Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI)
BAPERKI atau Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia berdiri bulan Maret 1954 sebagai organisasi massa yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi masyarakat Tionghoa dengan mengusung konsep integrasi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Konsep ini menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai salah satu suku bangsa yang dapat mempertahankan budaya leluhurnya seperti suku-suku bangsa lainnya yang berada di Indonesia dan memiliki status hukum yang sederajat sebagai warga negara Indonesia.
Terdapat sejumlah alasan pendirian BAPERKI. Latar belakang yang utama adalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat Tionghoa di Indonesia akan keberadaan sebuah organisasi baru di era kemerdekaan untuk melawan diskriminasi dan membela kepentingan masyarakat Tionghoa sebagai warga negara Indonesia. Tujuan pendirian BAPERKI juga untuk menyatukan para tokoh Tionghoa dalam kerja sama membela kepentingan masyarakat Tionghoa. Sebelum keberadaan BAPERKI, tokoh-tokoh politik Tionghoa terpisah-pisah dalam berbagai partai politik yang berbeda. Alasan pendirian BAPERKI lainnya adalah untuk mencari pemecahan status kewarganegaraan penduduk Tionghoa di era kemerdekaan. Selain itu, pendirian BAPERKI juga untuk menghadapi persoalan diskriminasi yang dialami para pedagang Tionghoa akibat menguatnya semangat ekonomi anti asing di Indonesia.
Keanggotaan BAPERKI bersifat terbuka bagi semua suku bangsa, agama dan ideologi politik. Perwujudan keterbukaan keanggotaan BAPERKI terlihat dalam nama organisasinya yang tidak menggunakan kata Tionghoa. BAPERKI dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (23 Maret 1914-20 November 1981) seorang tokoh peranakan Tionghoa termuka saat itu. Anggota-anggota lainnya antara lain Ang Jang Goan, Khoe Woen Sioe, Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan dan Yap Tiam Hien. Di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, BAPERKI cukup berhasil mendapatkan jumlah besar suara. Dalam Pemilu 1955, BAPERKI mendapatkan 178,887 suara dan untuk pemilu 1957 mendapat 160,456 suara. Setelah pemilu, kiprah BAPERKI meluas dalam bidang sosial dan budaya.
Perkembangan BAPERKI selanjutnya di bidang pendidikan. Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan peraturan penutupan sekolah-sekolah Tionghoa. Akibatnya banyak anak-anak Tionghoa kehilangan pendidikan. Untuk menjawab persoalan ini pada tahun 1958 BAPERKI mendirikan sekolah-sekolah. Di tahun 1963, BAPERKI telah mendirikan kurang lebih 100 sekolah yang sebagian besar berada di Jawa. Di Jakarta sendiri, BAPERKI mengelola 14 sekolah dasar, 7 SMP dan 3 SMA dengan total jumlah 15.000 siswa (Heidhues 1964: 22). Pada tahun 1965, BAPERKI tercatat memiliki lebih dari 170 sekolah (Siauw Tiong Djin tanpa tahun: 17). BAPERKI juga mendirikan universitas yang bernama Universitas BAPERKI di Jakarta pada tahun 1959 dengan rektornya pertama Ferdinan Lumban Tobing. Pada tahun 1963, Universitas BAPERKI berubah nama menjadi Universitas Res Publica, yang diambil dari pidato Bung Karno, dan memilih rektornya yang baru Ny. Utami Suryadarma yang juga menjadi rektor perempuan pertama di Indonesia. Cabang-cabangnya di Surabaya, Medan, Malang dan Makassar.
Setelah Peristiwa 1965, BAPERKI menjadi salah satu organisasi yang dibubarkan karena dinilai mendukung Sukarno dan dianggap dekat dengan PKI. Siauw Giok Tjhan dan sejumlah pimpinan BAPERKI ditahan.
Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Heidhues, Mary Somers (1964) Peranakan Chinese Politics in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program. Dept. of Asian Studies, Cornell Indonesia.
Siauw Tiong Djin (peny.) (tanpa tahun) Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa. Tanpa kota: Perkumpulan Res Publica Indonesia.