Madrasah

From Ensiklopedia

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi bagian dari khazanah kebudayaan Islam Indonesia. Memiliki akar yang sangat kuat dalam sejarah pendidikan di Indonesia, madrasah telah menjadi faktor terpenting bagi transformasi sosial keagamaan masyarakat. Selain mencetak ahli agama, madrasah juga menjadi bentuk kesadaran masyarakat muslim untuk berkontribusi terhadap proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Kemunculan madrasah di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, pesantren. Lembaga pendidikan tradisional ini menjadi basis penyebaran sistem pendidikan madrasah di Indonesia. Kedua, gerakan pembaharuan Islam. Berpusat di Timur Tengah, gerakan ini menjadi media transmisi gagasan modern dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia. Beberapa ulama yang menimba ilmu, baik di Haramayn (Mekkah dan Madinah) maupun di Kairo, Mesir terinspirasi untuk turut melancarkan pembaruan lembaga pendidikan Islam di wilayahnya masing-masing. Hal ini mendorong kelahiran beberapa madrasah di awal abad ke-20 seperti Madrasah Manba’ul Ulum di Surakarta (1905), Sekolah Adabiyah di Padang (1907), Madrasah School di Batusangkar (1909), Diniyah School di Padangpanjang (1915). Ketiga, sistem pendidikan Belanda. Kemunculan madrasah didorong oleh adanya keinginan masyarakat muslim untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding dengan sekolah modern Belanda (Subhan 2012: 73-74).

Menjamurnya madrasah dengan semangat pembaharuan sejak dekade awal abad ke-20 menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda; dianggap mengajarkan semangat jihad dan mengajarkan nilai-nilai keadilan serta kemerdekaan. Merespons kondisi tersebut pemerintah kolonial Belanda mengambil beberapa kebijakan yang bertujuan untuk mengawasi pergerakan masyarakat muslim, termasuk dalam ranah pendidikan, seperti misalnya Ordonansi Guru, sebuah aturan yang mengharuskan guru agama memiliki surat izin. Hal ini mengakibatkan banyak guru saat itu yang tidak bisa mengajar karena tidak mendapatkan izin. Selain menerbitkan Ordonansi Guru, pemerintah Belanda juga menerbitkan Ordonansi Sekolah Liar di mana sekolah harus memiliki surat izin dari pemerintah, hal yang berakibat pada tutupnya banyak madrasah karena tidak mendapatkan izin dari pemerintah kolonial Belanda (Noer 1980:199-200; Maksum 1999: 82).

Meski demikian, madrasah tetap berkembang. Dengan modal sosial yang dimiliki, madrasah justru mampu konsisten memperkuat proses pengembangan masyarakat muslim. Madrasah bahkan memiliki kualitas yang sama dengan kualitas sekolah umum, ditandai melalui berbagai perkembangan tidak hanya dalam tataran kuantitas, tetapi juga dari segi kurikulum dan sistem pendidikan, metode pengajaran, dan berbagai sarana dan fasilitas pengajarannya. Jika pada mulanya hanya fokus kepada pengajaran dan pendalaman kajian keislaman (tafaqquh fi al-din), madrasah mengalami modernisasi, berkembang menjadi lembaga pendidikan modern yang tidak sekadar mengajarkan pengetahuan keagamaan tapi juga pengetahuan dan keterampilan umum. Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan madrasah di Sumatera Barat di awal abad ke-20. Memperkenalkan metode pendidikan baru yang diambil dari lembaga pendidikan modern di Eropa, madrasah di Sumatera Barat mulai menerapkan, misalnya, gaya mengajar baru: kelas berjenjang, papan tulis, meja untuk siswa serta buku, serta pemberian pendidikan umum seperti ilmu bumi atau sejarah, hal yang sebelumnya hanya dipraktikkan di sekolah-sekolah Belanda (Steenbrink 1986: 44-45).

Posisi madrasah semakin strategis setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, terlebih dengan adanya proses integrasi sistem pendidikan madrasah dengan sistem pendidikan nasional. Perkembangan ini utamanya diprakarsai oleh Kementerian Agama, intitusi negara tempat lembaga pendidikan Islam bernaung, yang telah menyusun perencanaan, merumuskan konsep, kebijakan, dan mengimplementasikannya dalam konteks modernisasi madrasah; mengupayakan perkembangan dan kemajuan madrasah dengan melengkapi sarana prasarana yang dibutuhkan berdasarkan sistem pendidikan modern. Terbitnya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (SKB 3 Menteri), antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975 tanggal 24 tahun 1975 membuat posisi madrasah semakin strategis, ditandai setidaknya oleh empat hal: pertama, madrasah memiliki tiga tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA. Kedua, ijazah madrasah untuk semua jenjang mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. Ketiga, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas. Keempat, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. SKB juga mensyaratkan agar komposisi kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama (Djamas 2009: 185; Saridjo 1996:27).

Modernisasi madrasah pada gilirannya membawa dampak positif bagi proses pembangunan bangsa. Selain menjadi tumpuan bagi masyarakat muslim untuk memperoleh layanan pendidikan Islam berkualitas, madrasah juga mendorong proses mobilitas sosial masyarakat, ditandai dengan kemunculan kelas menengah terdidik yang produktif berkarya, memperoleh pengakuan internasional, dan aktif sebagai penggerak perubahan sosial. Corak pendidikan Islam yang dikembangkan di madrasah menyumbang pada pembentukan masyarakat muslim Indonesia yang modern, moderat, dan toleran.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Djamas, Nurhayati (2009), Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press)

Maksum (1999), Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).

Noer, Deliar (1980), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES).

Saridjo, Marwan (1996), Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco).

Steenbrink, Karel A. (1986), Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES).

Subhan, Arief (2012), Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: Kencana)