Algemene Middelbare School (AMS)
Algemene Middelbare School (AMS) adalah jenjang sekolah persiapan menuju ke perguruan tinggi dengan masa belajar tiga tahun. Sekolah ini didirikan tahun 1919. Sekolah pertama dibuka di Yogyakarta pada 5 Juli 1919 dengan nama AMS Afdeling B dan pada tahun berikutnya di Bandung AMS Wesres Klassieke Afdeling. Pada tahun 1926 dibuka AMS Afdeling B di Jakarta dan Malang. Pada tahun itu juga dibuka AMS Afdeling A di Solo. Hingga tahun ke-20 baru ada 5 buah AMS yang lengkap yaitu: Surabaya (Afdeling B), Jakarta (Afdeling B), Semarang (Afdeling B), dan Yogyakarta (AMS A-II dan AMS Afdeling B) (Djumhur & Danasuparta, 1976: 138; Makmur et all, 1993: 80-81).
Pendidikan AMS dibagi dua, yaitu: Ilmu Pengetahuan Kebudayaan atau Sastra dan Sejarah (bagian A) dan Ilmu Pengetahuan Kealaman atau Matematika dan Fisika (bagian B). Bagian A dipecah lagi menjadi dua, sesuai dengan fokusnya. Bagian A I memfokuskan pada kesusasteraan timur, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Meteri pelajarannya adalah bahasa Jawa, bahasa Melayu, Sejarah Indonesia, dan Ilmu Bangsa-bangsa. Bagian A II difokuskan pada Klasik Barat dengan mata pelajaran pokok adalah bahasa Latin (Djumhur & Danasuparta, 1976: 138). Kendati dibuat pembagian sesuai fokus, namun untuk mencegah perkembangan berat sebelah, murid bagian A juga diberikan pelajaran matematika dan fisika, begitu pula murid bagian B diberikan pelajaran sastra dan sejarah (Nasution, 1994: 138).
AMS bagian B sederajat dengan Hogere Burger School (HBS) 5 tahun. Kalau HBS diperuntukan bagi anak-anak Belanda, maka AMS dibuka untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Indonesia yang sudah tamat Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) untuk melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi. Pada masa Jepang, AMS disebut Sekolah Menengah Tinggi dan pada masa kemerdekaan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) (Djumhur & Danasuparta, 1976: 137-139, 196).
Struktur kurikulum AMS terdiri atas dua, yakni pelajaran umum dan khusus. Pelajaran umum diharuskan bagi setiap siswa, yaitu bahasa Belanda, bahasa Melayu, bahasa Inggris, sejarah, geografi, undang-undang negara, matematika, botani, dan zoologi. Pelajaran khusus disesuaikan dengan bidang masing-masing. AMS Bagian AI mempelajari bahasa Jawa, arkeologi, etnologi Indonesia, fisika, kimia, menggambar tangan, dan bahasa Jerman. Pelajaran khusus untuk AMS bagian A II, klasik Barat, sama dengan klasik Timur kecuali bahasa Latin sebagai pengganti bahasa Jawa, arkeologi, dan tata buku. AMS bagian B mempelajari fisika, kimia, matematika, kosmografi, gambar garis dan bahasa Jerman. Bahasa Prancis sebagai mata pelajaran pilihan (Nasution, 1994: 138-139).
Guru-guru yang mengajar di AMS harus memenuhi syarat yang sama dengan HBS. Biaya studi HBS lebih mahal yakni minimal 15 gulden dibandingkan AMS 7,50 gulden. Sekitar 75% orang tua murid AMS berpendapatan kurang dari 200 gulden sebulan, serta hanya sekitar 25% dari orang tua murid HBS dengan pendapatan tersebut. Penerimaan murid AMS berdasarkan pada angka ujian akhir MULO. Bagi anak yang ingin melanjutkan ke AMS bagian Klasik Barat harus memiliki angka cukup untuk mata pelajaran bahasa Belanda, sedangkan untuk AMS-B harus diperoleh angka cukup untuk matematika dan fisika (Nasution, 1994: 138).
Tamatan AMS AII dapat melanjutkan studi ke fakultas hukum, dan dengan tambahan bahasa Yunani ke fakultas teologi dan filologi. Alumni AMS AI dapat lanjut ke fakultas sastra dan dengan tambahan bahasa Latin juga ke fakultas hukum. Pembagian tersebut tidak memungkinkan siswa pindah jurusan. Sekali seseorang memilih satu jurusan maka ia harus mengikutinya sampai tamat. Karena lulusannya dipersiapkan untuk kuliah di Belanda, maka orientasi belajarnya pun mengenai pendidikan di Belanda (Nasution, 1994: 139).
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Djumhur, I dan Danasuparta (1976, cetakan ke-6; cet-1: 1959) Sejarah Pendidikan. Bandung: Ilmu.
Nasution, S (1994) Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Makmur, D., Pius Suryo Haryono, Sukri Musa, Hadi S (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.