Konferensi Meja Bundar

From Ensiklopedia

Konferensi Meja Bundar atau KMB (Nederlands-Indonesische Rondetafelconferentie; bahasa Inggris: Dutch-Indonesian Round Table Conference) merupakan sebuah konferensi yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949 untuk menghentikan konflik antara Indonesia dan Belanda dalam bentuk pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (RI). Pihak Belanda sendiri menggunakan istilah ‘penyerahan kedaulatan’ dalam konferensi ini. Peserta konferensi ini ialah utusan-utusan dari Republik Indonesia, Belanda dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, Majelis Permusyawaratan Federal), perhimpunan negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda.

KMB merupakan salah satu bagian dari peristiwa yang mengakhiri Revolusi Indonesia (Mrázek 1994: 400). Melalui KMB, Belanda, dan kemudian dunia internasional, mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana RI merupakan salah satu negara bagiannya. KMB tidak hanya penting bagi Indonesia dan Belanda tetapi juga memiliki signifikansi besar dalam perkembangan hukum internasional (Angelo 1950: 569).

Kemerdekaan Indonesia, yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Mohamad Hatta ditolak Belanda. Belanda ingin melanjutkan kolonialismenya di Indonesia yang terhenti karena pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Konflik bersenjata dan perselisihan diplomatik antara Indonesia dan Belanda terjadi segera sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) ambil bagian dalam menyelesaikan konflik di antara kedua negara. PBB membentuk Komite Jasa Baik (Good Offices Committee, GOC) yang terdiri atas utusan dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat. DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi tanggal 28 Januari 1949. Resolusi tersebut memutuskan pengubahan nama GOC menjadi United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan memfasilitasi dua pertemuan antara UNCI dan pihak-pihak yang berselisih di Jakarta pada paroh pertama tahun 1949. Di dalam pertemuan tersebut lahir kesepakatan untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Para peserta yang akan menghadiri konferensi tersebut terdiri atas perwakilan dari UNCI dan utusan dari Belanda serta dari berbagai negara dan wilayah di Indonesia (Angelo 1950: 569).

Pada 14 April 1949 Indonesia dan Belanda memulai sebuah perjanjian awal menuju perdamaian kedua negara, Perjanjian Roem-van Roijen. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 ini, Belanda membebaskan para pemimpin Indonesia yang mereka tahan. Di samping itu, Yogyakarta kembali menjadi ibukota RI. Keputusan lain yang diambil adalah diadakannya KMB untuk membicarakan penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia. Dalam Perjanjian Roem-van Roijen, kedua belah pihak, dengan berlandaskan pada Perjanjian Renville, sepakat untuk bekerja sama dalam usaha menuju penyelesaian konflik. Wujudnya ialah pelaksanaan KMB, di mana beberapa persiapan dilakukan, termasuk untuk penyerahan kedaulatan secara resmi (Cribb & Kahin 2004: 377-378).

Di Indonesia, pada Juli dan Agustus 1949 diselenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan berbagai negara federal. Tujuannya ialah untuk menyusun sebuah draf undang-undang dasar sementara RIS. Undang-undang dasar tersebut terdiri atas 197 pasal dan satu lampiran.

Salah satu hasil KMB yang disepakati pada 21 November 1949 ialah penetapan Indonesia sebagai sebuah negara federal bernama RIS, yang terdiri atas 16 negara bagian. Kedaulatan RIS diakui oleh Belanda. Wilayah RIS mencakup semua wilayah bekas kekuasaan Hindia Belanda dengan pengecualian Irian Barat, yang menurut kesepakatan akan berada di bawah Belanda hingga Oktober 1962. RIS mendapat pengakuan sebagai negara yang merdeka secara hukum pada 27 Desember 1949 dengan Sukarno sebagai presiden. Namun, RIS tidak berusia panjang. Pada Agustus 1950, negara-negara federal dibubarkan dan di Indonesia dibentuk suatu negara kesatuan di bawah RI (Osmańczyk 2003: 992).

KMB juga menetapkan bahwa Indonesia mengambil alih hutang Hindia Belanda sebanyak kurang lebih 4,6 milyar gulden (setara dengan 1,7 milyar dolar AS). Kritikan muncul karena sebagian dari hutang itu merupakan uang yang dipakai Belanda untuk menaklukkan Indonesia. Pengambilalihan hutang ini juga membawa dampak buruk pada Indonesia karena menghambat pembangunan ekonomi Indonesia di era berikutnya (Cribb & Kahin 2004: 106-107).

Ada tiga delegasi yang berunding selama KMB, yakni delegasi Belanda, Republik Indonesia dan kalangan federal yang tergabung dalam BFO. Beberapa keputusan KMB tidak memuaskan bagi pihak Indonesia, di antaranya soal Irian Barat, yang usaha penyelesaiannya ditangguhkan selama setahun dan keharusan bagi Indonesia untuk mengambil alih utang Belanda sebanyak 4.100 juta gulden. Penerimaan Indonesia atas utang ini salah satunya terjadi karena tekanan Amerika Serikat kepada Indonesia. Perbedaan pandangan juga terjadi menyangkut istilah yang dipakai. Pihak Belanda menggunakan istilah ‘penyerahan kedaulatan’ (souvereniteits overdracht) sementara pihak Indonesia memakai term ‘pengakuan kemerdekaan’ (vrijheids erkenning). Perbedaan ini berdasarkan pada pemikiran pihak Belanda yang bersifat hukum dan pandangan pihak Indonesia yang berbasis fakta politik (Anwar 2010: 17-18).

Parlemen sementara RIS mengadakan sidang pleno pada 15 Desember 1949. Hasil sidang menunjukkan bahwa 236 suara pro terhadap KMB sementara 62 suara menolak dan 31 suara abstensi. Sebagian besar suara yang menolak berasal dari anggota partai-partai berhaluan komunis dan organisasi-organisasi yang berada di bawah pengaruhnya, sementara suara abstensi berasal dari Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir dan para simpatisan partai tersebut (Mrázek 1994: 400). Sehari kemudian, wakil-wakil negara bagian memilih Sukarno sebagai presiden RIS. Kabinet RIS, dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menterinya, dibentuk pada 19 Desember 1949, dengan salah satu program utamanya ialah penyelenggaraan pemindahan kekuasaan yang berjalan dengan lancar di seluruh Indonesia.

Upacara penyerahan kedaulatan (souvereniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada RIS dilaksanakan di Amsterdam pada 27 Desember 1949. Hatta dan beberapa menteri mewakili RIS dalam upacara tersebut. Upacara penyerahan kedaulatan juga dilangsungkan di Jakarta pada hari yang sama. H.V.K. Lovink mewakili pihak Belanda sementara Sri Sultan Hamengku Buwono IX mewakili pihak RIS. Penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS di Jakarta ditandai dengan penurunan bendera Belanda dan pengibaran bendera Indonesia. Keesokan harinya, RIS mulai menjalankan tugas-tugasnya yang ditandai dengan kembalinya Sukarno, sebagai presiden RIS, dari Yogyakarta ke Jakarta (Hatta 2011: 216-222).

KMB merupakan pengakuan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara berdaulat yang merdeka. Di samping itu, melalui KMB bentuk negara juga mengalami perubahan, dari negara kesatuan menjadi negara federal. Semua negara bagian, yang terdiri atas enam belas negara (termasuk RI) sepakat untuk berada di bawah satu pemerintahan. Konstitusi Indonesia berubah dari UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS.

Unifikasi negara-negara otonom tersebut mencerminkan aspirasi dan kesepakatan kalangan nasionalis di Indonesia terhadap bentuk negara yang diinginkan. KMB mengakhiri kolonialisme Belanda di Indonesia, kelahiran negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta dimulainya partisipasi Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia internasional, termasuk Perang Dingin (Van der Kroef 1951: 39). KMB secara efektif mengakhiri perang antara pihak Indonesia dan Belanda yang telah terjadi sejak akhir 1945. Selain itu, KMB memperkuat posisi Hatta, yang memainkan peranan krusial dalam KMB dan mendapatkan kepercayaan dari pihak Belanda, BFO dan Amerika Serikat (Feith 2007: 51-52).

Hatta sendiri mengakui bahwa ada dua hal penting dalam hidupnya, yakni sebagai ko-proklamator kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan sebagai orang yang menerima penyerahan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 (Anwar 2010: 19). Sementara pamor Hatta meningkat karena KMB, pengaruh Sjahrir menurun, sebagaimana ditandai oleh tidak adanya kursi yang diduduki anggota PSI di kabinet pertama RIS yang dipimpin Hatta (Mrázek 1994: 402).

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Angelo, Homer G (1950). ‘Transfer of Sovereignty over Indonesia.’ American Journal of International Law, Vol. 44, Issue 3, July 1950.

Anwar, Rosihan (2010). Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Cribb, Robert & Audrey Kahin (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Second Edition. Maryland: Scarecrow Press, Inc.

Feith, Herbert (2007 [pertama kali terbit 1962]). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Singapore: Equinox.

Hatta, Mohammad (2011). Menuju Gerbang Kemerdekaan: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mrázek, Rudolf (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. New York: Southeast Asia Program, Cornell University.

Osmańczyk, Edmund Jan (2003). Encyclopedia of the United Nations and International Agreements: G to M. New York & London: Routledge.

Van der Kroef, Justus M (1951). ‘Indonesia and the West.’ Far Eastern Survey, Vol. 20, No. 4 (Feb. 21, 1951).