De Javasche Bank
De Javasche Bank (DJB) berdiri pada 24 Januari 1828 atas perintah Raja Willem I, dimaksudkan untuk mengatasi masalah keuangan dan perekonomian pemerintah kolonial Hindia Belanda setelah bangkrutnya VOC. DJB didirikan dengan modal awal senilai ƒ1.009.500 (Tim Penulis LP3ES 1995: 40). Sejak pendiriannya, DJB memiliki hak istimewa (octrooi) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. Dengan demikian, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang gulden di wilayah Hindia Belanda. Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melakukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi. DJB merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.
Dalam perpanjangan octrooi tersebut dijelaskan tentang status DJB sebagai bank sirkulasi dan sebagai badan usaha. Tidak ada bank sirkulasi yang boleh dibuka atau didirikan di Hindia Belanda dan tidak ada bilyet bank yang boleh diterbitkan di Hindia Belanda atau diedarkan kecuali berdasarkan keputusan pemerintah. Ditetapkan juga tentang berbagai bentuk usaha yang dilaksanakan oleh DJB, seperti memberikan pinjaman modal bagi usaha dagang yang membutuhkan (Staatsblad No. 107, 1 April 1906) (Tim Penulis LP3ES 1995: 42). Pada 1829-1870, DJB membuka berbagai cabang di kota-kota di Jawa dan luar Jawa, yaitu Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867). Sementara itu pada 1870-1942, DJB membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), dan Madiun (1928) (De Bree1928).
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia memerlukan lembaga keuangan demi kestabilan ekonomi. Pemerintah memberlakukan proses nasionalisasi terhadap DJB sebagai bank sentral di Indonesia. Proses nasionalisasi tersebut secara rinci dituangkan dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara merdeka harus memiliki bank sentral yang bersifat nasional dan dimiliki oleh negara. Status DJB yang masih bersifat partikelir dan berada di tangan asing menyebabkan DJB harus dinasionalisasi (UU No.14 Tahun 1951, https://jdih.bpk.go.id). Perubahan nama dan status bank sentral baru hasil nasionalisasi DJB ditetapkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. UU itu menjelaskan perubahan nama DJB menjadi Bank Indonesia dan pencabutan De Javasche Bank Wet 1922. Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral Republik Indonesia yang memiliki tugas serta tanggung jawab menjaga stabilitas moneter dan perekonomian di Indonesia (UU No.11 Tahun 1953, https://jdih.bpk.go.id).
Penulis: Insiwi Febriary Setiasih
Instansi: Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi :
De Bree, 1928. Gedenkboek van De Javasche Bank, Vol. I, Vol. II; De Javasche Bank, Report of the President of the Java-Bank 89th – 120th. Weltevreden: G.Kolft.
Tim Penulis LP3ES, 1995. Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES Indonesia.
Staatsblad No. 107, 1 April 1906.
UU No.14 Tahun 1951, https://jdih.bpk.go.id
UU No.11 Tahun 1953, https://jdih.bpk.go.id