Angkatan 66
- Kini, dalam tahun 1966 di Indonesia terjadi suatu peristiwa yang penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya Angkatan 66.” (Jassin, 1966:37).
Angkatan 66 merupakan istilah yang muncul untuk menyebut orang-orang yang mendobrak penyelewengan besar oleh negara, yang dianggap dapat mendorong pada kehancuran. Pemberontakan ini oleh Jassin (1966:37) dimaknai sama dengan pemberontakan Chairil Anwar terhadap penjajahan Japang tahun 1943, dalam sya’irnya yang berjudul “Aku”, di mana pada waktu itu terdapat ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang, dan cendekiawan. Meskipun tentu saja protes-protes terhadap penyalahgunaan dan penyelewengan bukan sesuatu yang baru. Protes-protes itu sudah banyak didengar pada tahun 50-an dan sesudahnya (Jassin, 1966:37).
Banyak sajak yang penuh ratapan menyurakan nurani rakyat yang hidupnya tertekan; suatu bentuk pemberontakan yang tidak didengar atau tidak digubris oleh para pembesar. Raktat kelaparan, pemimpin malah berjanji di depan podium: “Siapa bilang rakjat lapar, Indonesia banjak makanan”. Hal itu terjadi karena mereka mengukur rakyat jelata dengan keadaannya sendiri yang serba mewah dan tidak kenal kekurangan. Mereka menutup mata buat kaum gembel yang berkeliaran sepanjang jalan dan tidur di bawah jembatan dan menutup telinga buat rintihan para pekerja yang membanting tulang dengan perut lapar, guna membangun monument-monumen dan proyek-proyek untuk kemegahan (Jassin, 1966:38).
Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia menyusul peristiwa politik G30S dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai menghendaki pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi social-politik yang dipelopori oleh KAMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan ‘66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horison nomor 2 tahun 1966, di mana dikatakan bahwa angkatan ‘66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI.
Angkatan 66 tidak hanya mengacu pada para sastrawan, tapi juga para aktivis di tahun tersebut. Orde Baru terbentuk dengan dukungan uang sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu. Dalam kehidupan intelektual, terdapat pembahasan mengenai pimpinan muda baru dan suatu zaman baru, yaitu angkatan 66 (Ricklefs, 2005:558).
Para pemuda anti-komunis ini pada 8 Oktober 1965 membakar markas besar PKI di Jakarta. Pada 25 Oktober 1965, para mahasiswa anti-PKI membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dengan dukungan dan perlindungan tentara. KAMI berintikan kelompok pemuda Islam, Katolik, dan mantan PSI. Pada awal tahun 1966 dibentuk juga front kesatuan pelajar yang disebut KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), dan front alumni universitas, KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), kedua front tersebut berisikan simpatisan Masyumi-PSI (Ricklefs, 2005:565).
Empat bulan setelah peristiwa Gestapu, belum ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menangani masalah ini. Pemerintah justru mengeluarkan uang rupiah baru dan menaikkan harga minyak bumi dan bahan bakar melalui Surat Keputusan No. 216/M/Migas/66. Harga bensin naik empat kali lipat, ongkos pos dan telekomunikasi naik sepuluh kali lipat, dan tarif kereta api naik lima kali lipat. Soe Hoe Gie (1995:4) menyebutkan dalam karyanya bahwa dalam waktu setengah bulan harga angkutan umum naik hingga 1000 rupiah. Permasalahan tersebut mengiring para mahasiswa mengunjungi Gedung Sekretariat pada 10 Januari 1966. Unjuk rasa diramaikan oleh KAMI, KAPI, KAPPI, serta KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).
Pada 24 Februari 1966, tepat di hari pelantikan Kabinet Dwikora, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa. Dari aktivis angkatan 66 ini, lahirlah nama-nama seperti Cosmas Batubara, Abdul Gafur, dan Fahmi Idris. Para mahasiswa yang berperan penting dalam aksi-aksi massa ini kemudian diangkat menjadi menteri di masa Orde Baru.
Cosmas Batubara, mahasiswa Universitas Indonesia yang juga Ketua Presidium Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ketua Presidium KAMI Pusat yang ketika itu bertindak sebagai pemimpin para mahasiswa, di masa Orba sempat menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Indonesia. Abdul Gafur, anggota HMI dan Ketua Presidium KAMI Universitas Indonesia, menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Fahmi Idris, pimpinan HMI yang juga menjadi Ketua Senat FE UI (1965-1966), menjadi Menteri Perindustrian Indonesia dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia ke-19. Selain itu, ia juga menjabat sebagai menteri di masa Reformasi, yaitu sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia di masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Penulis: Annisaa Khansa Labibah
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Gie, Soe Hok. 1995. Zaman Peralihan. Yogyakarta: Gagas Media
Jassin, H.B. 1966. “Angkatan 66” dalam Madjalah Sastra Horison hlm.36-41. Jakarta:Jajasan Indonesia
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.