Asrama Indonesia Merdeka

From Ensiklopedia
Revision as of 16:23, 22 May 2023 by Admin (talk | contribs)

Kemenangan Jepang merebut wilayah dan kekuasaan Hindia Belanda memunculkan harapan baru perubahan dan kemerdekaan. Pemerintahan militer Jepang sejak awal berupaya meyakinkan pada rakyat dan elite nasional melalui propaganda yang memposisikan Jepang sebagai pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia (Propaganda Gerakan 3A). Namun, gema propaganda ini surut seiring dengan orientasinya lebih tertuju pada dukungan ke Jepang bukan pada nasionalisme Indonesia (Kahin 1995: 130 - 132). Lembaga Sendenbu (Departemen Propaganda) yang dibentuk sejak Agustus 1942 mensponsori berbagai lembaga sipil untuk memobilisasi rakyat.

Maka, organisasi-organisasi mobilisasi massa dibentuk Pemerintah militer Jepang, seperti pusat tenaga rakyat (Poetera), Jawa Hokokai, Heiho, Pembela Tanah Air (Peta), dan Angkatan Muda. Namun, lembaga-lembaga ini justru dimanfaatkan kelompok nasionalis secara sembunyi-sembunyi untuk menguatkan pergerakan kebangsaan Indonesia (Kahin 1995: 133-142). Perlawanan dan pergerakan kebangsaan sedikit melunakkan Jepang yang dibuktikan dari penyampaian janji kemerdekaan Indonesia pada suatu waktu. Janji ini diumumkan pada 7 September 1944 oleh Kuniaki Koiso, perdana menteri Jepang, sehingga disebut Janji Koiso. Keputusan politik ini disampaikan pada sidang istimewa Teikoku Ginkai ke-85 di Tokyo (Asia Raya, 8 September 1944). Sebelum pengumuman ini, kelompok nasionalis kecewa tidak diperlakukan sama dengan Birma dan Filipina yang sejak awal 1943 dijanjikan kemerdekaan (Oktorino 2013: 133).

Janji kemerdekaan yang dinyatakan tahun 1944 dilanjutkan dengan langkah awal pembentukan kader-kader Indonesia merdeka melalui pembentukan sekolah di Jakarta, disebut Asrama Indonesia Merdeka, yang mendidik pemuda-pemuda berusia 18-20 tahun. Sekolah ini didirikan Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di bawah pimpinan Laksamana Muda Tadashi Maeda pada Oktober 1944 di Jalan Kebon Sirih Nomor 80 Jakarta. Nama sekolah yang terkesan kontra dengan Jepang ini diajukan oleh Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.

Nama Asrama Indonesia Merdeka disepakati atas dukungan Tomegoro Yoshizumi dan Shigetada Nishijima, dibandingkan nama Y Sei Juku usulan Tadashi Maeda pada suatu perundingan yang juga dihadiri oleh Sato Nobuhide. Penolakan ini didasarkan atas ketidakpopuleran istilah bahasa asing dan realitas kebencian orang Indonesia kepada Jepang. Achmad Soebardjo dipilih untuk mengelola sekolah ini setelah orang Jepang yang hadir tidak bersedia (Wanhar 2014). Kedekatan Achmad Soebardjo dengan Tadashi Maeda dilatarbelakangi oleh jabatannya di departemen penelitian di Kaigun Bukanfu.

Tadashi Maeda, atas bantuan orang kepercayanya, menghubungi pemimpin nasionalis terkemuka untuk mengajar tentang nasionalisme, ekonomi, politik, sosiologi, dan marxisme (Kahin 1995: 146). Tema pengajaran ini mirip dengan Angkatan Baroe Indonesia (Asrama Menteng 31) yang dibentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) untuk mengkader pemuda-pemuda demi kepentingan kekaisaran Jepang. Akan tetapi, materi yang diajarkan oleh tokoh nasionalis bertentangan dengan harapan Jepang, sehingga asrama ini dibubarkan pada April 1943 (Oktorino 2013: 271).

Meskipun Asrama Indonesia Merdeka bukan kelanjutan Asrama Menteng 31, para pengajar yang terpilih terdiri atas para tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, Sudiro, dan tokoh lain. Lembaga ini dikelola oleh Wikana, seorang tokoh muda yang semula kurang dikenal, kemudian dipercaya dan memiliki koneksi dengan salah satu elite Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Penunjukan Wikana menjadi sesuatu yang aneh sebab Jepang menghambat berkembangnya komunisme, sementara dia sebagai anggota atau berafiliasi dengan PKI-ilegal (Kasenda 2014: 160). Mengajar di sini membuka kesempatan bagi tokoh nasionalis untuk menularkan dan mempengaruhi peserta (mahasiswa) terkait ide-ide kemerdekaan Indonesia. Sekolah ini menyelenggarakan pengajarannya selama dua bulanan sehingga telah meluluskan ratusan tamatan hingga bulan Juli 1945, yang diserap pada kancah pergerakan (Kahin 1995: 147).

Penulis: Samidi M. Baskoro

**

Referensi

Asia Raya, 8 September 1944

Anderson, Benedict (2018). Revoloesi Pemoeda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 - 1946. Serpong : Marjin Kiri

Kahin, George McTurnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University bekerjasa dengan Pustaka Sinar Harapan.

Kasenda, Peter (2014). Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu

Oktorino, Nino (2013). Konflik Bersejarah - Dalam Cengkeraman Dai Nippon. Jakarta: Elex Media Komputindo.

------------------- (2016). Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941- 45. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Wanhar, Wenri (2014). Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.