Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO)
BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal adalah komite yang terdiri 15 pemimpin negara bagian dan daerah otonom untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS). BFO dibentuk di Bandung pada tanggal 7 Juli 1948 (Nugroho dkk. 2018: xi; Prinada 10 Februari 2021). Proses terbentuknya BFO tidak bisa dilepaskan dari upaya Gubernur Jenderal Hindia Belanda de facto Hubertus Johannes Van Mook dalam memperjuangkan federalisme di Indonesia. Pada tanggal 15-25 Juli 1946, Van Mook menyelenggarakan Konferensi Malino dengan tujuan membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 229). Konferensi ini juga menyepakati mengubah ketatanegaraan Indonesia menjadi federasi. Untuk memperkuat Konferensi Malino, Van Mook menyelenggarakan Konferensi Denpasar yang merupakan langkah awal pembentukan negara federal yang pertama, yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah itu Belanda berhasil membentuk negara-negara dan daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia (Novita Sari & Sugiharti 2014: 40).
Setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati, Van Mook mengambil inisiatif sendiri dengan membentuk Pemerintah Federal Sementara atau Voorlopige Federale Regering (VPR) (Leirizza 2006: 112). Tindakan Van Mook ini menimbulkan kegelisahan di kalangan negara-negara bagian dan daerah-daerah otonom yang tidak terwakili dalam susunan pemerintah yang baru tersebut. Kegelisahan tersebut membuat Ide Anak Agung Gde Agung (Perdana Menteri negara Indonesia Timur) dan R.T. Adil Puradiredja (Wali Negara Sumatra Timur) sepakat untuk melakukan serangkaian konferensi yang bertujuan membuat rancangan pemerintah federal di Indonesia (Toer 2003: 407).
Dalam surat undangannya kepada dr. T Mansur (Wali Negara Sumatera Timur), Anak Agung Gde Agung menulis alasan menyelenggarakan konferensi itu. Pertama, untuk mencari jalan keluar dari situasi politik yang gawat yang ditimbulkan oleh perkembangan politik antara Belanda dengan RI yang pada akhirnya akan memengaruhi negara-negara bagian. Kedua, pertemuan di Bandung diharapkan akan mencetuskan suatu rancangan pemerintah peralihan yang lebih baik daripada pemerintah federal sementara dari Van Mook (Taufik Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 230).
Konferensi diselenggarakan di Bandung mulai bulan Mei 1948 yang kemudian diselenggarakan lagi pada bulan Juni dan terakhir 7 Juli di tahun yang sama. Serangkaian konferensi itu disebut dengan Konferensi satuan-satuan kenegaraan (Staatkundige Enheden Conferentie) yang kemudian lebih dikenal sebagai Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) (Novita Sari & Sugiharti 2014: 41). Dalam perkembangannya BFO menjadi sebuah katalisator yang penting dalam diplomasi antara pemerintah RI dengan Belanda. Begitu pentingnya peranan BFO, sehingha Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang tangan kanan Van Mook, menyebutnya sebagai “kekuatan ketiga”, setelah pemerintah RI dan Belanda (Taufik Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 230; Leirissa 2006: 112). Konferesi Bandung pada bulan Juli 1948 dihadiri oleh wakil-wakil dari empat negara federal, yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Pasundan, dan Negara Madura. Konferensi Bandung ini juga dihadiri oleh wakil-wakil dari sembilan “daerah otonom”, yaitu Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Riau, dan Jawa Tengah. Mr. T. Bahriun dari negara Sumatera Timur terpilih sebagai ketua BFO (Taufik Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 230).
Setelah terbentuk, BFO melanjutkan konferensinya di Bandung pada 15-18 Juli 1948. Konferensi ini membicarakan mengenai rancangan pemerintahan peralihan yang diberi nama Pemerintah federal Interim atau Federale Interim Regering (FIR). Pembahasan yang paling menonjol dalam rancangan ini adalah hendak mengikutsertakan pemerintah RI dalam FIR. Rancangan ini kemudian menjadi resolusi yang diumumkan di Gedung Indonesia Serikat Jakarta pada 27 Juli 1948. BFO kemudian mengirimkan resolusi ini kepada Van Mook di Jakarta, Pemerintah Belanda di Den Haag, dan pemerintah RI di Yogyakarta (Novita Sari & Sugiharti 2014: 41). Van Mook keberatan atas resolusi yang dibuat BFO, karena di luar pengawasannya. Akan tetapi, pemerintah Belanda menerima rancangan dari BFO tersebut setelah wakil-wakil BFO diundang ke Den Haag Belanda. Pemerintah Belanda memadukan rancangan BFO dengan rancanganya sendiri menjadi “Peraturan Pembentukan Pemerintah Interm di Indonesia” (Bustuursregeling Indonesie in Overgangstijd yang disingkat dengan BIO). Rancangan Belanda ini saat diajukan oleh delegasi Belanda ditolak oleh pemerintah RI dalam pembicaraan di Kaliurang. Atas penolakan ini, trebuka jalan dan alasan bagi Belanda untuk memaksa dengan kekerasan terhadap pemerintah RI dengan melakukan agresi militer Belanda II (Abdullah & Lapian [ed.] 2012: 230).
Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Leirissa, R.Z. (2006). Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah.
Nugroho, Uji dkk., (2018). Jogja Memilih: Sejarah Pemilu 1951 & 1955 Di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas kebudayaan DIY.
Prinada, Yuda. (2021). “Sejarah Konferensi Meja Bundar (1949): Latar Belakang, Hasil, dan Tokoh”, https://tirto.id/sejarah-konferensi-meja-bundar-kmb-latar-belakang-tokoh-hasil-f97A, Dkiunduh 10 Juni 2022.
Sari, Rizqie Novita & Sugiharti. (2014). “Dinamika Badan Permusyawaratan Federal (BFO) Menuju kedaulatan Indonesia”, Avatara, Volume 2, no. 3.
Toer, Pramudya Ananta, dkk. (2003). Kronik Revolusi Indonesia: Jilid IV (1948). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.