Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka tunggal ika adalah semboyan (moto) nasional bangsa Indonesia yang mencerminkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesa di tengah keberagaman. Semboyan ini tertulis di pita yang dicengkeram oleh burung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia. Pasal 36A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa ‘Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika’.
Frasa Bhinneka tunggal ika, yang berasal dari bahasa Jawa Kawi kuno, ditemukan di dalam kitab puisi Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5. Kakawin Sutasoma merupakan syair kepahlawanan Buddha yang berasal dari abad ke-14, masa puncak kejayaan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Pengarangnya ialah Mpu Tantular, salah satu penyair Hindu-Buddha terkemuka di istana Majapahit pada masa itu (Ramstedt dalam Ramstedt [ed.] 2004: 1). Bunyi lengkap frasa ini ialah ‘Bhinêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa’ dan umumnya diterjemahkan sebagai ‘beragam tapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang rancu’. Bhineka tunggal ika diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai ‘berbeda-beda tapi tetap satu’ dan ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘unity in diversity’ (Kahin 2015: 73).
Frasa Bhinneka tunggal ika merupakan moto yang dipandang sesuai untuk kondisi sosiologis, budaya dan geografis Indonesia. Moto ini dinilai sebagai moto yang sangat masuk akal dengan mempertimbangkan belasan ribu pulau Indonesia yang membentang dari Samudera Hindia ke Australia (Ooi [ed] 2004: 232). Pilihan ini diambil untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang sangat beragam selepas runtuhnya kolonialisme Belanda yang menekankan perbedaan rasial dan stratifikasi sosial (Cheong dalam Ooi [ed] 2004: 232).
Moto Bhinneka tunggal ika sering disebut memiliki kemiripan dengan moto nasional Amerika Serikat yang diambil dari bahasa Latin, E pluribus unum, yang secara harfiah berarti ‘dari banyak menjadi satu’. Namun, moto Amerika menekankan tentang proses penyatuan yang berasal dari unsur-unsur yang berlainan satu sama lainnya. Adapun moto Bhinneka tunggal ika lebih menggarisbawahi aspek tidak terpisahkannya antara persatuan dan keberagaman (Anderson dalam Holt [ed.] 2007: 15).
Mpu Tantular mencatat suatu legenda di dalam syair-syairnya di Kakawin Sutasoma. Menurut legenda yang disampaikan secara turun-temuurn, seorang raja bernama Purushada memilih daging manusia sebagai makanannya. Rakyatnya ketakutan apabila dijadikan korban. Untuk menenangkan rakyat, seorang ksatria bernama Sutasoma menawarkan dirinya sebagai pengganti, suatu tawaran yang ditafsirkan sebagai tantangan oleh sang raja. Raja dan kastria itu bertarung dibantu oleh para dewa, dengan Siwa memasuki tubuh sang raja dan Buddha memasuki tubuh sang ksatria.
Pertarungan ini berlangsung dengan sengit dan baru berhenti ketika para Brahmana turun tangan. Mereka menyerukan kepada sang raja dan ksatria untuk berhenti bertarung. Bagi para Brahmana, kedua orang itu pada hakikatnya adalah satu. Dari sinilah muncul istilah Bhinneka tunggal ika, yang digunakan oleh para Brahmana untuk mengilustrasikan tentang kesatuan antara Siwa dan Buddha. Seruan para Brahmana membuahkan hasil. Siwa dan Buddha meninggalkan tubuh kedua petarung sementara sang raja akhirnya memutuskan untuk tidak lagi memakan daging manusia (Ooi [ed] 2004: 232).
Mohammad Yamin mengusulkan penggunaan frasa Bhinneka tunggal ika pada sidang pertama BPUPKI, yang berlangsung antara 29 Mei-1 Juni 1945. Pemerintah Indonesia mulai menggunakannya sebagai moto nasional Indonesia pada 17 Agustus 1950 (Kahin 2015: 73). Moto Bhinneka tunggal ika menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, garuda. Garuda digambarkan menyandang sebuah tameng berisi gambar-gambar yang merepresentasikan sila-sila dalam Pancasila dan kedua cakarnya mencengkeram plakat bertuliskan Bhinneka tunggal ika (Cribb & Kahin 2004: 155).
Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Anderson, Benedict R. O’G. Anderson (2007 [pertama terbit tahun 1972]). ‘The
Idea of Power in Javanese Culture’, dalam: Claire Holt (ed.). Culture and Politics in Indonesia. Singapore: Equinox.
Cribb, Robert B. & Audrey Kahin (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Maryland: Scarecrow Press.
Kahin, Audrey (2015). Historical Dictionary of Indonesia. Third Edition. Maryland: Rowman & Littlefield.
Ramstedt, Martin, ‘Introduction: Negotiating Identities—Indonesian “Hindus”
between Local, National, and Global Interests’ dalam: Martin Ramstedt (ed.). Hinduism in Modern Indonesia. 2004. London & New York: RoutledgeCurzon.
Cheong, Yong Mun. (2004). ‘Bhinneka Tungga Ika (“Unity in Diversity”)’ dalam:
Keat Gin Ooi (ed.). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. California: ABC-CLIO, Inc.