Cut Nyak Dien

From Ensiklopedia

Cut Nyak Dien adalah pimpinan perlawanan Aceh sebelum kemudian wilayah itu sepenuhnya dikuasai Belanda pada 1904. Ia lahir di sebuah daerah bernama Lampadang, Aceh Besar, tahun 1848. Selain figurnya sebagai sosok pemimpin perlawanan melawan Belanda, Cut Nyak Dien juga dikenal sebagai sosok cerminan kesetaraan gender dalam ranah perjuangan. Ia merupakan seorang putri dari panglima perang yang bernama Teuku Nanta Seutia dan ibu yang merupakan seorang keturunan bangsawan dari Kampung Lampagar. Ayah dari Cut Nyak Dien adalah keturunan Makhdum Sati, yang merupakan perantau dari Sumatra Barat dan diperkirakan datang ke wilayah Aceh pada abad ke-18 ketika Sultan Jamalul Badrul Munir memerintah kerajaan Aceh. Ia adalah orang yang membangun Wilayah VI Mukim yang kurang subur menjadi daerah yang terkenal dan makmur daripada sebelumnya. Di wilayah VI Mukim ini pula terdapat daerah kelahiran dari Cut Nyak Dien (Muchtaruddin, 1996). Di wilayah VI Mukim ini Makhdum Sati diberi kekuasaan oleh raja untuk memimpin daerah tersebut. Kemudian Makhdum Sati memiliki keturunan dua anak yang diberi nama Teuku Nanta Suetia dan Teuku Cut Mahmud. Anak dari Makhdum Sati yang bernama Teuku Nanta Seutia inilah yang kemudian mempunyai anak bernama Cut Nyak Dien.

Akar perlawanan dari rakyat Aceh sudah terjadi jauh sebelum Cut Nyak Dien memimpin pasukannya dalam melawan Belanda. Sejak dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, Aceh sebagai kerajaan yang letaknya berdekatan dengan kerajaan Malaka merasa kedudukannya terancam. Kemudian Aceh mencoba mengusir Portugis dari Malaka yang lalu menimbulkan konflik antara Aceh dan Portugis yang berlangsung pada abad XVI hingga pada seperempat abad ke XVII. Aceh menyerang Portugis beberapa kali dua diantaranya yang pertama pada tahun 1537 dan yang terakhir di tahun 1568. Pada serangan yang terakhir, Aceh berkekuatan pasukan yang terdiri dari 15.000 orang Aceh, 400 bala tentara dari Turki, dengan persenjataan berupa 200 meriam baik kecil maupun besar (Djajadiningrat, 1982: 65). Setelah kedatangan Portugis, wilayah Aceh kedatangan bangsa barat lainnya yakni bangsa Belanda.

Keberanian Belanda untuk menguasai Aceh dikarenakan adanya perjanjian antara Belanda dengan Inggris terkait perluasan kekuasaan Belanda di Sumatra yang dikenal dengan nama Traktat Sumatra tahun 1871. Isi dari Traktat Sumatra diantaranya adalah Belanda diperbolehkan untuk memperluas wilayah kekuasaannya di Sumatra dan tidak lagi kewajiban untuk menghormati kedaulatan Aceh seperti yang tertuang pada Traktat London 1824. Tindakan selanjutnya yang diambil oleh Belanda adalah dengan mengeluarkan surat pernyataan perang dari kapal Citadel van Antwerpen yang melabuhkan jangkarnya di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh. Cut Nyak Dien menjadi saksi perilaku jahat Belanda kala perundingan dengan Sultan Aceh menemui jalan buntu yang kemudian bermuara pada surat pernyataan perang dari Belanda yang diberikan tanggal 26 Maret 1873 tersebut. Kemudian di tanggal 6 April 1873 Belanda menurunkan pasukan di pantai Ceureumen untuk menyerang Aceh dengan kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira di bawah komando J.H.R. Kohrer. Di serangan yang pertama ini Belanda mengalami kegagalan karena tidak berhasil menundukkan Aceh, selain itu J.H.R. Kohrer tewas karena tertembak oleh pasukan Aceh di dekat Masjid Raya. Kegagalan pada penyerangan pertama membuat Belanda kembali melancarkan serangan ke Aceh yang dipimpin oleh J. van Swieten dengan pasukan sebanyak 249 perwira dan 6.950 pasukan tentara. Pada serangan kedua ini istana dan Masjid Raya berhasil diduduki oleh pasukan Belanda pada tanggal 24 Januari 1874 (Muchtaruddin, 1996).

Dalam kehidupan keluarganya, Cut Nyak Dien memiliki suami pertama bernama Teuku Ibrahim melalui proses perjodohan. Teuku Ibrahim ini adalah anak dari saudara laki-laki dari pihak keluarga ibunya. Teuku Ibrahim ini anak dari Teuku Po Amat seorang uleebalang Lam Nga XIII Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim Aceh Besar. Selama meletusnya Perang Aceh, Teuku Ibrahim turun di garis depan perjuangan melawan Belanda. Dalam mempertahankan daerah VI Mukim dari serangan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Van der Heyden, Teuku Ibrahim gugur dalam perjuangannya. Di dalam pertempuran yang berlangsung di lembah Beurandeun Gie’ Taron pasukan Aceh kalah dan daerah VI Mukim berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda, kekalahan tersebut diakibatkan oleh unggulnya persenjataan Belanda dan pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang yang bernama Habib Abdurrahman.  

Setelah beberapa bulan kematian suami pertamanya, Teuku Umar, yang masih cucu dari kakek Cut Nyak Dien, datang meminang Cut Nyak Dien sebagai istrinya. Teuku Umar memberikan restu untuk Cut Nyak Dien ikut dalam peperangan ketika mereka sudah menikah. Dalam pandangan mereka, Belanda mereka anggap sebagai kaphee (kafir) maka dari itu harus terus dilawan. Pernikahan antara keduanya ternyata mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, kekuatan masyarakat yang sebelumnya terpecah akhirnya bersatu kembali (Anwar, 2009). Pernikahan antara keduanya terbukti efektif dalam menggerakkan pasukan Aceh yang ada, dampak positifnya adalah berhasilnya direbut kembali wilayah VI Mukim dan membuat Cut Nyak Dien bisa kembali pulang ke tanah kelahirannya.

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar mendapat julukan Een National Heldenpaar atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti Pasangan Pahlawan Nasional. Meskipun dianggap sebagai pasangan yang mampu menggerakkan perjuangan. Tercatat pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar wafat pada saat melakukan penyerangan terhadap Belanda yang ada di Meulaboh. Rencana penyerangan yang telah disusun Teuku Umar beserta pasukannya ternyata telah diketahui oleh pihak Belanda. Kemudian Belanda menunggu pasukan Teuku Umar di daerah Suak Ujung Kalak, Meulaboh. Di daerah ini pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Teuku Umar tidak terelakkan yang kemudian mengakibatkan Teuku Umar tewas tertembak peluru pasukan Belanda. Kemudian jenazah Teuku Umar dibawa oleh pasukan Aceh yang tersisa menuju ke daerah lain (Ibrahim, 2016: 68). Perjuangan melawan Belanda tetap dilakukan oleh Cut Nyak Dien meskipun suaminya telah meninggal. Ia bersama panglima Pang Laot Ali dan sisa prajuritnya yang berjumlah 300 orang terus melakukan gerilya dan menamakannya perang Sabil. Sepeninggal Teuku Umar pasukan yang ada dipimpin langsung oleh Cut Nyak Dien meskipun dengan segala keterbatasan mulai dari usia yang sudah tua dan mata yang rabun. Dalam perjuangannya tersebut Cut Nyak Dien mendapat banyak dukungan dari uleebalang, datuk-datuk, dan juga penghulu. Selain dikenal sebagai tokoh yang kharismatik Cut Nyak Dien juga memiliki orang-orang yang dianggap sebagai tokoh besar yang mendampingi perjuangannya. Diantara beberapa orang yang mendampingi perjuangannya ialah Teuku Ali Baet yang merupakan menantunya, Teuku Raja Nanta yang merupakan adiknya sendiri, Sultan Muhammad Daud Syah, dan Panglima Polim yang menggelorakan Perang Sabil di daerah Pidie. Teuku Mayit Di Tiro dan Cut Gambang yang merupakan anak serta menantunya, mereka berdua merupakan dua orang yang tetap melakukan perang gerilya meskipun Cut Nyak Dien telah berada di tanah pembuangan (Reid, 2007: 218-249).

Pada bulan April 1905, dengan sisa pasukan yang ada serta perbekalan dan harta benda yang hampir habis, pasukan Cut Nyak Dien mendapatkan serbuan yang tiba-tiba dari pasukan Belanda. Pada serbuan yang sangat-tiba-tiba tersebut Cut Nyak Dien berhasil melarikan diri dan bersembunyi, namun perbekalan dan perhiasan yang tersisa tertinggal. Semakin menipisnya perbekalan dan sumber makanan yang semakin sulit ditemui, ditambah dengan usia rentah, sakit encok dan rabun yang diderita Cut Nyak Dien membuat panglimanya yang bernama Pang Laot menjadi iba. Sang panglima kemudian memutuskan dengan berat hati untuk menghianati Cut Nyak Dien dengan cara melakukan perundingan dengan Belanda untuk menyerahkan Cut Nyak Dien dalam satu perundingan. Dalam perundingan tersebut Pang Laot bersedia menyerahkan Cut Nyak Dien namun pihak Belanda harus bersedia menjaga Cut Nyak Dien dengan baik. Akhirnya kesepakatan terjadi antara pihak Belanda dengan Pang Laot yang kemudian ditindaklanjuti dengan proses pencarian Cut Nyak Dien di daerah Pameue. Pada pencarian pertama ini Pang Laot dan pasukan Belanda tidak menemukan hasil yang kemudian proses pencarian dilanjutkan ke hutan daerah Beutong (Muchtaruddin, 1996).

Akhirnya, pada tanggal 7 November 1906, seorang anak kecil yang merupakan kurir dari Cut Nyak Dien berhasil ditangkap oleh pasukan Belanda. Sang kurir kemudian menunjukkan dimana keberadaan pondok persembunyian Cut Nyak Dien. Setelah lokasi pondok diketahui pasukan Belanda kemudian menyerang, Cut Nyak Dien saat itu sedang bersama dengan Cut Gambang. Pasukan Cut Nyak Dien yang tersisa tetap melakukan perlawanan meskipun akhirnya tetap harus menyerah, Cut Gambang yang saat itu bersama Cut Nyak Dien mendapatkan luka di dada dan sempat melarikan diri. Setelah Cut Nyak Dien tertangkap kemudian beliau dibawa ke Kutaradja dan kemudian ditahan disana. Di dalam tahanan Cut Nyak Dien diperlakukan sebagai keluarga bangsawan. Mendengar kabar tertangkapnya Cut Nyak Dien dengan kondisi yang memprihatinkan memunculkan rasa simpati rakyat yang kemudian banyak sekali masyarakat yang datang ke penjara Kutaradja untuk menjenguk Cut Nyak Dien. Belanda yang menganggap simpati dari rakyat ini akan memunculkan perlawanan kembali akhirnya memutuskan untuk mengasingkan Cut Nyak Dien ke daerah pembuangan yang ada di daerah Jawa Barat. Sumedang kemudian dipilih sebagai kota tempat diasingkannya Cut Nyak Dien hingga akhirnya pada tanggal 6 November 1908 meninggal di tanah pengasingan yang jauh dari tempat asalnya (Szekely-Lulofs, 2017).

Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Alfian, Ibrahim. (2016). Perang Aceh 1873-1912. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Anwar, Rosihan. (2009). Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (Sejarah Kecil Jilid 1). Jakarta: Kompas.

Djajadiningrat, Hoesein. (1982). Kesultanan Aceh, Banda Aceh: Museum Negeri Aceh.

Ibrahim, Muchtaruddin. (1996). Cut Nyak Din 1850-1908. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Reid, Anthony. (2007). Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke -19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Szekely-Lulofs, M.H. (2017).  Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh, Depok: Komunitas Bambu.