Al-Irsyad

From Ensiklopedia
Revision as of 10:51, 1 November 2023 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Sekolah Al-Irsyad

Al-Irsyad (Jam’iyya al-Islah wa al-Irshad al-‘Arabiyya, Persatuan Arab untuk Pembaruan dan Panduan) adalah organisasi Islam berhaluan reformis yang menandai     kebangkitan Arab (nahda) dalam menyuarakan kemajuan dan menyuntikkan semangat pembaruan Islam di Indonesia. Al-Irsyad didirikan pada 11 Agustus 1915 oleh Syaikh Ahmad Sukati (Ahmad Surkitt al-Anshari, 1872-1934) dan para muridnya yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang, di antaranya Syekh Umar Manggus, Saleh bin Ubeid Abdad, Said bin Salim Masjhabi, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah, dan Umar bin Saleh bin Nahdi (Noer, 1973: 98). Ahmad Surkati adalah seorang ulama Sudan yang datang ke Indonesia pada tahun 1911 atas undangan dari Jamiat Kheir. Namun setelah melihat kecenderungan Jamiat Kheir yang mempertahankan pandangan tentang superioritas sayyid (keturunan Nabi) dibandingkan dengan umat Islam yang lain, Surkati memutuskan keluar dari Jamiat Kheir pada tahun 1914 untuk kemudian mendirikan dan mengembangkan Al-Irsyad (Mobini-Kesheh, 1999: 55; Affandi, 1976:65-66).

Merujuk Anggaran Dasar Al-Irsyad yang disahkan berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada tahun 1915, tujuan dari perhimpunan ini adalah mengumpulkan, menyimpan, dan mengeluarkan dana bagi keperluan: (1) Menyebarluaskan adat istiadat Arab yang sesuai dengan ajaran agama Islam, memberi pelajaran membaca dan menulis kepada golongan Arab, dan meningkatkan pengetahuan tentang bahasa Arab dan bahasa lain yang diperlukan; (2) Mendirikan gedung-gedung dan sebagainya yang bermanfaat bagi penerapan tujuan yang tersebut dalam nomor satu, seperti pembangunan tempat rapat bagi anggota perhimpunan, mendirikan gedung-gedung sekolah dan sebagainya yang bermanfaat bagi tujuan tersebut di atas, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Negara, adat istiadat dan ketentuan umum; dan (3) Mendirikan perpustakaan untuk mengumpulkan buku-buku yang berguna bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan akhlak (Jam’iyyah Al-Islah wa’l-Irshad Al’Arabiyyah, 1919:12-13; Pijper, 1985: 119).

Sejak awal berdiri, Al-Irsyad berupaya menjadi perhimpunan yang memagang teguh sembilan prinsip dasar: (1) Keesaan mutlak Tuhan, tanpa kemusyrikan, nyata atau tersembunyi, dalam keyakinan, tindakan dan kata-kata; (2) Menjunjung tinggi ibadah-ibadah agama termasuk shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain, tanpa mengabaikan salah satunya; (3) Menghidupkan kembali amalan yang benar (al-sunnah al-sahihah) dan meninggalkan bid’ah; (4) Bekerjasama dalam ketakwaan dan kesalehan, bukan dalam dosa dan permusuhan; (5) Kewajiban untuk menganggap umat Islam sebagai saudara, tanpa keunggulan satu dari yang lain kecuali dalam pengetahuan dan ketuhanan; (6) melaksanakan Amar ma'ruf nahi munkar secara santun; (7) Meninggalkan kebiasaan koruptif yang menyimpang dari ajaran agama; (8) Menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan pekerjaan dengan hanya tunduk kepada Tuhan; dan (9) Menjunjung tinggi moralitas Islam (Hoofd Bestuur Vereeniging Al-Islah Wal-Irsjad Al-Arabijah, 1938:3-4).

Al-Irsyad merupakan organisasi terbuka. Tidak ada persyaratan khusus untuk menjadi anggota perhimpunan ini. Semua umat muslim yang tinggal di Indonesia dapat bergabung menjadi anggota. Misi dari organisasi ini salah satunya adalah menghapus stratifikasi sosial berdasarkan pada keturunan, harta, dan status. Al-Irsyad menolak pengkultusan dan penempatan sayyid di atas non-sayyid. Al-Irsyad juga menolak tradisi taqbil (cium tangan) oleh non-sayyid bila bertemu dengan sayyid. Dalam konteks pernikahan, Al-Irsyad juga menentang konsep kafa’a (larangan menikah bagi anak perempuan seorang sayyid dengan non-sayyid, atau prinsip kesejajaran status kelahiran dalam pernikahan). Bagi Surkati perkawinan seorang habib dengan orang Islam biasa itu adalah sah, sebuah pernyataan yang mendapat banyak penentangan dari berbagai komunitas Arab di Indonesia kala itu. Pada prinsipnya, Al-Irsyad berupaya mengganti supremasi sayyid dalam hirakhi sosial dengan ajaran yang mengedepankan prinsip kesetaraan (Mobini-Kesheh, 1999: 55; Burhanudin, 2012:240)

Al-Irsyad termasuk ormas yang memiliki banyak lembaga pendidikan modern (sekolah dengan kurikulum dan struktur modern berbasis bahasa Arab Arab) yang berorientasi pembaruan. Seperti selalu disampaikan Surkati, “Pendidikan adalah dasar dari semua kemajuan, dasar untuk semua kejayaan, dan penyebab utama dari segala kesuksesan di dunia” (Surkati, 1915:26). Setelah membuka cabang pertama di Tegal yang diketuai oleh Ahmad Ali Baisa pada 1917, Al-Irsyad membuka cabang-cabang lain di Pekalongan (1917), Bumiayu (1918), Cirebon (1918), dan Surabaya (1919). Pada setiap pembukaan cabang, Al-Irsyad selalu membangun madrasah (Badjerei, 1996:77-79). Al-Irsyad juga tercatat membangun banyak lembaga kesehatan modern sebagai bentuk pengejawantahan ajaran Islam. Sebagai upaya memperkuat literasi masyarakat muslim, Al-Irsyad menerbitkan majalah dan koran (Mobini-Kesheh, 1999: 71-90; Noer 1973: 58-63).

Al-Irsyad telah tercatat dalam sejarah sebagai ormas Islam yang memberikan sumbangsih penting bagi pembentukan negara-bangsa, menanamkan semangat nasionalisme bagi orang-orang Arab sehingga semakin ‘menjadi Indonesia’. Banyak tokoh Al-Irsyad yang berperan penting dalam konstalasi politik negara, termasuk dalam proses kemerdekaan dan pembangunan nasional. Mereka telah menjadi bagian penting masyarakat Indonesia. Salah satu daerah yang menjadi basis dari ormas ini adalah Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Najib, 2015:242)

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Affandi, Bisri (1976), "Shaykh Ahmad Al-Surkati: His Role in Al-Irshad Movement in Java in the Early Twentieth Century" Master of Arts Thesis (Canada: McGill University)

Burhani, Najib (2015), “Ormas-ormas Islam di Indonesia: Sejarah dan Karakteristik” dalam Azyumardi Azra, Jajat Burhanuddin & Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 3: Institusi dan Gerakan (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kemendikbud).

Burhanuddin, Jajat (2012), Ulama dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah. Indonesia (Jakarta: Mizan Publika)

Jam’iyyah Al-Islah wa’l-Irshad Al’Arabiyyah bi-Batawi (1919), Qanun Jam’iyyah Al-Islah wa’l-Irshad Al’Arabiyyah: Al-Asaso wa’l-Dakhili (Batavia: n.p.)

Hoofd Bestuur Vereeniging Al-Islah Wal-Irsjad Al-Arabijah (1938), Sikep dan Toedjoean Al-Irsjad (Batavia: n.p.)

Mobini-Kesheh, Natalie (1999), The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 (Ithaca, New York: SEAP Publications).

Noer, Deliar (1973), The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapore: Oxford University Press).

Pijper, G.F. (1985), Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI-Press.

Surkati, Ahmad bin Muhammad (1915), Surah al-Jawiib (Surabaya: al-Matba'ah al-Islamiyyah)