Ali Akbar Navis
Ali Akbar Navis (A.A. Navis) merupakan salah satu sastrawan dan budayawan terkenal Indonesia yang berasal dari Sumatra Barat. Navis lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat pada 17 November 1924 dan meninggal dunia di Padang, 22 Maret 2003. Navis dikenal sebagai sastrawan yang mendapat julukan “pencemooh nomor wahid” dan “intelektual par excelence” sebab kelihaiannya menggambarkan berbagai tokoh kritis terhadap persoalan kehidupan sehari-hari (Yusra, 1994: 2).
Navis merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara. Berbeda dengan kebanyakan putra Minangkabau yang gemar merantau, dia memilih untuk tidak melakukannya. Dalam pandangannya, hal tersebut hanya persoalan pindah tempat tinggal dan lingkungan. Namun, yang menentukan keberhasilan dari merantau adalah kreativitas diri kita sendiri. Kecintaannya terhadap dunia sastra dimulai sejak kecil, yakni berawal dari kegemarannya membaca majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah tersebut memuat berbagai cerpen dan puisi setiap edisinya. Ayahnya yang mengetahui hal tersebut mulai rutin memberikan uang kepada Navis untuk membeli buku yang disenanginya. Itulah modal awal Navis mulai menyukai dunia sastra di kemudian hari (Adila, 2003: 3).
Navis memulai pendidikan formalnya di sekolah Indonesisch Nederlandsch School (INS) Kayutanam, Pariaman selama 11 tahun. Jarak rumah dan sekolah Navis yang lumayan jauh dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku sastra yang telah dibelinya. Kebiasaannya tersebut kemudian membuat dirinya semakin tertarik mendalami dunia sastra (Fadlillah, 1991: 33). Navis menjalani pendidikan formal hanya sampai tingkat menengah di INS. Selanjutnya dia belajar secara otodidak. Namun, kegemarannya membaca berbagai buku selain sastra juga turut menambah wawasannya. Dengan kemampuan yang diasahnya, dia mulai menulis kritik dan esai yang membandingkan kualitas antara cerpen Indonesia dan cerpen asing.
Navis menikah dengan Aksari Yasin pada tahun 1957. Dari pernikahan tersebut mereka dikarunia tujuh orang anak, yaitu: Dini Akbari, Lusi Berbasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 orang cucu. Setelah menikah, istrinya juga kadang ikut membantu pekerjaannya sebagai sastrawan. Ketika menulis sebuah cerita, sang istri ikut mendampingi dan membaca setiap lembar tulisannya. Navis memperhatikan ekspresi wajah istrinya saat membaca tulisannya sebagai tolok ukur tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginnya (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ artikel/A_A_Navis 2021).
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di INS, Navis bekerja secara tidak tetap. Baru pada tahun 1944-1947, ia bekerja sebagai pegawai pabrik porselen di Padang Panjang. Setelah itu, ia kembali menggeluti bidang seni dan budaya. Navis pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat di Bukittinggi (1955–1957). Di almamaternya, Navis pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam pada tahun 1969. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Harian Umum Semangat (1971–1972) sekaligus sebagai anggota DPRD Sumatra Barat selama dua periode (1971–1982). Setelah tidak lagi menjabat sebagai anggota legislatif dan mengundurkan diri dari dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Navis memfokuskan pikirannya hanya untuk menulis (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ artikel/ A_A_Navis 2021).
Karier Navis dalam bidang tulis-menulis bermula sejak tahun 1950-an. Sejumlah karyanya yang diterbitkan sekitar tahun 1955 di beberapa majalah adalah Kisah, Budaya, Mimbar Indonesia, dan Roman. Selain menulis cerpen, Navis juga senang menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, di antaranya: stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Ia sering menulis novel yang berlatar cerita kedaerahan dan keagamaan di seputar masyarakat Minangkabau. Selain aktif sebagai penulis, Navis juga aktif pada perkumpulan Cendekiawan Minang dan sering menghadiri berbagai seminar tentang sosial budaya, baik sebagai peserta maupun pemateri.
Nama Navis mulai terkenal saat cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami diterbitkan dalam majalah Kisah pada tahun 1955. Lewat cerpen ini, dia berhasil menggetarkan pembaca sastra di Indonesia dengan sindirannya yang sangat tajam terhadap kehidupan beragama. Cerpen ini mencerminkan perspektif pemikirannya, yang dimaksudkannya roboh dalam cerpen ini ialah bukan pengertian secara fisik, namun tata nilainya. Hal ini sesuai dengan apa yang saat ini terjadi di Indonesia.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Navis telah menghasilkan banyak karya luar biasa dalam bidang kebudayaan dan kesenian. Ia juga sering menulis berbagai hal, namun yang paling sering tentu saja dalam bidang sastra dan budaya. Sosoknya merupakan salah satu sastrawan hebat Indonesia yang sering mengisi panggung sastra di pentas nasional maupun internasional. Dia juga telah menjadi guru bagi banyak sastrawan dan budayawan di Indonesia (Yusra, 1994).
Minat utama Navis yang menjadi tema karya-karyanya berkisar masalah kemanusiaan seperti: penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan. Warna kedaerahan Minangkabau yang kuat menjadi ciri khas karya-karyanya. Melalui karya-karyanya, Navis berhasil menempatkan ungkapan-ungkapan lokal Minangkabau dengan tetap menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan bangsa dengan konsep yang universal.
Karya-karya Navis menampilkan dialog-dialog yang sangat menarik, latar sosial yang digarap secara meyakinkan, dan berbagai masalah orang Minang menjadi suatu hal yang dianggap penting. Pergulatan hidup antara struktur sosial yang umum berlaku dan tuntutan kuat akan perubahan pada kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri sangat terasa dalam narasi Navis.
Beberapa karyanya yang terkenal selain Robohnya Surau Kami (1955), adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Saraswati si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998) (http://ensiklopedia.kemdikbud. go.id/sastra/artikel/A_A_Navis 2021).
Sebagai sastrawan besar, A.A. Navis telah meraih berbagai penghargaan, antara lain: Robohnya Surau Kami dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955; Saraswati si Gadis dalam Sunyi ditetapkan sebagai cerpen remaja terbaik oleh UNESCO/IKAPI tahun 1988; Jodoh, dinobatkan sebagai cerpen terbaik oleh Radio Nederland dalam acara sayembara menulis tahun 1970; Kawin, mendapat penghargaan dari majalah Femina; mendapat anugerah Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 1988; memperoleh Hadiah Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1992; dan terakhir mendapat Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2000 (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ artikel/A_A_Navis 2021).
Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Adilla, Ivan (2003). A. A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2021. A.A. Navis (1924-2003). Diakses dari http:// ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/A_A_Navis.
Fadlillah (1991). A. A. Navis, Dari Humanisme ke Islam. Padang: Genta Singgalang Press.
Yusra, Abrar (1994). “A. A. Navis: Pengantar Sebuah Otobiografi.” dalam Otobiografi A. A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia.