AMPERA

From Ensiklopedia

Ampera merupakan akrnonim dari Amanat Penderitaan Rakyat. Pertama kali istilah ini dilontarkan oleh Presiden Sukarno dalam amanat politiknya di depan Kongres Partai Murba pada 15 Desember 1960. Pidato yang kemudian dicetak oleh Kementerian Penerangan tersebut, diberi judul, “Nasionalisme Kita adalah Nasionalisme Amanat Penderitaan Rakyat,” (Sukarno, 1960:1).

Gambar Sampul Pidato Bung Karno Nasionalisme Kita adalah Nasionalisme Amanat Penderitaan Rakyat. Sumber: Kementerian Penerangan, 1960.


Tahun 1963 Bung Karno kembali mengemukakan konsep Ampera dalam pidatonya yang berjudul “Genta Suara Revolusi Indonesia”. Bung Karno memberi defenisi bahwa pokok-hakekat daripada Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) adalah kesadaran sosial dari rakyat Indonesia. “Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia itu adalah bagian daripada social consciousness of mankind”, demikian tegas Bung Karno dalam pidatonya. Amanat Penderitaan Rakyat, tambah Bung Karno juga harus berhubungan erat dengan amanat penderitaan untuk seluruh umat manusia (Sukarno, 1963: 10).

Istilah ampera kemudian muncul kembali pada 1966, melekat pada gelar Pahlawan Ampera. Sebutan ini muncul berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XXIX/MPRS/1966. Dinyatakan dalam Tap MPRS tersebut bahwa gelar Pahlawan Ampera dianugerahkan kepada setiap korban perjuangan menegakkan dan melaksanakan Amanat Penderiataan Rakyat dalam melanjutkan pelaksanaan Revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Beberapa tokoh mahasiswa yang termasuk sebagai pahlawan Ampera di antaranya adalah Arif Rahman Hakim, tokoh dari organisasi Aksi Kesatuan Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Ikhwan Ridwan Rais, tokoh dari Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) (Kahin, 2005: 392).

Berbeda dengan konsep awal yang diberikan Sukarno, istilah Ampera sejak tahun 1966 dimaknai sebagai penderitaan rakyat akibat dari berbagai persoalan ekonomi dan kekacauan politik yang berpuncak pada G30S 1965. Kata Ampera dilengketkan pada gelar para korban yang jatuh karena berondongan peluru Pasukan Cakrabirawa saat demonstran yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, pemuda belajar, dan kesatuan buruh mendekati istana Presiden (Imawan 1966: 29; Sulastomo, 2008: 161).

Ada nuansa makna desoekarnoisasi dalam istilah Ampera sejak tahun 1966. Nuansa makna ini juga terlihat dari digantinya nama Jembatan Sukarno di Palembang, sebuah jembatan di terpanjang di Indonesia saat, menjadi Jembatan Ampera. Tidak itu saja, Ampera bahkan dijadikan sebagai simbol kegagalan Sukarno yang menyebabkan kemiskinan dan penderitaan rakya juga ditemukan dari digantinya sebutan nasi ramas menjadi nasi ampera, terutama di daerah-daerah di luar Jawa.

Penulis: Fikrul Hanif Sufyan
Instansi: STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Imawan (1966). KAMI: Kebangkitan Angkatan 66. Jakarta: Srana Dwipaa

Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi. Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sukarno (1960). Nasionalisme Kita adalah Nasionalisme Amanat Penderitaan Rakyat. Jakarta: Kementerian Penerangan.

________(1963). Genta Suara Revolusi Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan.

Sulastomo (2008). Hari-hari yang Panjang. Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Jakarta: Kompas.