Bank Nasional Indonesia (BNI) 46
Bank Negara Indonesia (BNI) 46 didirikan dalam rangka menata ekonomi Indoesia yang baru merdeka, yang secara ekonomi belum memiliki dampak apapun terhadap kemakmuran bangsa (Ricklefs 2007: 470). Di samping tidak ada kebijakan ekonomi terencana dan berjangka panjang (Lerisa 2012: 90; Djiwandono 2005: 5), Indonesia juga menglami laju inflasi makin tinggi karena lemahnya kontrol atas mata uang yang beredar, yakni mata uang De Javasche Bank, mata uang Hindia Belanda (Netherlands Indies Gulden) dan Kekaisaran Jepang (Yen). Hal ini tentu membuat arus dana dan hukum transaksi menjadi kacau dan akhirnya kelumpuhan proses kegiatan perdagangan.
Di tambah lagi, pada saat yang bersamaan, Maret 1946, pihak sekutu telah menguasai beberapa wilayah Republik dan dengan segera memberlakukan kebijakan mata uang NICA. Selain tentu saja mendapat kecaman dan penolakan pemerintah, pemberlakuan mata uang NICA juga mengakibatkan naiknya harga-harga komoditas yang dengan demikian meningkatkan inflasi di Republik. Uang NICA ditetapkan dengan kurs penukaran sebesar 3 persen, yang berarti bahwa setiap Yen yang ada di masyarakat dapat ditukar dengan 3 sen uang NICA (Intisari 9 Januari 1981: 6; Nurhajarini 2006).
Dengan kondisi demikian, pemerintah Republik mengeluarkan langkah strategis dengan mendirikan Bank Nasional Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946 berkat bantuan R. M. Margono Djojohadikoesoemo, putera dari seorang pejuang Republik yang gugur dalam pertempuran Lengkong. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946, BNI berfungsi sebagai bank sentral atau bank sirkulasi dan bank umum untuk dapat berfungsi sebagai wadah penerbitan mata uang pertama Republik. Belum lama sejak BNI berdiri, pada 30 Oktober 1946 BNI secara resmi telah mengeluarkan alat pembayaran pertama, yakni Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). ORI kemudian ditetapkan oleh pemerintah Republik sebagai alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara de facto berada di bawah kekuasaan Negara Republik Indonesia, yakni Jawa, Madura dan Sumatera.
Namun, kondisi Republik yang masih membingungkan di mana banyak mata uang yang beredar pada saat itu, peredaran ORI mengalami berbagai hambatan di wilayah de facto Republik. Hal ini juga diakibatkan oleh situasi di mana terdapat ancaman dari pihak sekutu, sehingga pemerintah Republik kemudian memberikan otoritas terbatas kepada masing-masing daerah untuk mencetak Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA). Sehingga, mata uang yang berlaku pada masa itu semakin banyak, bukan hanya mata uang Netherlands Indies Gulden, Yen dan De Javasche Bank, tetapi juga mata uang NICA, ORI dan juga ORIDA.
Meskipun demikian, di tengah berkobarnya semangat perlawanan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, kehadiran ORI disambut dengan gairah. Di berbagai tempat, ketika ORI untuk pertama kali diedarkan, pembagian ORI berjalan dengan cara yang sangat khidmat. Bahkan, terdapat pula ORI yang dibungkus kain merah putih dan diterima dengan mengadakan selametan. Sedangkan, di pusat-pusat perjuangan, ORI disambut dengan gegap gempita sebagai alat tukar yang membawa pesan persatuan dan perjuangan (Hatta 1981: 105).
Jika dibandingkan dengan mata uang yang beredar lainnya, ORI sebesar 1 rupiah tidak memiliki nilai material berarti. Namun, kehadiran mata uang tersebut menghadirkan pesan perjuangan dan nilai moral yang sangat besar bagi pemerintah Republik. Kehadiran ORI dijadikan simbol yang befungsi menguatkan kedudukan pemerintah Republik, baik dari ancaman dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ORI dengan fungsinya sebagai alat pembayaran yang mampu membiayai tegaknya kedaulatan Republik, juga dapat disamakan dengan continental money yang dikeluarkan oleh negara-negara koloni di Amerika Serikat pada masa Perang Kemerdekaan selama tahun1776-1783 (Wiratsongko 1991: 10).
Di lain kondisi, menyusul dengan penunjukkan De Javasche Bank yang merupakan warisan dari pemerintah Hindia Belanda, peran BNI yang sebelumnya merupakan wadah pencetak ORI dibatasi hanya sebagai bank sirkulasi atau bank sentral. Hal ini tentu sejalan dengan pandangan awal pendirian bank BNI yang ditujukan untuk bertanggungjawab menerbitkan dan mengelola mata uang ORI. Sejalan dengan waktu, BNI kemudian kembali ditetapkan sebagai bank pembangunan, dan diberikan hak untuk bertindak sebagai bank devisa, dengan akses langsung untuk transaksi luar negeri.
Selanjutnya, pada tahun 1955, sehubungan dengan penambahan modal, status BNI diubah menjadi bank komersial milik pemerintah. Perubahan ini tentu berkaitan dengan tuntutan pelayanan yang lebih baik dan juga sebagai tugas bagi pengembangan sektor pembangunan nasional. Hingga pada tahun 1968, sejalan dengan keputusan penggunaan tahun pendirian sebagai bagian dari identitas perusahaan, nama Bank Nasional Indonesia 1946 resmi digunakan. Mulai pada saat itu, BNI sebagai bank yang diciptakan pertama kali untuk menunjang perjuangan kemerdekaan Republik, lebih dikenal di masyarakat sebagai BNI 46.
Penulis: Satrio priyo utomo
Referensi
Buku
Djiwandono, Soedrajat, dkk. (2005). Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959. Jakarta: Bank Indonesia.
Hatta, Muhammad. (1981). Kumpulan Pidato. Jakarta: Yayasan Idayu.
Lerissa, R. Z, dkk. (2012). Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Wiratsongko. (ed.). (1991). Bank Notes and Coins From Indonesia. Jakarta: Perum Peruri dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Jurnal dan Majalah
Ratna Nurhajarini, Dwi. (2006). Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia, Jurnal
Jantra, I(1).
Intisari, No. 210, 9 Januari 1981, hlm. 6