Badan Tenaga Nuklir (BATAN)

From Ensiklopedia
Tenaga Ahli Nuklir Indonesia Sedang Bekerja di BATAN. Sumber: Sekretariat Negara, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: Sekretariat Negara, 1977.


Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) adalah lembaga negara yang mengurusi bidang riset tenaga nuklir di Indonesia. Cikal-bakalnya bernama Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang didirikan Sukarno pada tahun 1959. Proses pendiriannya bermula dari dibentuknya sebuah komisi untuk riset radioaktif pada 1954. Komisi itu diberi tugas melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya penyebaran radioaktif akibat uji coba senjata bom atom di Lautan Pasifik. Dari komisi itu terbentuklah Dewan Tenaga Atom atau Lembaga Tenag Atom (LTA) pada 5 Desember 1958 melalui Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1958 (Corneo 2000: 34). Lembaga yang dipimpin oleh Dr. G.A. Siwabessy, seorang doktor radiologi yang dipunyai Indonesia, berulangkali mengadakan pelatihan nuklir, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (Corneo 2000: 34-4).

Meningkatnya ketegangan antara Indonesia dan Malaysia membuat Sukarno mengalihkan tujuan program nuklir ke tujuan militer untuk membangun bom atom pertama di Indonesia. Atmosfir Perang Dingin mendorong Indonesia bergerak ke arah pengembangan nuklir. Hal ini dilakukan untuk melindungi Indonesia dari rongrongan Barat yang saat itu bersikap ekspansif di Malaysia dan Vietnam (Corneo 2000: 40). Upaya ini juga untuk memberikan situasi yang aman bagi kondisi dalam negeri yang sedang dilanda turbulensi politik.

Reaktor nuklir pertama Indonesia diresmikan Presiden Sukarno tanggal 20 Februari 1965. Reaktor yang bernama Triga Mark II itu berlokasi di Bandung dan sesungguhnya sudah mulai bekerja dalam taraf percobaan sejak bulan Oktober tahun 1964. Sebuah laboratorium isotop untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai pemanfaatan isotop radio aktif juga telah didirikan di Pasar Jumat, Jakarta. Sementara di Serpong, Tangerang, mulai dibangun juga  pusat penelitian nuklir dengan menggunakan reaktor IRI-2000 dari Rusia, yang peletakan batu pertamanya dilakukan Presiden Sukarno pada tanggal 16 Januari 1965 (Sekretariat Negara, 1977: 506).  

Pada Maret 1965, Sukarno menginginkan progres yang lebih cepat lagi dengan mereorganisasi dan mengubah LTA menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Dr. G. A. Siwabessy, mantan direktur LTA, diangkatnya menjadi direktur BATAN yang pertama (Corneo 2000: 35). Pada Juli 1965, dengan bangga dan percaya diri Sukarno mengumumkan kalau Indonesia sudah siap menjadi negara nuklir masa depan, di mana BATAN menjadi tulang pungggung untuk mencapai impian itu. Namun, Sukarno jatuh dari kekuasaan tidak lama setelah itu, dan berakhirnya kekuasaan Sukarno juga mengubah arah BATAN. Proyek pembangunan fasilitas nuklir di Serpong, Tanggerang, misalnya tidak lagi dilanjutkan (Sekretariat Negara 1977: 506).  

Sejak awal era Soeharto, rencana pengembangan energi nuklir (apalagi untuk kepentingan militer) tidak pernah lagi didengungkan. Soeharto hanya mengejar agenda nuklir untuk tujuan damai. Oleh sebab itu, riset dan pengembangan nuklir yang dilakukan di BATAN diarahkan untuk tujuan yang sama. Secara berturut-turut, dibangun beberapa fasilitas untuk keperluan penelitian: Pusat Penelitian Tenaga Atom yang berlokasi di Pasar Jumat Jakarta Selatan pada 1966 dan pembangunan Pusat Penelitian Tenaga Atom di Yogyakarta pada 1967. Sejak itu, BATAN memanfaatkan energi nuklir hanya untuk tujuan medis dan pertanian (Suleiman 2014: 383).

Upaya nuklirisasi tampak lebih serius ketika pada tahun 1972 Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) membantu BATAN untuk mempelajari kelayakan tenaga nuklir di Indonesia. Namun, realisasinya tidak berjalan mulus. Pengejaran Indonesia untuk nuklir berbenturan dengan politik energi yang sebagian besar didorong oleh minyak yang menggerakkan sebagian besar ekonomi-politik Orde Baru. Akibatnya, proposal produksi tenaga nuklir yang digagas BATAN tertunda selama bertahun-tahun, dan hingga kejatuhan Soeharto dari kursi kekuasaan pada tahun 1998, program nuklir yang layak di Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan (Amir 2019: 347; Amir 2010: 101).

Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Amir, Sulfikar, 2019. “Challenging Nuclear: Antinuclear Movements in Postauthoritarian Indonesia”, East Asian Science, Technology and Society: an International Journal, 3, hal. 343-66.

Amir, Sulfikar, 2010. “The State and the Reactor: Nuclear Politics in Post-Suharto Indonesia”, Indonesia, 89, hal. 101-47.

Cornejo, Robert. M., 2000. “When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the Mid 1960s”, The Nonproliferation Review, 7, hal. 31–43.

Sekretariat Negara, 1977. 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: Sekretariat Negara.

Suleiman, M. Ajisatria, 2013. “Law and Politics of Nuclear Power Plant Development in Indonesia: Technocracy, Democracy, and Internationalization of DecisionMmaking” dalam Michael Faure & Andri Wibisana (ed.), Regulating Disasters, Climate Change and Environmental Harm: Lesson from the Indonesian Experience, USA: Edward Elgar.