Abendanon, Jacques Henrij

From Ensiklopedia

Jacques Henrij Abendanon, sering kita sebut dengan J. H. Abendanon (atau Tuan Abendanon) adalah tokoh penting dalam perkembangan Politik Etis di Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (sekarang Indonesia) periode 1900-1905. Ia lahir di Paramaribo, Suriname, titimangsa 14 Oktober 1852, dan wafat di Monako, titimangsa 13 Desember 1925 (lihat Ouwehand, 2015).

Jacques Henrij Abendanon merupakan anak dari Simon Abendanon, seorang bankir, dan Julia Abendanon. Dia menikah dengan Anna Elisabeth de Lange titimangsa pada 22 Desember 1876. Dari pernikahan ini lahirlah tiga orang putra. Setelah kematian Anna Elisabeth de Lange (8 Januari 1882), Jacques Henrij Abendanon menikah dengan Rosa Manuela Mandri, titimangsa 1 Agustus 1883. Tidak ada anak yang lahir dari pernikahan ini. Jacques Henrij Abendanon berasal dari keluarga Yahudi yang mungkin berasal dari Portugis-Brasil, yang didirikan di Suriname selama beberapa generasi. Pada usia hampir sepuluh tahun, ia datang ke Belanda bersama orangtuanya pada 1862. Ayahnya, yang saat itu masih menjadi juru sita di Paramaribo, berharap mendapat dukungan di sini untuk rencananya mendirikan Bank Suriname. Dia memang berhasil dalam niat itu dan kembali ke Paramaribo tahun 1865 sebagai sekretaris-direktur Surinaamsche Bank n.v., di mana dia meninggal lima tahun kemudian (lihat Ouwehand, 2015).

Jacques Henrij Abendanon muda tetap tinggal di Belanda, dan bersekolah gimnasium di Leiden dan tahun 1870, juga di kota itu, memulai studi hukum. Studi ini harus diselesaikan pada Januari 1874 dengan gelar doktor (tentang proposisi), setelah itu dia mempersiapkan diri di Delft di lembaga Hindia Belanda dengan tujuan untuk karir peradilan di luar negeri yang ia cita-citakan. Pada akhir tahun 1874, Jacques Henrij Abendanon juga lulus ujian ini dan dikirim ke Hindia Belanda. Setelah bekerja di bagian pendaftaran berbagai badan peradilan di Jawa, Jacques Henrij Abendanon menjadi ketua Landraad di Pati pada 1878 dan anggota Dewan Kehakiman di Batavia tahun 1881. Sangat terpengaruh oleh kematian istri mudanya, Jacques Henrij Abendanon mengambil cuti dan melawat ke Eropa selama dua tahun pada 1882; selama cuti itu dia bertemu istri keduanya, seorang Puerto Rico (lihat Teeuw, 1994: 103-141).


Antara 1884 sampai 1889, Jacques Henrij Abendanon menjadi anggota Dewan Kehakiman di Batavia, setelah itu dia meninggalkan peradilan untuk menjadi sekretaris Departemen Pendidikan, Urusan Agama dan Perindustrian. Tahun 1894 dia menjadi hakim Mahkamah Agung Hindia Belanda. Jacques Henrij Abendanon mengambil kursi lain di perguruan tinggi ini pada 1896, pasca cuti Eropa satu tahun. Setelah cuti ini, dia menyelidiki di Thailand atas nama pemerintah perlunya pengaturan lebih lanjut tentang perlindungan yang akan diberikan oleh Belanda kepada warga negara Hindia Belanda yang berasal dari Cina (Tionghoa) (Van Niel, 1984: 25).

Sebagai anggota peradilan, Jacques Henrij Abendanon memperoleh jasa besar melalui adaptasi sistematisnya dari yurisprudensi Indonesia yang sebelumnya tidak dapat diakses dalam hukum kasus dan literatur hukum Hindia Belanda dari tahun 1849 hingga 1930. Dia juga aktif meneliti dan menulis dengan publikasi lain, seperti dengan hubungan hukum publik dan privat antara Belanda dan koloni Belanda (Batavia, 1891) dan banyak kontribusi untuk Indisch Weekblad van het Recht. Sementara kasus-kasus ini masih menyangkut risalah teknis-hukum, ketidaksetaraan hukum, dan perampasan penduduk asli secara bertahap menempati tempat sentral dalam tulisan-tulisan Jacques Henrij Abendanon. Pekerjaan peradilannya meyakinkannya bahwa karena banyak peraturan yang sudah ketinggalan zaman dan praktik sewenang-wenang, keadilan yang diberikan kepada orang Jawa tidak cukup (Toer, 2003: 60-62).

Dalam sebuah kuliah untuk Indisch Genootschap tahun 1896, antara lain, dia secara terbuka mencela pelanggaran tertentu dan menyatakan keyakinannya, bahwa penduduk asli berhak atas perlakuan yang sepenuhnya sama dengan orang Eropa; Jacques Henrij Abendanon juga menolak pembedaan apa pun berdasarkan ras atau warna kulit. Pandangan ini mungkin sebagian dipengaruhi oleh persahabatannya dengan Raden Mas Ismangoen Danoewinoto (1852-1895), orang Jawa pertama dan satu-satunya orang Jawa yang mengikuti ujian besar pegawai negeri, namun kemudian digagalkan kariernya di kemudian hari karena prasangka rasial oleh banyak kalangan pejabat Belanda (Simbolon, 2006: 639-640).

Selain itu, Jacques Henrij Abendanon dapat dilihat sebagai salah satu pejabat ‘beretika’ pertama yang melihatnya sebagai tugas Kerajaan Belanda untuk melakukan segala kemungkinan untuk pembangunan negara dan rakyat Hindia Belanda. Pengangkatannya titimangsa Maret 1900 sebagai direktur Pendidikan, Urusan Agama dan Industri–‘departemen kesejahteraan’ par excellence saat itu– memberinya kesempatan untuk mempraktikkan pelbagai idealismenya. Secara khusus, Jacques Henrij Abendanon sangat mempromosikan pendidikan Barat, berbahasa Belanda, untuk anak-anak pribumi, dan terutama untuk anak-anak perempuan (Wibisono, 2020: 62-63).

Jacques Henrij Abendanon pertama datang ke Hindia Belanda pada Maret 1900. Dia ditugaskan Kerajaan Belanda untuk menyukseskan Politik Etis. Lantaran baru pertama datang, dia agak kelimpungan. Jacques Henrij Abendanon pun meminta bantuan temannya yang seideologis, Snouck Hurgronje, yang kita kenal sebagai orientalis dan arsitek kemenangan Hindia Belanda pada Perang Aceh. Salah satu fokus utama Abendanon dalam menjalankan tugasnya adalah pendidikan untuk perempuan. Snouck sendiri memberi nasihat kepada Jacques Henrij Abendanon untuk memberi perhatian lebih terhadap tiga puteri Bupati Jepara, teristimewa yang paling tua, R.A. Kartini. Dari sinilah perkenalan keduanya dimulai. Melalui J. H. Abendanon, Kartini akhirnya mengenal Nyonya Abendanon (Rosa Manuela Abendanon) saat keduanya datang ke Jepara titimangsa 8 Agustus 1900 (Locher-Scholten, 1996: 56, 244).

Nyonya Abendanon adalah seorang perempuan yang suka membantu mempraktikkan gagasan-gagasan etis suaminya dengan menerima pelajar-pelajar bumiputra di rumahnya dan memberi bimbingan kepada mereka—termasuk Kartini dan dua adiknya: Roekmini dan Kardinah. (Nyonya Abendanon pernah membuat Kartini kecewa berat karena menghalang-halanginya dan dua adiknya sekolah ke Belanda). Selain membimbing, setelah Kartini wafat di usia sangat muda, Jacques Henrij Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirim Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht—dari sinilah kita tahu pikiran-pikiran cemerlang Kartini—dan terbit tahun 1911 (lihat Kartini, 1963; Kartini, 1989; Kartini, 2021).

Jacques Henrij Abendanon merupakan pejabat yang sangat mendukung Politik Etis. Dia pernah menyatakan bahwa penduduk pribumi Hindia Belanda berhak atas perlakuan yang sama sepenuhnya dengan orang Eropa dan menolak diskriminasi. Bahkan secara khusus ia mempromosikan pendidikan Barat berbahasa Belanda untuk pribumi dan perempuan pada khususnya. Jacques Henrij Abendanon pernah berubah sikap menghalangi Kartini untuk bersekolah di Belanda. Alasannya adalah agar moral Politik Etis tetap terjaga dan kekhawatiran bahwa dia akan mendorong kelahiran kaum proletariat pribumi yang suka menunjuk keburukan sosial di Hindia Belanda (Bijl and Grace, 2020: 19-20).

Dukungan Jacques Henrij Abendanon terhadap gagasan Kartini secara langsung juga disebabkan karena dia menyetujui pandangan ihwal universalisme keagamaan ini. Dia juga berpendapat bahwa dalam berkehidupan beragama sudah semakin disadari bahwa manusia kian mendekatkan diri satu sama lain. Mereka mengingatkan agar agama-agama saling bekerja sama demi kepentingan kemanusiaan. Mereka mengingatkan suatu agama yang mempersatukan dan bukan memecah. Mereka menyerukan semboyan: “O people of the world, ye are the fruit if one tree, and the leaves of one branch!” Sudah barang tentu, ada perbedaan di antara cabang-cabang dan daun-daun itu. Ada yang berwarna hitam, cokelat, kuning, dan putih, tapi di hadapan Tuhan kesemuanya sama (Sumartana, 2013: 80).

Penulis: Muhammad Iqbal


Referensi:

“Abendanon, Jacques Henrij (1852-1925)”. http://resources.huygens.knaw.nl/bwn/BWN/lemmata/bwn3/abendanon Diakses titimangsa 21 Oktober 2021.

Bijl, Paul and Grace V.S. Chin (eds.). (2020). Appropriating Kartini. colonial, national and transnational memories of an Indonesian icon. Singapura: ISEAS dan Yusuf Ishak Institute.

Kartini, R. A. (1963). Habis Gelap Terbitlah Terang. terj.: Armijn Pane. Djakarta: Balai Pustaka.

______. (1989). Surat-Surat Kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya. terj.: Sulastin Sutrisno. Jakarta: Djambatan, KITLV, dan LIPI.

______. (2021). Kartini: The Complete Writings 1898-1904. ed. and trans.: Joost Coté. Clayton: Monash University Publishing.

Locher-Scholten, Elsbeth. (1996). Etika yang Berkeping-keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877-1942. terj.: Nicolette P. Ratih dan Th. van den End. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Ouwehand, L. (2015). “Archief Jacques Henry Abendanon (brieven Kartini)”. Leiden University. https://disc.leidenuniv.nl/view/item/1887338?solr_nav%5Bid%5D=ee1f867efd358b699bb0&solr_nav%5Bpage%5D=9&solr_nav%5Boffset%5D=22 Diakses titimangsa 21 Oktober 2021.

Simbolon, Parakitri T. (2006 [1995]). Menjadi Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sumartana, Th. (2013). Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Yogyakarta: Gading Publishing.

Teeuw, A. (1994). Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm. 103-141.

Toer, Pramoedya Ananta. (2003). Panggil Aku Kartini saja: Jepara 25 Mei 1899. Sebuah Pengantar pada Kartini. (Bagian I & II). Jakarta: Lentera Dipantara.

Van Niel, Robert. (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia. terj.: Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wibisono, Joss. (2020). Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang bahasa dan kuasa. ed.: Muhammad Iqbal. Yogyakarta: Tanda Baca.