Orde Baru
Orde Baru adalah satu periode dalam sejarah Indonesia yang berawal dengan naiknya Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada 1966 sampai lengsernya pada 1998. Kata “Baru” digunakan untuk menggeser rezim Orde Lama yang dinahkodai sebagian besar oleh presiden Indonesia sebelumnya, Sukarno. Orde Baru dikesankan sebagai periode yang stabil dan memiliki tingkat kontinuitas tinggi (Feith dan Castle, 1998: xvii-xviii). Selain itu, orde ini juga menggambarkan zaman yang mengalami perubahan ekonomi mengesankan melalui penambangan minyak dan mineral secara massif (Retnowati, 2018: 2). Terakhir, Orde Baru erat kaitannya dengan kebangkitan kapitalisme di Indonesia (Robison, 2009).
Pada awalnya, terwujudnya Orde Baru juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu (Ricklefs, 2008: 587). Ditandai dengan terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, Orde Baru resmi berdiri (Vatikiotis, 1998). Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam mewujudkan ini, langkah pertama yang ditempuh adalah memberangus segala hal yang berkaitan dengan komunisme, ideologi yang dicap sebagai musuh utama dari rezim (Vatikiotis, 1998).
Orde Baru juga merupakan perwujudan aspirasi berbagai kalangan intelektual, masyarakat sipil, dan tentu saja militer. Kelompok intelektual dan masyarakat sipil yang kerap disebut sebagai “angkatan 66” ini menjadi garda depan dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaruan menuju zaman baru (Ricklefs, 2008: 587). Namun dalam perjalanannya, faksi militer – yang kemudian mendapat dukungan sekelompok kecil masyarakat sipil – telah mendominasi rezim Orde Baru. Anggota aliansi dari kelompok intelektual dan pemuda banyak yang kemudian diasingkan.
Di masa-masa ini, Soeharto masih fokus dalam doktrinasi ideologi negara, sama seperti yang dilakukan pada rezim Orde Lama (Feith dan Castle, 1998: xvii-xx). Hal ini massif dilakukan terutama sejak diadakan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada 1978 (Retnowati, 2018: 2). Sasaran dari penataran ini adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pegawai negeri, kaum professional, pegawai swasta, dan sejumlah pemuka dan aparatur desa.
Di awal Orde Baru, sekitar 1967-1973, pemerintah membuat kebijakan di bidang ekonomi agar kondisi perekonomian Indonesia stabil. Berbagai rencana pembagunan dalam periode lima tahunan diciptakan dengan nama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dengan kebijakan ini, harapannya program pembanguna dapat terpusat untuk meningkatkan ekonomi Indonesia di level makro. Ekonomi makro yang stabil diharapkan dapat merembes (trickle down) ke sektor-sektor penunjang ekonomi lain seperti pertanian, manufaktur, peternakan, hingga industri lainnya (Bandoro, Kristiadi, Pangestu & Priyono, 1995: 629).
Selain itu, dalam Orde Baru praktik pembangunan nasional juga harus dilandasi oleh motivasi politik, ekonomi, dan sosial yang saling berkelindan. Ini disebut sebagai Trilogi Pembangunan. Tiga pilar ini diharapkan dapat menjaga stabilitas nasional di masa pembangunan Indonesia (Suhardiman, 1996: 255). Lebih jauh, stabilitas nasional memungkinkan pembangunan yang berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.
Pada perjalanannya, impian yang dibangun di awal Orde Baru mulai sirna. Setelah berlangsung 31 tahun, para tokoh nasional mulai melihat Orde Baru keluar dari rancangan awalnya (Retnowati,2018: 3). Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh elit-elit negara membuat rezim menjadi tidak stabil. Pergeseran kepentingan ini utamanya difasilitasi oleh sistem birokrasi yang berbentuk hierarkis-patrimonial (Vatikiotis, 1998). Struktur birokrasi memungkinkan para birokrat dari pucuk pimpinan hingga tingkat bawah bermanuver dengan anggaran negara. Publik tentu menyadari hal ini. Namun, bagi mereka yang kritis terhadap rezim akan hilang secara misterius. Beberapa nama aktivis bahkan tidak pernah ditemukan lagi sampai saat ini.
Menjelang berakhirnya periode Soeharto, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang luar biasa. Gelombang krisis yang terjadi di luar negeri turut berdampak ke perekonomian Indonesia. Fundamental ekonomi yang lemah membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah dan mencapai titik terendah pada Mei 1998 (Subandoro, 1999: 77).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ketika itu mengawali penggantian Presiden Republik Indonesia, disusul dengan kelahiran dan kelangsungan berbagai krisis dalam waktu yang cukup panjang.
Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Bandoro, B., Kristiadi, J., Pangestu, M., & Priyono, O. S. 1995. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Feith, Herbert & Lance Castle. 1998. Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES
Retnowati, Endang. 2018. Tatanan Orde Baru: Distorsi Ideologi Pancasila. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008. Jakarta. Serambi
Robison, Richard. 2009. Indonesia: The Rise of Capital. Singapura: Equinox Publishing.
Subandoro, A.W. 1999. “Dari Krisis Nilai Tukar ke Krisis Ekonomi”. Dalam S. Sumardjan (Editor). Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suhardiman. 1996. Pembangunan Politik Satu Abad. Jakarta: Yayasan Lestari Budaya.
Vatikiotis, Michael R.J. 1998. Indonesian Politics Under Soeharto: The Rise and Fall of the New Order. London: Routledge.