha, Hatta bertolak ke Belanda dari Teluk Bayur pada 3 Agustus 1921 dengan kapal ‘Tambora’ milik Rotterdamsche Lloyd (Rose 1991: 28; Hatta 2014a: 127-130, 135).
Hatta tiba di Belanda pada 5 September 1921. Di Belanda, Hatta kuliah di Handels Hoogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam. Hatta bertemu Nazir Datuk Pamuntjak, tokoh yang Hatta kenal ketika mendirikan Jong Sumatranen Bond di Padang. Hatta disarankan oleh Nazir untuk segera menjadi anggota Indische Vereeniging yang didirikan oleh mahasiswa asal Hindia-Belanda pada 1908. Sejak bulan September 1921 Hatta menjadi anggota Indische Vereeniging di Leiden. Pada minggu ketiga bulan September 1921 Hatta mulai berkuliah di Rotterdam (Penders 1981: 62-64; Hatta 2014a: 139-140, 149, 165).
Pada 19 Februari 1922 Indische Vereeniging mengadakan pertemuan di Den Haag. Dalam pertemuan tersebut dipilih ketua baru Indische Vereeniging yaitu Hermen Kartawisastra. Sementara Hatta ditunjuk sebagai bendahara (Penders 1981: 69; Hatta 2014a: 165). Salah satu keputusan penting dalam pertemuan tersebut adalah perubahan nama dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Kata ‘Indonesia’ sebagai nama tanah air untuk pertama kali digunakan oleh Perhimpunan Indonesia. Sebelumnya istilah yang dikenal adalah kata benda ‘Indonesier’ dan kata sifat ‘Indonesisch’ dari buku karya Professor Van Volenhoven. Hatta terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia pada bulan Januari 1926 hingga 1930 (Penders 1981: 72, 100; Hatta 2014a: 166).
Di samping aktif menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia, Hatta juga mengasuh majalah Hindia Poetra, majalah milik Perhimpunan Indonesia. Artikel Hatta yang dimuat majalah itu berjudul ‘De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder’ [Kedudukan ekonomi tani Indonesia yang menyewakan tanahnya] pada 1922. Artikel itu merupakan artikel ilmiah pertama Hatta. Oleh karena keseluruhan artikel mengenai sewa tanah tersebut tidak dapat dimuat dalam nomor pertama Hindia Poetra, maka bagian lainnya dengan judul ‘Eenige aantekeningen betreffende de grondhuurordonantie in Indonesië’ [Beberapa catatan tentang ordonansi sewa tanah di Indonesia] dimuat dalam nomor kedua (Hatta 2014a: 116-117, 167-169).
Selain artikel-artikel tersebut, jejak awal pemikiran ekonomi Hatta dapat terlacak dalam buku lainnya. Dalam buku peringatan untuk Perhimpunan Indonesia, Gedenkboek van de Indonesische Vereeniging in Nederland 1908-1923 (1924), Hatta menulis ‘Indonesië in de wereldgemeenschap’ [Indonesia dalam masyarakat dunia], mengenai posisi Indonesia yang menjadi ladang penghisapan pemerintah kolonial.
Dalam pertemuan 8 Februari 1925 nama Indonesische Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (Penders 1981: 96). Nama baru ini merupakan kelanjutan dari pemakaian nama Indonesia Merdeka untuk majalah Perhimpunan Indonesia yang sudah digunakan sebelumnya (Hatta 2014a: 226). Pemikiran politik Hatta yang berkembang dan menjadi salah satu strategi untuk mencapai Indonesia merdeka diperolehnya baik secara pribadi, maupun dalam perkembangan kolektif dari para mahasiswa yang belajar di Belanda.
Sikap politik Hatta yang menjunjung tinggi persatuan Indonesia dan perlunya kesadaran kerakyatan, kebangsaan, dan kesadaran bahwa Indonesia harus maju tercermin ketika Hatta terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia untuk kali pertama pada 1926 (Abbas 2010: 44). Dalam pidato inaugurasi sebagai ketua Perhimpunan Indonesia, Hatta menyampaikan pidato berjudul ‘Economische wereldbouw en machtstellingen [Struktur ekonomi dunia dan pertentangan kekuasaan]. Hatta menguraikan pertentangan penjajah kulit putih dengan kaum terjajah kulit berwarna. Oleh karena itu Hatta menyatakan perlunya perjuangan politik non-kooperatif (Hatta 2014a: 251).
Pada rapat Perhimpunan Indonesia akhir tahun 1926, Hatta mengusulkan perlunya Perhimpunan Indonesia mendirikan partai nasionalis baru di Indonesia. Partai itu merupakan ‘fotocopy’ dari Perhimpunan Indonesia dan harus melaksanakan politiknya untuk Indonesia. Sikap tegas dan nonkooperasi Hatta membawa Perhimpunan Indonesia menjadi organisasi yang antiimperialisme. Tujuan dari organisasi tersebut adalah untuk mencapai Indonesia merdeka dengan semboyan ‘Indonesia merdeka sekarang juga’ (Abbas 2010: 45-46). Sebagai ketua Perhimpunan Indonesia, Hatta kerap menghadiri berbagai pertemuan internasional para pemuda dari berbagai negeri terjajah. Ketika menghadiri kongres internasional anti imperialisme di Brussel pada 1927, Hatta berkenalan dengan Pandit Jawarhal Nehru, tokoh pergerakan India (Abbas 2010: 46).
Kegiatan Perhimpunan Indonesia yang lebih aktif dalam politik membawa Hatta dan para pengurusnya menjadi incaran polisi Belanda. Mereka ditangkap pada 23 September 1927 dengan tuduhan atas tiga perbuatan: menjadi anggota perhimpunan terlarang (komunis), terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang pemerintah Belanda. Mereka ditahan selama lima setengah bulan (Hatta 2014a: 288-289). Penangkapan dan penahanan tersebut memicu protes, termasuk di Hindia-Belanda yang dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia.
Dalam pidato pembelaannya di muka pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pledoi berjudul Indonesië Vrij [Indonesia Merdeka]. Dalam pembelaannya, Hatta menyampaikan berbagai informasi mengenai Perhimpunan Indonesia, asas dan tujuan Perhimpunan Indonesia, serta rencana politik dan ekonomi Perhimpunan Indonesia (Hatta 2014a: 290-296). Pada 22 Maret 1928, Hatta dan rekan-rekannya dibebaskan dari segala tuduhan. Keputusan mahkamah disambut gembira oleh beberapa kalangan di Belanda. Akhir tahun 1929, Hatta mengajukan pengunduran diri sebagai ketua Perhimpunan Indonesia. Pengganti Hatta adalah Abdullah Sjukur (Hatta 2014a: 314).
Pada 1927 berdiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di Indonesia yang disambut gembira oleh Hatta karena di antara pendirinya ada mantan anggota PI yang telah kembali ke tanah air. Pemimpin PNI adalah Sukarno. Ketika Sukarno ditangkap pada 1929, PNI dibubarkan oleh Sartono yang kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Tindakan Sartono membuat anggota PNI terpecah karena ada yang tidak setuju pembubaran partai. Mereka yang tidak setuju, mendirikan Golongan Merdeka. Hatta kecewa dengan tindakan Sartono dan mendukung Golongan Merdeka. Hatta bahkan mendorong mereka mendirikan partai baru yang kemudian diberikan nama Partai Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Atas saran Hatta partai ini menerbitkan majalah untuk melatih kader-kader baru. Nama majalahnya adalah Daulat Ra’jat yang selain menjadi nama majalah juga menjelaskan sikap majalah itu terhadap rakyat. Pemimpin partai PNI Baru awalnya adalah Sukemi kemudian diserahkan kepada Sjahrir yang setelah berunding dengan Hatta, pulang ke tanah air untuk membantu partai tersebut (Abbas 2010: 52-54).
Pada akhir bulan Juni dan Juli 1932 Hatta menempuh ujian doktoral dan ia dinyatakan lulus. Sebelum kembali ke Indonesia, Hatta berpamitan dengan Nyonya Henriette Roland Holst dan kawan-kawannya pengurus OSP (Onafhankelijke Sosialistische Partij)- Partai Sosialis Kiri. Jef Last salah seorang kawannya bertanya kepada Hatta apakah Hatta sebagai nonkooperator bersedia dicalonkan untuk duduk dalam Tweede Kamer (parlemen) Belanda. Hatta menjawab bahwa ia bersedia dicalonkan dan dipilih. Pada 20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Belanda kembali ke tanah air (Abbas 2010: 54; Hatta 2014b: 2-18).
Ketika kembali ke tanah air Hatta mengambil-alih pimpinan partai Pendidikan Nasional Indonesia dari Sjahrir dan aktif dengan kegiatan Pendidikan Nasional Indonesia. Salah satunya adalah memberikan kursus pergerakan. Oleh karena kedudukan pimpinan umum Pendidikan Nasional Indonesia berada di Bandung, maka Hatta harus membagi waktunya antara Bandung dan Batavia (Abbas 2010: 55; Hatta 2014b: 22). Pertemuan pertama Hatta dengan Sukarno terjadi di sebuah hotel di Jalan Pos Timur, Bandung. Sore hari Hatta mendatangi rumah Sukarno di Astana Anyar tetapi rupanya Sukarno tidak ada di rumah. Pada malam hari, Sukarno dan Maskun, salah seorang teman Sukarno berkunjung ke hotel tempat Hatta menginap. Mereka tidak membahas Partai Indonesia (Partindo) maupun Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Sukarno rupanya sungkan membahas urusan politik karena ada Haji Usman, kerabat Hatta (Hatta 2014b: 24).
Meskipun sama-sama bertujuan untuk kemerdekaan, antara PNI Baru dan Partindo tidak ada kerjasama. Di antara dua partai itu terkesan ada persaingan sehingga kerap terjadi saling ejek di antara kedua pengikut partai. Hatta bahkan menyatakan kedua partai itu bukanlah hal yang mungkin karena ada perbedaan pada gaya berjuangnya dan ia berharap supaya kedua partai tidak saling menyerang. Partindo di bawah pimpinan Sukarno lebih banyak melakukan propaganda dan agitasi, sedangkan PNI Baru tampak lebih tenang dan menekankan pendidikan politik kadernya (Abbas 2010: 55; Hatta 2014b: 29).
Oleh karena perbedaan di antara kedua partai itu, maka diadakan pertemuan oleh kedua partai pada bulan September 1932 di Bandung. Sukarno menginginkan penggabungan kedua partai. Keinginan itu gagal terpenuhi tetapi Sukarno sepakat dengan Hatta supaya kedua partai tidak saling menyerang. Kesepakatan itu dilanggar oleh Partindo ketika Persatuan Indonesia, surat kabar milik Partindo menyerang Hatta dengan mengatakan bahwa Hatta bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda karena ada partai yang akan mencalonkan Hatta menjadi anggota parlemen di Belanda. Ketegangan semakin meningkat ketika Sukarno menuduh Hatta telah goyah dan sudah terpengaruh oleh jabatan tinggi. Hal itu dibalas oleh Hatta dengan mengatakan setiap orang boleh menjadi anggota parlemen dan hal itu diperlukan mengingat dewan di Belanda dapat menjadi wadah untuk mengkritik pemerintah (Abbas 2010: 56-57).
Pada akhir Februari 1933, Hatta diajak berkunjung ke Jepang sebagai penasihat, menemani Mak Etek Ayub Rais untuk urusan hubungan dagang Firma Djohan Djohor. Kedatangan Hatta di Jepang tersiar dalam surat kabar. Banyak wartawan datang ke kapal dan menjuluki Hatta ‘Gandhi of Java’. Beberapa kunjungan dan pertemuan dengan para petinggi dipenuhi oleh Hatta. Namun, ada beberapa undangan dari orang penting terpaksa tidak dipenuhi karena Hatta mencurigai tujuannya adalah untuk mendekati Hatta. Selain itu Hatta khawatir dengan konsekuensinya jika ia memenuhi undangan tersebut (Hatta 2014b: 67-88).
Aktivitas Hatta dianggap semakin membahayakan oleh pemerintah kolonial. Oleh karena itu gerak-geriknya mulai diawasi. Ketika ia berkunjung ke Sumatra Barat untuk bertemu masyarakat, Hatta diperintahkan meninggalkan daerah itu. Demikian pula ketika ia menghadiri rapat partai di Yogyakarta. Ketika Hatta baru mulai berpidato, pihak kepolisian menghentikannya. Di Solo, saat Hatta akan menghadiri rapat, rapat itu dibubarkan oleh polisi. Pada 25 Februari 1934 Hatta ditangkap di Batavia oleh pemerintah kolonial. Selain Hatta, pada hari yang sama Sjahrir dan Bondan juga ditangkap. Sebelumnya pada 31 Juli 1933, Sukarno ditangkap dengan alasan menyiapkan pemberontakan melawan pemerintah. Sukarno lalu diasingkan ke Ende di Pulau Flores (Abbas 2010: 57; Hatta 2014b:97-100).
Hatta dijebloskan ke dalam penjara Glodok pada 1 Maret 1934. Di sana Hatta tetap melakukan aktivitasnya membaca dan menulis. Hatta menulis sebuah artikel berjudul ‘Krisis ekonomi dan kapitalisme’. Setelah diperiksa, Hatta dipindahkan ke penjara Salemba. Pada 16 November 1934, pengadilan memutuskan mengasingkan Hatta bersama enam pengurus PNI Baru, antara lain Sjahrir, Bondan, Maskun, Marwoto, Suka, dan Burhanudin ke Boven Digul (Abbas 2010: 58-59; Hatta 2014b: 136-158).
Pada bulan Februari 1937 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di sini Hatta agak bebas bergaul dengan masyarakat meskipun tetap diawasi. Hatta bahkan memberikan pelajaran ekonomi dan akutansi kepada anak-anak Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang juga diasingkan di sana (Abbas 2010: 63-64). Hatta tinggal di Banda Neira selama lima tahun. Pada 1941 Jepang menyerang pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour Hawaii dan negara-negara di Asia lainnya, termasuk Indonesia. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah kolonial memindahkan Hatta dan Sjahrir ke Sukabumi Jawa Barat pada 1 Februari 1942. Pada 9 Maret 1942 pemerintah kolonial menyerah kepada pasukan Jepang. Oleh karena pemerintah kolonial tidak berkuasa lagi, Hatta pun bebas. Ia dijemput utusan pemerintah pendudukan Jepang dan dibawa ke Jakarta (Abbas 2010: 63-65; Hatta 2014b: 161-184).
Selain Hatta dan teman-temannya, Sukarno juga dibebaskan dan kembali ke Jakarta pada bulan Juli 1942. Hatta menjemputnya di pelabuhan Pasar Ikan. Pertemuan itu merupakan pertemuan pertama sejak Sukarno ditangkap pada 1933. Malam harinya mereka mengadakan pertemuan dan kembali keduanya berbeda pendapat. Menurut Sukarno, pihak Jepang akan menjadi pemenang karena angkatan perang Amerika, Inggris, dan Belanda sudah dilumpuhkan. Oleh karena itu Sukarno mengajak Hatta, Sjahrir untuk bekerjasama dengan Jepang. Di lain pihak, menurut Hatta, pihak Amerika lah yang akan menang karena industri mereka lebih maju. Selain itu, pihak Jepang tidak akan mengizinkan adanya gerakan rakyat karena mereka membubarkan partai-partai. Sjahrir menyarankan sebaiknya Hatta dan Sukarno bekerjasama dengan Jepang karena keduanya telah dikenal pihak Jepang, sedangkan ia dan teman-teman yang lain secara diam-diam melakukan gerakan perlawanan bawah tanah melawan pemerintah pendudukan Jepang. Hatta kemudian diangkat menjadi penasihat oleh pemerintah pendudukan Jepang (Abbas 2010: 66-67; Hatta 2014b: 20).
Beberapa tindakan dan sikap pemerintah pendudukan Jepang, seperti melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, melarang pengibaran bendera merah putih, pembubaran partai-partai, hingga menempeleng rakyat membuat rakyat Indonesia marah. Mereka mengadukan hal itu pada Hatta dan Hatta mengusulkan supaya tentara Jepang mempelajari adat-istiadat bangsa Indonesia. Satu nasihat Hatta yang tidak menyenangkan bagi pemerintah pendudukan Jepang adalah perihal seikerei (membungkuk ke arah Tokyo) sebagai maksud menyembah kaisar Jepang. Hatta menentang tindakan itu dan meminta dicabut karena bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dipeluk sebagian besar rakyat Indonesia (Abbas 2010: 68).
Pada bulan Oktober 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan keputusan pendirian Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Usaha Lama. Para anggotanya sebagian besar adalah orang Jepang, sebagian lagi orang Indonesia, termasuk empat serangkai: Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansur. Dalam rapat-rapat panitia tersebut Hatta mengemukakan dalam bentuk pidato yaitu tentang ‘soal hak tanah’ dan ‘dari hal tempat kejadian rakyat’ (Hatta 2014b: 42).
Selain pidato dalam rapat panitia, Hatta pernah berpidato di dalam rapat umum di Lapangan Ikada pada 8 Desember 1942. Hatta antara lain menyatakan bahwa Indonesia telah terlepas dari imperialisme Belanda. Oleh karena itu Indonesia tidak ingin menjadi jajahan lagi. Pidato itu membuat gempar pemerintah pendudukan Jepang (Hatta 2014b: 43). Permohonan Sukarno untuk mendirikan organisasi pergerakan rakyat dikabulkan pemerintah pendudukan Jepang. Organisasi itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh empat serangkai (Abbas 2010: 69). Oleh Gunseikanbu [kantor pusat pemerintahan militer], Sukarno ditunjuk sebagai pemimpin besar, Hatta menjadi direktur jenderal, Ki Hajar Dewantara menjadi kepala bagian pengajaran, dan Kiai Haji Mas Mansur sebagai kepala bagian keselamatan rakyat (Hatta 2014b: 44-45).
Seperti para tokoh politik Indonesia lainnya, Hatta selalu mendapatkan pengawasan. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Hatta dianggap berbahaya dan dapat membangkitkan perlawanan rakyat. Oleh karena itu ada keinginan untuk melenyapkan atau mengasingkan Hatta. Pada bulan November 1943, Hatta, Sukarno, dan Ki Bagus Hadikoesoemo diundang ke Jepang. Hatta mewakili kelompok intelektual yang akan mempelajari Nippon Sheisin [latihan kemiliteran dengan semangat Jepang]. Di Tokyo, Sukarno, Hatta, dan Ki Bagus Hadikoesoemo mendapatkan penghargaan dari kaisar Jepang. Hal itu tentu mengecewakan pemerintah pendudukan Jepang karena Hatta bagi mereka adalah tokoh berbahaya. Dengan penghargaan tersebut berarti mereka dianggap bagian dari keluarga istana dan tidak boleh diganggu. Hatta tidak jadi mempelajari Nippon Sheisin. Dia hanya diberi beberapa buku dan diminta membuat artikel tentang hal tersebut (Abbas 2010: 49, 71).
Ketika Hatta kembali dari Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membubarkan Putera dan membentuk Jawa Hokokai. Tujuannya mempertebal rasa kepatuhan rakyat untuk membantu Jepang dalam perang. Dalam kepengurusan Jawa Hokokai, Hatta menjadi wakil ketua Dewan Jawa Hokokai. Pada Oktober 1943 dibentuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang bertugas membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia dari serangan pasukan Amerika dan para sekutunya. Untuk menyambut pembentukan PETA diadakan rapat-rapat umum. Dalam salah satu rapat umum di lapangan Ikada, Hatta menyampaikan pidato mengenai rasa sangsi bahwa Jepang akan selamanya mempertahankan Indonesia meskipun telah membebaskan Indonesia (Abbas 2010: 72-72).
Pada bulan Mei 1945 dibentuk Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ketua panitia tersebut adalah Dr. Radjiman Wediodiningrat dan Hatta sebagai anggota. Dalam sidang 29 Mei 1945, Dr. Radjiman Wediodiningrat menyampaikan pidato ringkas yang intinya menanyakan dasar negara yang akan dibentuk. Sukarno menjawab pertanyaan tersebut pada 1 Juni 1945 dengan pidato panjang mengenai Panca Sila, lima dasar. Dr. Radjiman Wediodiningrat kemudian membentuk panitia kecil yang merumuskan pokok pikiran pidato Sukarno. Hasil rumusan tersebut menjadi bagian pembukaan rancangan undang-undang dasar (Hatta 2014c: 65-67).
Pada 7 Agustus 1945, Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibubarkan dan diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sukarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil ketua. Para anggotanya terdiri dari wakil seluruh Indonesia. Pada 9 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Dr. Radjiman Wediodiningrat diutus ke Dalat, sebelah utara Saigon, yang merupakan markas besar Marsekal Terauchi, Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara. Undangan itu karena perintah dari Tokyo mengenai pemberian kemerdekaan kepada Indonesia. Dalam perjalanan pulang, mereka mendengar serangan Rusia terhadap Manchuria. Hatta memperkirakan dalam beberapa minggu Jepang akan menyerah. Perkiraan Hatta tidak meleset karena pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah (Abbas 2010: 74-75).
Para pemimpin pergerakan di Indonesia berkumpul melihat perkembangan dan perubahan yang cepat. Di antara mereka tidak ada perbedaan pendapat tentang perlunya memproklamasikan kemerdekaan secepatnya tetapi ada perbedaan pendapat tentang siapa yang akan memproklamirkannya. Sjahrir mengusulkan Sukarno tetapi menurut Hatta, Sukarno tidak akan bersedia karena posisinya sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan. Jika Sukarno melakukannya, menurut Hatta, Sukarno harus meminta persetujuan PPKI sehingga PPKI harus bersidang untuk memutuskan siapa yang akan mengumumkan kemerdekaan dan kapan akan diumumkan. Sukarno menyetujui saran Hatta (Abbas 2010: 75-76).
Pada 15 Agustus 1945, Hatta dan Sukarno ditemui oleh para pemuda secara terpisah. Hatta didatangi oleh Subadio Sastrosatomo dan Subianto, sedangkan Sukarno didatangi oleh Wikana dan kawan-kawannya. Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan. Pada 16 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta dipaksa oleh para pemuda mengikuti mereka ke Rengasdengklok, asrama PETA di Karawang. Alasannya untuk menyelamatkan mereka karena para pemuda akan menyerang pasukan Jepang. Namun, hal itu tidak terjadi. Sore harinya, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Hatta, Sukarno, dan Subarjo menemui Mayor Jenderal Nishimura untuk menyampaikan rencana sidang PPKI. Nishimura keberatan. Akhirnya mereka menemui Laksamana Maeda yang menyambut dan berjanji akan melindungi usaha mereka. PPKI mengadakan rapat di rumah Maeda. Mereka membahas susunan teks proklamasi dan yang menandatanganinya. Rapat itu berakhir pada 17 Agustus 1945 pukul 3 pagi. Mereka pulang ke rumah, lalu berkumpul kembali di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Naskah proklamasi dibacakan oleh Sukarno pada pukul 10 pagi dengan Hatta berdiri di sampingnya. Setelah pembacaan naskah proklamasi, dilakukan pengibaran bendera merah putih diiringi lagu ‘Indonesia Raya’ tanpa musik (Abbas 2010: 78-79).
Pada 18 Agustus 1945 PPKI kembali bersidang. Dalam sidang tersebut disepakati dan ditetapkan tentang undang-undang dasar negara yang dikenal dengan UUD 1945, bentuk negara yaitu Republik, serta Presiden dan Wakil Presiden yaitu Sukarno dan Hatta. Pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang terdiri dari wakil golongan dalam masyarakat dengan ketua Mr. Kasman Singodimedjo (Abbas 2010:79; Hatta 2014c: 98-99, 101-103).
Hatta turut berperan dalam pembentukan tentara nasional Indonesia. Pada bulan Oktober 1945 Hatta bertemu dengan Didi Kartasasmita, mantan perwira KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indisch Leger)-angkatan perang Hindia-Belanda. Didi menyatakan bersedia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru dibentuk. Ia berharap Hatta mau menerima perwira senior Urip Sumohardjo yang ketika itu berpangkat mayor KNIL. Urip menyatakan bahwa para perwira KNIL di Indonesia bersedia membantu TKR. Hatta lalu meminta Urip yang telah berpengalaman untuk menjadi Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (Noer 2012: 95-96).
Pada rapat pertama KNIP 25 Oktober 1945 banyak anggotanya mengkritik ketua karena dianggap hanya melaksanakan tugas yang diberikan pemerintah Republik Indonesia. Ada saran untuk memberikan hak legislatif kepada KNIP dan karena jumlah anggotanya terlalu banyak disarankan membentuk Badan Pekerja dengan jumlah anggota yang lebih sedikit. Anggota badan pekerja itu diambil dari beberapa anggota KNIP. Badan Pekerja KNIP disetujui oleh Hatta dan dituangkan dalam bentuk keputusan. Oleh karena ketika itu A. Gafar Pringgodigdo, Sekretaris Negara tidak membawa daftar urutan Maklumat Wakil Presiden, maka nomor urutan diisinya dengan X sehingga menjadi Maklumat Wakil Presiden No.X bulan November 1945 dengan maksud X akan diganti dengan urutan sebenarnya. Namun, selama bertahun-tahun No. X diyakini sebagai nomor sebenarnya dan Sekretaris Negara tidak dapat mengganti nomor tersebut. Maklumat ini juga meletakkan sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Sistem yang tidak disukai oleh Sukarno (Noer 2012: 97-98; Hatta 2014c: 114-115; Zulkifli 2015: 96).
Pada 18 November 1945 Hatta menikah dengan Siti Rahmiati di Megamendung, Jawa Barat. Hatta menepati janjinya yang menyatakan tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Hatta menghadiahkan calon istrinya buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya saat diasingkan di Digul pada 1934. Mereka dikaruniai tiga puteri: Meutia Farida, Gemala, dan Halida (Noer 2012: 119-120; Zulkifli 2015: 123).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukanlah akhir karena masih banyak yang harus dilakukan. Keinginan Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia menjadi tantangan sehingga berbagai perundingan perlu dilakukan. Pada November 1946 diselenggarakan perundingan di Linggarjati yang menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatra. Perjanjian itu harus disahkan oleh masing-masing pemerintah. Bagi pemerintah Indonesia, perjanjian itu harus disetujui dahulu oleh KNIP. Selain mengenai perjanjian Linggarjati, dibahas juga Peraturan Presiden No. 6 mengenai penambahan anggota KNIP, terutama dari Sumatra supaya KNIP lebih mewakili daerah-daerah RI. Namun, ketika dibahas oleh KNIP bulan Februari 1947 di Malang muncul perbedaan pendapat. Partai Masyumi dan PNI menolak perjanjian itu karena menurut mereka merugikan Indonesia. Mereka juga menolak peraturan presiden itu karena dianggap memuluskan perjanjian Linggarjati Hatta berupaya meyakinkan kedua partai tersebut mengingat jumlah anggota kedua partai dalam KNIP cukup banyak dan mempertahankan Peraturan Presiden No.6. Upaya Hatta mendapatkan penolakan keras sehingga Hatta mengatakan jika mereka tetap menolak, Hatta dan Sukarno akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden dan Presiden. Hatta mempersilakan mereka memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Sikap tegas Hatta membuat anggota KNIP mengalah. Perjanjian Linggarjati ditandatangani pada 25 Maret 1947. Sayangnya pihak Belanda melanggar perjanjian tersebut (Abbas 2010: 80-81; Noer 2012: 100-101).
Hatta diutus oleh Sukarno pada bulan Juli 1947 untuk pergi ke India bertemu dengan Jawaharlal Nehru. Tujuannya adalah meminta bantuan senjata. Kepergian Hatta dirahasiakan dan Hatta menyamar sebagai co-pilot dengan nama Abdullah. Di India Hatta berunding dengan Nehru dan bertemu Mahatma Ghandi. Nehru mengetahui bahwa orang yang bernama Abdullah adalah Hatta, sedangkan Ghandi tidak mengetahuinya. Nehru mengatakan India tidak dapat memberikan bantuan senjata karena India masih di bawah Inggris tetapi Nehru berjanji memberikan dukungan politik di forum internasional. Pertemuan dengan Ghandi selama setengah jam memperkuat semangat Hatta karena Ghandi mengatakan pada Hatta bahwa Gandhi yakin dan percaya pemerintah Indonesia akan menang. Tak lama setelah Hatta kembali ke tanah air, pihak Belanda melancarkan agresi pada 27 Juli 1947 (Abbas 2010:82; Hatta 2014c: 154-162).
Hatta pernah dua kali memimpin kabinet. Kabinet Hatta I memerintah pada 29 Januari 1948 hingga 4 Agustus 1949. Lalu Kabinet Hatta II pada 4 Agustus 1949 hingga 20 Desember 1949. Dalam periode kepemimpinan Hatta diselingi oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafrudin Prawiranegara. Pada periode pertama memimpin kabinet (1948), tugas penting Hatta adalah melaksanakan persetujuan Renville dengan perantaraan Komisi Tiga Negara (KTN). Tugas penting lainnya adalah melakukan reorganisasi di angkatan perang yang dikacaukan oleh Amir Sjarifuddin ketika membentuk TNI Masyarakat (Hatta 2014c: 179).
Pihak Belanda ternyata melanggar perjanjian Renville. Pada 19 Desember 1948 mereka menyerang Yogyakarta dan kota-kota lainnya. Dalam situasi genting, Hatta mengadakan sidang kabinet. Hasil sidang memutuskan bahwa pemerintah tidak akan meninggalkan Yogyakarta untuk memudahkan hubungan dengan Komisi Tiga Negara. Hatta menyampaikan pidato yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia dengan isi imbauan dan anjuran kepada rakyat dan angkatan perang supaya melaksanakan perang gerilya. Selain itu Sjafrudin Prawiranegara dikirimkan telegram yang diberi kuasa membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Beberapa jam usai sidang kabinet, Hatta, Sukarno, dan beberapa pejabat pemerintah Indonesia ditahan pemerintah Belanda. Tiga hari kemudian, Hatta bersama Assaat, Pringgodigdo, dan Suryadarma dibuang ke Pangkal Pinang, Bangka. Sukarno, H. Agus Salim dan Sjahrir dibuang ke Berastagi lalu Parapat, Sumatra Utara. Di Bangka, Hatta ditahan di rumah peristirahatan milik perusahaan timah di daerah Menumbing (Penders 1981: 297; Abbas 2010: 85).
Ketika para pemimpin nasional ditahan, pemimpin lainnya melakukan perjuangan. Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya. Di Sumatra, Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tekanan terhadap pihak Belanda baik dari dalam maupun luar negeri akhirnya membuat mereka bersedia berunding. Pada 14 April 1949 diadakan perundingan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda oleh Dr. Van Royen dengan pengawasan komisi PBB. Perundingan berjalan alot sehingga Komisi Tiga Negara meminta Hatta datang ke Jakarta karena dianggap mampu menghadapi pihak Belanda. Hatta mengatakan supaya para pemimpin Indonesia yang ditawan dikembalikan ke Yogyakarta karena kalau tidak perundingan tidak akan dilanjutkan. Kesepakatan dicapai pada 7 Mei 1949. Di dalam negeri, persetujuan Roem-Royen tidak diterima dengan bulat. Keabsahan perjanjian itu menjadi masalah karena apakah orang-orang yang ditawan pihak Belanda berhak menentukan nasib bangsa dan negara. Hatta datang ke Aceh menemui Syafruddin Prawiranegara untuk menjelaskan persoalan. Akhirnya PDRI mau menerima persetujuan tersebut. Pemerintah Republik Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta dan akan diselenggarakan Konferensi Meja Bundar dengan para peserta pihak Belanda, Indonesia, dan pihak BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)-negara-negara federal, untuk membahas pembentukan Negara Indonesia Serikat (Abbas 2010: 87-88).
Pada bulan Januari 1949 Yogyakarta diserahkan kembali kepada pemerintah RI. Pada 6 Juli 1949 Hatta kembali ke Yogyakarta dan seminggu kemudian menerima mandat kembali dari Syafruddin Prawiranegara. Hatta ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan pada 23 Agustus sampai 2 November 1949. Sebelum konferensi diadakan perundingan dengan pihak BFO yang dipimpin oleh Sultan Hamid II pada 20 Juli sampai 2 Agustus 1949 dengan kesepakatan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (Abbas 2010: 88).
Dalam Konferensi Meja Bundar muncul perdebatan ketika membahas Irian Barat karena anggota delegasi Indonesia menyatakan wilayah Republik Indonesia Serikat sama dengan wilayah Hindia-Belanda. Oleh karena itu Irian Barat harus diserahkan kepada RIS. Tuntutan itu ditolak delegasi Belanda. Salah seorang anggota komisi mengusulkan Irian Barat sementara waktu di bawah kekuasaan Belanda lalu setelah setahun Irian Barat harus dimasukkan dalam RIS. Hatta setuju dengan usulan itu, tetapi pihak BFO menolak karena mereka ingin Irian Barat tetap dimasukkan. Setelah mendengar penjelasan Hatta, pihak BFO menerima tawaran itu. KMB berakhir pada 2 November 1949 dengan salah satu hasil penting bahwa Indonesia akan menjadi Republik Indonesia Serikat dengan RI dan BFO menjadi anggotanya. Selain itu pihak Belanda berjanji akan mengakui kekuasaan RIS. Pada 15 Desember 1949 hasil KMB disetujui oleh KNIP dan pada 16 Desember 1949 Sukarno dipilih menjadi Presiden RIS, Hatta menjadi Perdana Menteri dari kabinet RIS pertama (Abbas 2010: 89).
Pada 27 Desember 1949 Hatta berada kembali di Den Haag untuk menghadiri pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda. Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri RIS sampai 17 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditandai dengan pembuatan undang-undang dasar sementara. Undang-undang dasar yang tetap akan dibuat setelah penyelenggaraan pemilu. Demikian pula dengan dewan perwakilan rakyat. Dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) 14 Oktober 1950 Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden RI yang dijabat sampai tahun 1956 (Abbas 2010: 90).
Dalam menyambut hari Koperasi di Indonesia tanggal 12 Juli 1951, Hatta menyampaikan pidato radio. Oleh karena besarnya peran dan perhatian Hatta dalam gerakan koperasi di Indonesia, maka pada 17 Juli 1953, Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia dalam Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Gagasan dan pikiran Hatta mengenai koperasi antara lain terdapat dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971). Di samping koperasi, Hatta juga mendukung perkembangan perusahaan pemerintah yang benar-benar murni milik pemerintah. Salah satunya adalah pabrik semen Gresik yang dibuka atas upaya Hatta. Pada awalnya perusahaan itu dipimpin oleh orang Amerika dan setahun setelahnya dipimpin oleh orang Indonesia. Namun ketika perusahaan itu dibuka pada 1958, Hatta sudah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden (Noer 2012: 143; Pane 2015: 492).
Gagasan Hatta mengenai kebijakan luar negeri dikemukakan Hatta pada 2 September 1948 dalam pidatonya ‘Mendayung antara dua karang’, ketika sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta. Gagasan tersebut kemudian dimuat dalam jurnal internasional Foreign Affairs (1953). Artikel berjudul ‘Indonesia’s foreign policy’ memuat tentang konsep politik luar negeri bebas dan aktif. Artikel Hatta lainnya yang dimuat jurnal Foreign Affairs berjudul ‘Indonesia between the Power Blocs’ (1958). Kelak konsep ‘bebas dan aktif’ tersebut digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk kebijakan politik luar negerinya.
Pada 20 Juli 1956 Hatta memutuskan mengundurkan diri dengan mengirim surat kepada DPR yang ditembuskan pada Presiden Sukarno. Namun, surat itu tidak diperhatikan DPR. Pada 23 November 1956 Hatta kembali mengirim surat yang memberitahukan bahwa terhitung sejak 1 Desember 1956 ia akan mengundurkan diri. Dalam sidang pada 30 November 1956 DPR menerima permintaan Hatta. Sejak saat itu Hatta menjadi warga negara biasa. Namun, Hatta tetap memberikan nasihat kepada pemerintah jika ada persoalan yang tidak sejalan dengan pandangannya (Abbas 2010: 90-91). Pengaruh berhentinya Hatta adalah meningkatnya tuntutan di daerah, terutama Sumatra dan Sulawesi karena mereka merasa kehilangan. Meskipun Hatta pemimpin nasional, mereka menganggap Hatta sebagai wakil mereka dalam menyuarakan berbagai persoalan (Noer 1991: 486).
Gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai universitas dianugerahkan kepada Hatta. Pada 27 November 1956 Hatta memperoleh gelar tersebut dari Universitas Gadjah Mada. Hatta menyampaikan pidato ‘Lampau dan Datang’ yang antara lain menyatakan bahwa revolusi sudah selesai dan yang diperlukan adalah pembangunan.
Pada 30 Agustus 1975 Hatta dianugerahkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu Hatta menyampaikan pidato berjudul ‘Menuju Negara Hukum’ (Noer 2012: 155-156). Hingga akhir hayatnya pada 14 Maret 1980, Hatta tetap aktif dan memiliki banyak kegiatan. Di samping mengajar di Universitas Gadjah Mada, Hatta diminta menjadi narasumber di berbagai seminar.
Hatta mendapatkan tanda kehormatan tertinggi ‘Bintang Republik Indonesia Kelas 1’ dari Presiden Soeharto pada 15 Agustus 1972 karena perjuangan Hatta bagi Republik Indonesia (Pane 2015: 493). Pada 23 Oktober 1986 Hatta memperoleh gelar Pahlawan Proklamator. Gelar itu melalui Keputusan Presiden RI Nomor 81/TK/1986. Lalu pada 7 November 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan gelar Pahlawan Nasional kepada Hatta berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 84/TK/2012.
Penulis: Achmad Sunjayadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Abbas, Anwar. 2010. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Jakarta: Kompas.
Hatta, Mohammad. 1953. Indonesia’s Foreign Policy. Foreign Affairs Vol. 3 (3): 441-452.
Hatta, Mohammad.1979. Bung Hatta Antwoordt. Jakarta: PT Gunung Agung.
Hatta, Mohammad. 2014a. Untuk Negeriku. Sebuah Otobiografi. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi. Jakarta: Kompas.
Hatta, Mohammad. 2014b. Untuk Negeriku. Sebuah Otobiografi. Berjuang dan Dibuang. Jakarta: Kompas.
Hatta, Mohammad. 2014c. Untuk Negeriku. Sebuah Otobiografi. Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jakarta: Kompas.
Noer, Deliar. 1991. Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES
Noer, Deliar. 2012. Mohammad Hatta. Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.
Pane, Nina (ed.). 2015. Mohammad Hatta. Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta: Kompas.
Penders C.L.M (ed). 1981. Mohammad Hatta. Indonesian Patriot. Memoirs. Singapore: Gunung Agung.
Rose, Mavis. 1991. Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta [terjemahan dari Indonesia Free: Political Biography of Mohammad Hatta]. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Zulkifli, Arif et.al. 2015. Seri Buku Tempo. Hatta. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Tempo.