Kartini

From Ensiklopedia
Kartini (kanan). Sumber: Koleksi Digital KITLV - 15468

Kartini adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan nasional yang berperan besar dalam kebangkitan perempuan Indonesia. Ia lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 dari pasangan Adipati Aria Sosroningrat dan M. A. Ngasirah. Sebelum menjadi Bupati Jepara, ayahnya menjabat sebagai Asisten Wedana onder-distrik Mayong, Jepara. Sedangkan M.A. Ngasirah adalah putri dari KH. Modirono, seorang guru agama sekaligus pimpinan sebuah pesantren dari Telukawur, Jepara. 

Lingkungan masa kecilnya sangat erat dengan adat dan tradisi Jawa; dipingit dan menjadi Raden Ayu. Ia hidup dalam suasana feodalisme Jawa yang mengatur hubungan kekerabatan, sikap dan perilaku dalam suatu tata krama yang pelik dan rumit, memaksakan cara seseorang bagaimana harus duduk, berdiri, memandang, memegang tangan, menunjuk dan sebagainya (Poedjosoewarno, 1968, seperti dikutip Arbaningsih, 2005: 33).

Ia memperoleh pendidikan dasar dari Sekolah Rendah Belanda (ELS/Europeesche Lagere School) di tengah budaya feodal yang tidak mengenal anak perempuan masuk sekolah. Di sekolah, ia harus mengikuti aturan yang juga sangat feodalistik; siswa dipilah berdasarkan warna kulit serta kedudukan orang tua dalam susunan kepegawaian dan struktur sosial (A.J. Kairupin, 1903: 102-3). Awalnya Kartini kesulitan dalam berbahasa. Bahasa pengantar di sekolah yaitu bahasa Belanda. Kartini yang sehari-hari berbahasa Jawa awalnya sulit mengikuti, namun lambat laun ia mampu menguasai Bahasa Belanda dengan cukup baik (Toer, 1962). Hal ini membuatnya semakin memahami banyak hal. Berbekal pengalaman yang intens, daya kritis Kartini semakin terasah, mendorongnya menjadi ‘pemberontak’ yang menanamkan kesadaran bagi segenap masyarakat pribumi, meletakkan pondasi utama pembentukan identitas nasional.

Kemampuan bahasa Belanda yang ia peroleh dari sekolah membuka babak baru dari kehidupan Kartini. Setelah dengan rutin membaca koran Semarang, De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft, Kartini dengan kemampuan bahasa Belanda yang cukup baik berhasil larut dalam banyak isu-isu penting di majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Majalah ini diasuh oleh Johanna van Woude, nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Wermeskerken, salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda, yang secara khusus merangkum berbagai ide-ide progresif yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Di majalah De Hollandsche Lelie Kartini memuat iklan kecil tertanggal 15 Maret 1899 yang berisi tentang keinginannya berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita', khususnya gadis Belanda yang berpikiran terbuka dan menaruh perhatian terhadap isu-isu modern di Eropa (Sitisoemandari, 1986).

Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang aktivis feminis Belanda, berusia lima tahun lebih tua dari Kartini, merespons ajakan tersebut, dan sejak itu keduanya mulai melakukan korespondensi. Kartini, melalui surat-suratnya kepada Stella, menceritakan kisah hidup dan semua pengalamannya sejak kecil. Ia misalnya bercerita bagaimana ia menghabiskan waktu sebagai gadis bangsawan yang dipingit dan harus tinggal di rumah yang justru seperti ‘penjara’.

“Kau tanyakan kepadaku, bagaimana keadaanku di antara empat dinding tebal itu. Kau tentu pikir tentang sebuah sel atau semacamnya. Tidak, Stella, penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku. Betapa luasnya pekarangan itu, kalau orang harus terus tinggal di situ, menjadi sesak juga rasanya. Aku masih ingat bagaimana dalam putus asa yang gelap-gulita itu badanku selalu kulemparkan pada pintu-pintu yang terkunci dan pada tembok dingin. Arah manapun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci." (Surat, Jepara 25 Mei 1899, kepada Estella Zeehandelaar, seperti dikutip Toer, 1962)

Kartini juga bercerita bagaimana adat istiadat begitu membelenggunya, terlebih baginya yang notabene seorang perempuan dengan berbagai keterbatasan dan keterkungkungan, baik dalam lingkup sosial maupun budaya. Suatu kali Kartini berkisah kepada Stella:

“Waktu aku berumur dua belas tahun, aku pun dipulangkan ke rumah – aku harus masuk ke dalam “kotak”; aku dikurung di dalam rumah dan sama sekali terputus hubungan dengan dunia luar, yang tak boleh kumasuki lagi, kalau tidak di samping seorang suami, seorang pria yang sama sekali tak kukenal, yang dipilihkan orang tua kami tanpa sepengetahuan kami. Sahabatku orang Eropa–sebagaimana kudengar di kemudian hari–telah mencoba berbagai daya untuk mengubah pendirian Ayah agar menarik keputusannya yang kejam terhadapku, si bocah yang ceria itu, tapi sia-sia usaha mereka – orangtuaku tiada dapat diubah –, dan masuklah aku ke dalam penjaraku. Empat tahun panjang-panjang telah kulewatkan dalam kurungan empat tembok tebal, tanpa melihat dunia luar. Bagaimana aku lewatkan masa itu aku tak tahu, yang aku ketahui hanyalah bahwa masa itu mengerikan.” (Surat, Jepara 25 Mei 1899, kepada Estella Zeehandelaar, seperti dikutip Toer, 1962)

Meski demikian, sebagai putri bangsawan, Kartini memperoleh kecakapan hidup yang dibutuhkan seorang anak meskipun itu diperolehnya saat menjalani masa pingitan. Beberapa guru didatangkan sang ayah untuk mengajari Kartini menyulam, menjahit, memasak, membatik, termasuk membaca Al-Quran. Tujuannya semata agar Kartini memiliki kemampuan serta kecakapan yang luas (Priyanto, 2017).

Empat tahun terkungkung sebagai gadis pingitan, Kartini semakin menyadari arti kebebasan berdasarkan kehendak diri. Perlahan namun pasti, ia mulai menggugat budaya Jawa yang cenderung tak memberi panggung bagi perempuan serta didominasi maskulinitas Jawa yang memingit perempuan dari kebebasan berpikir dan cita-cita, meskipun hal itu ditujukan demi memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara. Hal ini yang membuatnya begitu sumringah ketika sang ayah mengajaknya menghadiri upacara pembaptisan sebuah gereja baru di Kedungpenjalin pada 1896. Sebagai gadis berusia 16 tahun, ajakan itu begitu menggembirakan, memberinya kesempatan untuk melihat dunia luar sebagai individu yang bebas, meskipun ketika pulang, ia kembali masuk pingitan (Chudori, Tempo, 2013: 38-39).

Namun sejak itu Kartini tidak lagi terlalu dibebani status gadis pingitan. Ia tak mempermasalahkan keputusan ayahnya agar dirinya tinggal lebih lama di Dalem Kabupaten setelah ia secara tegas menolak menjadi Raden Ayu. Bersama kedua adiknya yang juga dalam status dipingit, ia justru berupaya menerapkan prinsip kesetaraan dan belajar arti kebebasan. Mereka menjalani pergaulan yang begitu akrab, tanpa kekakuan tradisi, mendefinisikan diri sebagai Het Klaverblad atau ‘Daun Semanggi’, sehingga mendatangkan cibiran dari lingkungan sekitar. Kepada Stella, Kartini menjelaskan kondisinya saat itu, “Kami bahkan dijuluki kuda atau kuda liar karena jarang sekali berjalan, tapi pecicilan ke sana-kemari.” 

Di tengah kondisi tersebut, Kartini mengajarkan kedua adiknya tentang pentingnya pendidikan dan perlunya menggiatkan aktivitas literasi, membaca banyak buku, majalah maupun surat kabar yang kebetulan tersedia di rumah mereka. Aktivitas menulis menjadi bagian penting hidup Kartini. Selain malam hari, ia mulai menulis pada sekitar pukul lima pagi. Tema tulisannya beragam, termasuk seputar persoalan kebudayaan. Pada 1898, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie, Jurnal ilmiah bidang Bahasa, antropologi, dan sejarah yang terbit sejak 1854, memuat tulisannya bertajuk Het Huwelijk bij de Kodja’s yang mengulas upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Secara detail Kartini mengulas prosesi perkawinan warga keturunan Arab di Jepara tersebut, membuatnya layak disebut sebagai antropolog pertama di Indonesia (Kwartanada seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 45).

Di tahun 1989 pula sang Ayah membebaskan Kartini dari pingitan, termasuk kedua adiknya, membuat mereka bersemangat dan merasa menjadi pribadi merdeka, setidaknya dari tradisi yang begitu mengungkung mereka. Terlebih saat itu sang Ayah mengajak mereka keluar Jepara untuk menghadiri dan merayakan penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. “Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak bergantung pada orang lain,” tulis Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899. “Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, ‘dunia’ menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami,” ujar Kartini melanjutkan (Sitisoemandari, seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 44).

Sejak itu sikap emansipatif Kartini semakin terlihat. Bersama kedua adiknya, Kartini menginisiasi berbagai kegiatan sosial, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa pengrajin yang tinggal di Blakang Gunung. Selain memberikan bimbingan dalam desain, mereka juga membantu mencarikan pemesan di kalangan para Belanda teman korespondensinya. Kartini juga mengupayakan agar orang Belanda menghargai hasil kerajinan seni ukiran Jepara. Upayanya berhasil dan membuat usaha para pengrajin dari Blakang Gunung maju berkembang. Pada 1900, Kartini dan kedua adiknya juga memperkenalkan seni batik kepada publik Belanda dalam sebuah pameran kerajinan di Den Haag. (Sitisoemandari, 1986: 103-7; Arbaningsih, 2005: 40).

Meski sibuk dengan kegiatan sosial, Kartini tetap bergumul dengan banyak bacaan, baik yang bersumber dari surat kabar, majalah, maupun buku-buku terbitan Belanda, membuatnya bersentuhan dengan wacana modern Eropa melalui pembacaan atas karya-karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis berbahasa Belanda. Aktivitas tersebut, ditambah intensitas korespondensinya dengan Stella, semakin mematangkan daya nalar Kartini. Apa yang dipikirkan dan dilakukan Kartini senantiasa menuju ke arah modernisasi, dan semakin mengukuhkannya sebagai pribadi yang kreatif dan emansipatif (Arbaningsih, 2005: 39).

Dari Stella pula Kartini mengenal konsep adeldom verplicht, kebangsawanan menanggung kewajiban—istilah serupa: noblesse oblige, keningratan membawa kewajiban (Adhitama, 1979), yang semakin menegaskan kepercayaan Kartini bahwa feodalisme bisa dibendung khususnya melalui peneguhan prinsip “makin tinggi kebangsawanan, tugas dan kewajibannya terhadap rakyat makin berat”. Dalam suratnya untuk Stella, 6 November 1899, Kartini menulis, “Kebangsawanan menangunggung kewajiban…. bodoh saya mengira bahwa kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai-bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti! Betapa pahit kekecewaan saya dalam hal ini.” (Sulastin, 1979:14)

Keluhuran budi pekerti menjadi perhatian Kartini, khususnya dalam konteks pemberian pendidikan yang baik kepada masyarakat, pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Hal tersebut, menurut Kartini, harus menjadi fokus pengajaran yang diberikan kepada masyarakat Jawa (Surat Kartini kepada Stella Z, 12 Januari 1900). Di lain kesempatan, kepada M.C.E. Ovink-Soer, Kartini menulis:

“…. Tetapi apakah kecerdasan pikiran itu sudah berarti segala-galanya? Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan…. Salah satu sifat orang Jawa yang tidak baik, yang kalau perlu dibasmi inilah sifat gila sanjungan…dan kami hanya dapat mencapainya melalui pendidikan akhlak,” (Arbaningsih, 2005:3151).

Pandangan ini menjadi titik pijak Kartini yang hidup di saat feodalisme mencengkeram kuat tanah Jawa. Dengan landasan berpikir tersebut, Kartini melancarkan pemberontakan terhadap berbagai hal yang dinilai tak memperlakukan manusia secara setara, dan itu ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Spektrum gagasan Kartini begitu luas, tidak hanya perihal kesetaraan, namun juga kebebasan seorang individu. Sering pula Kartini menuangkan refleksinya atas persoalan agama, seperti poligami yang dianggap sangat membela ego laki-laki. Ia begitu kecewa terhadap sistem poligami yang mengizinkan kaum lelaki Islam menikah dengan empat wanita. Meski dalam ajaran Islam itu dibenarkan, Kartini tetap menyebutnya sebagai dosa karena tidak adil bagi pihak perempuan. “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu,” tulis Kartini.

Dalam banyak surat yang ditulis, Kartini tak segan mengkritik kegiatan atau ajaran agama yang dianggap tidak berlandaskan asas kemanusiaan, termasuk kecenderungan masyarakat yang menjalankan ajaran agama tanpa memahaminya secara mendalam. Dalam suratnya kepada Stella, ia menulis:

“….. Di sini orang diajari membaca Quran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mengenal dan memahami agama saya maka saya harus pergi ke tanah Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, ‘kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?”

Dalam konteks ini, Kartini memandang agama melalui sudut pandang yang manusiawi (Sumartana, 2013:40). Tidak hanya berlaku terhadap agama Islam, kritik juga dilancarkan kepada agama lainnya. Tentang kegiatan zending, misi Kristen berupa layanan pendidikan dan kesehatan, misalnya. Ia mengkritik zending yang pada saat itu diadakan hanya untuk menarik jemaat, bukan sepenuhnya untuk membantu sesama. Ia keberatan pada usaha zending yang sibuk dengan panji-panji keagamaan dengan tujuan mengkristenkan umat Islam di Jawa.

“Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa ajarlah ia mengenal Tuhan yang Esa, mengenal Bapa pengasih dan penyayang, Bapa semua mahluk, Bapa seorang Kristen, orang Islam, orang Budha, Yahudi dan lain – lain. Ajarlah dia agama yang sebenarnya, yaitu agama yang melekat di rohani sehingga orang dapat memeluk agama itu, baik sebagai orang Kristen maupun sebagai orang Islam dan lain – lain” (Sumartana, 2013: 46).

Sebelum mengenal Stella, Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink, adalah sosok yang pertama tama menggugah kesadaran Kartini. Marie sudah dikenalnya sejak belia, sebelum ia mulai dipingit, menyapanya dengan panggilan "Moedertje", ibu tersayang (Marie Ovink-Soer, 1925). Sebagai feminis yang juga produktif menerbitkan novel remaja Belanda, Marie Ovink-Soer menginspirasi Kartini, terlebih setelah Marie menulis di majalah De Hollandsche Lelie perihal persoalan adat perjodohan dan poligami di masyarakat Jawa yang menurutnya sangat mengerikan. Marie yang pada perjalanannya memperkenalkan Kartini pada sastra feminis Belanda, seni lukis, bahasa Belanda, serta mendorongnya untuk menulis, termasuk membujuk ayah Kartini untuk berlangganan majalah De Hollandsche Lelie untuk Kartini dan adik-adiknya (Chudori, Tempo, 2013: 14-16)

Selain kedua nama tersebut, Kartini juga melakukan korespondensi dengan Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, J.H. Abendanon. Selain berbagi kisah hidupnya, Kartini juga banyak mengutarakan pandangan tidak hanya persoalan sosial-politik namun juga kebudayaan dan agama.  Dari korespondensinya dengan Rosa, tergambar ide-ide kemajuan dari Kartini khususnya terkait visinya memberdayakan perempuan pribumi agar mampu mengejar prestasi perempuan Eropa.

Nama lain yang menjadi kawan bercerita Kartini adalah Hendrik de Booy, ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, dan istrinya Hilda Gerarda de Booy-Boissevain; Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, dan istrinya, Nellie van Kol Porreij, editor Hollandsche Lelie; Dr. Nicolaus Adriani, pendeta dan ahli Bahasa di Poso; serta G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena, Jerman (Chudori, Tempo, 2013: 19). Kepada mereka Kartini menulis sekitar 114 surat (Sulastin, 1979), antara lain: Estelle H. Zeehandelaar atau Stella (14 surat); Ny. Ovink-Soer (8 surat); Prof. dr. G.K. Anton di Jena dan istrinya (3 surat); Dr. N. Andriani (4 surat); Ny. H.G. de Booy-Boissevain (5 surat); Ir. H.H. van Kol (3 surat); Ny. N. van Kol (3 surat); Ny. R.M. Abendanon-Mandri (49 surat); Mr. J.H. Abendanon (5 surat); dan E.C. Abendanon (6 surat). Surat-surat tersebut menjadi bentuk kepedulian etis Kartini atas penderitaan dan keterbelakangan masyarakat, khususnya di pulau Jawa, yang hidup dibawah sistem kolonial Belanda yang begitu menindas dan eksploitatif (Arbaningsih, 2005: 50). Melalui surat-surat itu pula Kartini hendak mengirim pesan kepada publik Hindia Belanda bahwa perempuan juga perlu diposisikan secara setara, dibebaskan dari berbagai kungkungan budaya yang ada. Ide-ide Kartini pada gilirannya menjadi manifesto emansipasi perempuan dan platform bagi dekolonisasi Jawa (Coté, 2005).

Seperti sering disampaikan kepada kedua adiknya, pendidikan bagi Kartini adalah pintu bagi kebebasan, jalan utama mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Baginya pendidikan akan memperkuat posisi dan peran perempuan di ruang publik, setara dengan laki-laki. Karena itu, pendidikan berlaku untuk semua, tak peduli jenis kelamin dan kelas sosial. Tentang ini Kartini menulis:

“…orang Jawa, terutama kaum aristokratnya, bagi dirinya lebih suka dihidangi nasi putih di atas meja makannya, tapi tak rela melihat orang lain demikian juga; bagi orang lain dianggapnya nasi merah sudah lebih dari cukup. “Pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa atas mereka!” demikian semboyan banyak, kebanyakan pejabat tinggi yang makan hati melihat orang lain juga berusaha mendapatkan ilmu dan pengetahuan” (Nota, Jepara, Januari 1903 seperti dikutip Gogali, 2013).   

Hal ini memotivasinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Eropa. Alasan mengapa ia berkeinginan belajar di luar negaranya diceritakannya dengan tegas kepada Nyonya Abendanon,

“Kami hendak berikan kepada rakyat kami apa apa yang indah dari peradaban Eropa, bukan untuk mendesak keindahannya sendiri dan menggantinya, tetapi untuk mempermulia yang sudah ada itu. Dengan jalan mengawinkan tumbuh-tumbuhan atau hewan dari berbagai jenis orang biasa mendapatkan jenis yang dipermulia. Bukankah begitu juga di lapangan adat kebiasaan rakyat-rakyat? Kalau yang baik pada rakyat yang satu dicampurkan dengan yang baik pada rakyat lain, bukankah akan timbul adat kebiasaan yang lebih baik?” (Surat, 27 Oktober 1902 kepada Nyoya Abendanon, seperti dikutip Pramoedya, 2003: 157; Sulastin, 1979: 281-288)

Berdasarkan pandangan tersebut, Kartini ingin datang sendiri ke Eropa, menghirup nafas Eropa, merasai iklim dan cuacanya, merasakan semua keindahan dan kekayaan peradaban Barat. Kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis,

“Dan aku sendiri, apa akan aku perbuat di sana? Di sini pun aku dapat belajar sama baiknya dengan di Holland. Benar sekali, tapi bila aku terima pendidikanku di Holland, tidakkah aku akan lebih baik lagi menjalankan kewajibanku sebagai guru dan pendidik? Pandanganku akan menjadi lebih luas, jiwaku makin kaya, dan semua itu tak dapat diragukan lagi akan memperbaiki kemampuan dalam melakukan tugasku. Eropa akan banyak mengajar dan memberi aku, yang aku tidak terima di negeri sendiri.” (Surat, 10 Juni 1902 kepada Nyonya Abendanon, seperti dikutip Pramoedya, 2003: 158).

Ia didukung oleh kawan kawannya di Belanda untuk melanjutkan studi di Eropa. Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, misalnya membantu mengabulkan keinginan Kartini dengan membawa persoalan ini ke parlemen Belanda (Pramoedya, 2003: 158). Ia juga dibantu oleh Stella, sahabatnya yang memiliki jejaring luas di Belanda.

Namun iklim politik saat itu sangat tidak mendukung Kartini untuk merealisasikan niatnya. Kartini menyadari hal tersebut, seperti pesannya kepada Stella pada 1903,

“Orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami, tetapi kalau kamu mau belajar, mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami…..Baiklah Belanda, kalau kamu benci kepada sifat-sifat itu, mengapa kamu tidak berbuat apa-apa untuk menghilangkan sifat itu?... Ungkaplah cadar di mukanya, bukalah matanya dan kau akan melihat bahwa di dalamnya masih ada sifat-sifat lain daripada yang jelek-jelek itu. Kau sendiri tidak usah mencari jauh-jauh, Stella. Di depanmu ini ada tertumpuk pikiran-pikiran dari seorang bangsa kulit coklat yang dihina itu. Bagaimana mereka bisa menilai kami, menilai tingkah laku kami? Kenalkah mereka kepada kami? Tidak! Seperti kami juga tidak kenal mereka! (Surat kepada Stella dalam, Sitisoemandari, 1986:121; Arbaningsih, 2005:70-71).   

Surat itu menjadi curahan hati Kartini yang pada akhirnya gagal melanjutkan pendidikan ke Belanda. Seyogianya pada April 1902 Van Kol berhasil meyakinkan pemerintah Belanda, melalui Mr. Idenburg—nantinya menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda (1909-1916)—untuk memberikan beasiswa ke Kartini dan adiknya, Roekmini. Namun setelah berbincang dengan Mr Abendanon dan Rosa Abendanon pada Januari 1903, dan dengan berbagai pertimbangan, utamanya faktor keluarga; ayahnya terbaring sakit (surat untuk N. Van Kol, 21 Maret 1903), Kartini mengurungkan niat belajar di Belanda dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Batavia (Sitisoemandari, 1986; Arbaningsih, 2005:72-73). Segera Kartini mengirim nota kepada Gubernur Jenderal Rooseboom pada 19 April 1903 terkait rencana belajar ke Batavia. Akan tetapi setelah permohonan tersebut dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Sang Ayah, Adipati Aria Sosroningrat, menarik kembali izin kepada Kartini untuk bisa belajar di Batavia.

Di tengah semangat meraih pendidikan lanjutan yang akhirnya menemui kegagalan, Kartini harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya meminta dia untuk menikah. Dengan pertimbangan membahagiakan orangtua, Kartini yang saat itu berusia 24 tahun menyetujui dan menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri. Kartini, yang begitu membenci poligami (Surat kepada Nellie Van Kol 21 Maret 1903; Surat kepada Stella 25 April 1903) akhirnya menerima takdir sebagai wanita yang dimadu. Poligami justru menjadi bagian dari kisah hidup Kartini.

Namun demikian, sang suami memberikan kebebasan kepada Kartini untuk terus mengejar cita-citanya, termasuk membangun sekolah perempuan. Pada 1903 Kartini mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Saat pertama kali dibuka, sekolah ini diikuti satu orang murid perempuan, membuat Kartini semakin gencar mendatangi para orangtua yang memiliki putri untuk bergabung di sekolah tersebut. Upayanya berhasil, muridnya bertambah menjadi lima orang dalam rentang seminggu. Mereka yang bergabung saat itu berasal dari keluarga priayi Jepara, termasuk seorang putri Jaksa Karimun Jawa. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak. Dibuka selama empat dalam sehari dari pukul 08.00 hingga 12.30. Ia menggambarkan kondisi tersebut kepada Nyonya Abendanon pada 4 Juli 1903, “Sekolah kami sudah mempunyai tujuh murid, dan permintaan baru terus mengalir. Menggembirakan, bukan?” (Chudori, Tempo, 2013: 54).

Kartini juga berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat, salah satunya pemuda-pemuda progresif siswa STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Arts) atau Sekolah Dokter Jawa. Komunikasi komunikasi dengan mereka digambarkan Kartini sebagai berikut:

“Kami telah mendapat banyak pengikut. Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya. ‘Jong Java’ akan membangun persatuan, dan sudah tentu kami bergabung. O, Bunda harus membaca surat-surat dari pejoang-pejoang kami yang bersemangat itu; orang-orang muda yang kelak akan bekerja di tengah-tengah bangsanya. Mereka bersorak-sorak bersama kami…. ”(Kartini dalam Sitisoemandari, 1986:335; Arbaningsih, 2005:101).

Kepada mereka, Kartini menumbuhkan semangat nasionalisme. Pemikiran, gagasan, tulisan dan tindakan Kartini berhasil menumbuhkan keberanian dan kesadaran para pemuda progresif dan terpelajar di STOVIA untuk mulai berfikir dan berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kartini menjadi ‘penyulut api nasionalisme’ bagi pemuda saat itu (Priyanto, 2017).

Setahun kemudian, tepatnya pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Sayangnya, hanya berselang empat hari melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904. RA Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Sepeninggal Kartini, cita-cita membangun negeri melalui pendidikan diteruskan tidak saja oleh adik-adiknya, namun juga oleh banyak orang yang sepenuhnya menyetujui ide-ide Kartini. Pada 1912 Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer dan beberapa tokoh politik etis, membangun Sekolah Kartini di Semarang, berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, Cirebon.

Sebelumnya, sebagai upaya merawat pernik pemikiran Kartini, pada 1911 Rosa Manuela Abendanon berinisiatif menghimpun dan menerbitkan hasil korespondensi Kartini dengan Stella dan kawan-kawan pena lainnya di Belanda dalam buku yang diberi tajuk Door Duisternis tot Licht ("Dari Kegelapan Menuju Cahaya"). Buku tersebut segera menarik perhatian masyarakat luas, diperbincangkan di berbagai kesempatan oleh berbagai lapisan masyarakat. Sejak itu, beragam pemikiran Kartini mulai menggeser pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa.

Sebelum terbit salam sebuah buku, ide dan gagasan Kartini telah tertanam kuat di benak masyarakat, menginspirasi mereka untuk bertindak demi kepentingan bangsa. Ide-ide Kartini tentang semangat kebangkitan berbangsa, misalnya, menginspirasi berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.

Atas jasa-jasa yang diberikan, pada 2 Mei 1964, Presiden Sukarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hari lahir Kartini, 21 April diperingati secara khusus sebagai Hari Kartini, sebuah kebijakan yang berlaku hingga saat ini.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.

Referensi

Adhitama, Toeti. 1979, dalam Haryati Soebadio, dkk. Satu Abad Kartini 1879-1979: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.

Arbaningsih, Dri. 2005. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi "Bangsa". Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Chudori, S. Leila (Peny.), 2013. Seri Buku Tempo: Gelap-Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Coté, Joost. 2005. On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute.

_________. 1992. Letters from Kartini; An Indonesian Feminist 1900-1904. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, Monash University.

Gogali, Lian. 2013. “Kartini: Habislah Gelap, Terbitkan Terang Kartini: After Darkness to A Light” dalam http://www.mosintuwu.com/2013/05/01/

Kairupin, A.J. 1903. Menadonesche School, Taman Pengajaran (Yogyakarta) V/15 Juli 1903-15 Juli 1904.

Ovink-Soer, Marie. 1925. Persoonlijke Herinnering Aan Raden-Adjeng Kartini, Amsterdam: De Bussy.

Priyanto, Hadi. 2017. Kartini, Penyulut Api Nasionalisme, Jepara: Yayasan Kartini Indonesia.

Toer, Pramoedja Ananta. 1962. Panggil Aku Kartini Saja (Bukittinggi-Jakarta: Nusantara.

Toer, Pramoedja Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta).

Sitisoemandari, Soeroto, 1986. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung

Sulastin, Sutrisno, 1979. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Djambatan, Jakarta.

Sumartana, Th. 2013. Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Penerbitan Gading.