Hogere Burger School (HBS)
Hogere Burger School (HBS) atau sekolah menengah atas Belanda, awalnya diperuntukkan hanya bagi anak-anak dari kalangan Eropa, namun kemudian terbuka untuk anak-anak bumiputra dan Tionghoa (Scherer 1985: 39). Meskipun jumlah anak-anak bumiputra yang belajar di HBS sangat sedikit, yaitu hanya 2% pada 1900 dan 6,1 % pada 1915 (Nasution 2011: 136), sekolah ini telah melahirkan nama-nama penting, termasuk tokoh-tokoh pergerakan nasional. Salah satu tokoh penting yang sempat bersekolah di HBS adalah Sukarno di HBS Surabaya, sebelum masuk sekolah teknik di Bandung (Korver 1985: 236). Raden Hasan Djajadiningrat, putra bupati Serang, adalah lulusan HBS Jakarta (Korver 1985: 247).
HBS didirikan pertama kali pada 1867 di Jakarta dan selanjutnya menyusul di Surabaya pada 1875 dan di Semarang pada 1877. HBS di Surabaya dan Semarang yang semula masa studinya tiga tahun diubah menjadi lima tahun pada 1879. Pada 1882 didirikan HBS tiga tahun untuk anak perempuan di Jakarta (Nasution 2011: 131).
Embrio HBS terkait dengan kebutuhan sekolah lanjutan bagi orang-orang Eropa di Indonesia (Mestoko 1985: 91). Pada 1817 didirikan ELS (Europeesche Lagere School) atau Sekolah Rendah Eropa yang mencontoh sekolah dasar yang ada di negeri Belanda. Selanjutnya muncul ide tentang kebutuhan sekolah lanjutan yang berkesinambungan dengan ELS. Sekolah lanjutan tersebut diperuntukkan bagi golongan Eropa dan kaum elit bumiputra (Jaya dan Kasuma 2012: 16). Pada 1860 raja Belanda menyetujui pendirian sekolah menengah dan memperkenankan namanya digunakan sebagai nama sekolah, yaitu Gymnasium Koning Willem III atau Sekolah Menengah Willem III (Nasution 2011: 130; Jaya dan Kasuma 2012: 16).
Gymnasium ini terdiri dari dua bagian, yaitu Seksi A dan Seksi B. Seksi A diperuntukkan bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, menyajikan program klasik dan lama studi enam tahun. Seksi B memberi persiapan untuk akademi militer di Delft serta akademi perdagangan dan industri. Seksi A tidak mengalami perkembangan berarti. Siswanya hanya lima orang. Oleh karena itu, pada 1968 Seksi A secara resmi ditutup, sementara Seksi B mengalami reorganisasi dan berubah menjadi HBS (Nasution 2011: 131).
HBS di Hindia Belanda disamakan dengan HBS di Belanda. Persamaan tersebut meliputi hampir semua aspek, yaitu pengajarnya orang Belanda, bahasa pengantarnya Bahasa Belanda, serta kurikulum dan mata pelajarannya sama dengan yang digunakan di Belanda (Jaya dan Kasuma 2012: 131). Mata pelajaran yang diajarkan di HBS adalah Berhitung dan Aljabar, Matematika, Mekanika, Fisika, Kimia, Botani, Biologi, Kosmografi, Undang-undang Negara, Ekonomi, Tata Buku, Sejarah, Geografi, Bahasa Belanda, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Inggris, Menggambar Tangan, dan Menggambar Garis. Siswa HBS harus mempunyai bakat tinggi dalam matematika, ilmu pengetahuan alam dan bahasa. Masa studi di HBS adalah lima tahun (Nasution 2011: 132 dan 134).
Sekolah ini dihargai karena menyajikan pendidikan yang bermutu tinggi dengan staf pengajar yang berkualitas. Hanya mereka yang memiliki ijazah Ph.D (Doktor) atau Diploma MO yang berwenang mengajar di HBS, meskipun pada praktiknya tidak sepenuhnya terpenuhi. Untuk periode setengah abad lebih, HBS merupakan satu-satunya jalan ke perguruan tinggi. Memasuki HBS dan menempuhnya dengan hasil yang baik merupakan prestasi yang sangat dihormati oleh masyarakat (Nasution 2011: 134).
Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Jaya, Indra Cipta dan Kasuma, Gayung (2012). “Hogere Burgerschool (HBS): Pendidikan untuk Kaum Elite di Surabaya Tahun 1923-1950.
Korver, A.P.E. (1985). Sarekat Islam. Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers.
Mestoko, Soemarsono (1985). Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Balai Pustaka.
Nasution (2011). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan Keempat.
Scherer, Savitri Prastiti (1985). Keselarasan dan Kejanggalan. Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.