Teuku Umar

From Ensiklopedia

Teuku Umar adalah seorang pahlawan Aceh yang berjuang melawan Belanda antara tahun 1875-1899. Atas jasanya, Teuku Umar diberikan gelar pahlawan nasional oleh negara dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087TK/tahun 1973 pada tanggal 6 November 1973 (Seno dkk., 1996: 59).

Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dari keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Machudum Sati (Seno, 1996: 59). Pada saat Umar berumur 19 tahun (1873), perang Aceh dengan Kolonial Belanda mulai berkobar (Safwan, 1981: 34). Umar belum ikut berjuang pada awal perang, karena masih sangat muda, akan tetapi pada waktu itu ia sudah menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh (Seno, 1996: 60). Pada usia 20 tahun Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang (Seno, 1996: 60). Kewibawaan dan kehormatannya kian bertambah ketika Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai, seorang Putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita membebaskan daerahnya dari kekuasaan asing (Safwan, 1981: 35).

Teuku Umar tidak mengenyam pendidikan di sekolah sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya. Karakter Teuku Umar dibentuk oleh situasi dan keadaan pada saat itu. Teuku Umar memiliki pemikiran yang cerdas dan kemauan yang keras untuk mencapai cita-citanya. Cita-cita mulia Teuku Umar adalah membebaskan Aceh dari tangan kolonial. Oleh karena itu, Teuku Umar berpikir bahwa Aceh harus mempunyai pasukan yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan keinginan yang besar, Teuku Umar berhasil membentuk pasukan tempur. Orang-orang yang berani dan tangkas direkrut oleh Umar menjadi anggota pasukan yang siap tempur (Seno, 1996: 61).

Ketika perang Aceh dengan Belanda kian berkecamuk, banyak korban berjatuhan baik di pihak Belanda maupun pihak Aceh. Salah satu tokoh pahlawan Aceh yang gigih dalam melawan Belanda yang terbunuh adalah Ibrahim Lamnga. Ia gugur dalam pertempuran tahun 1878. Ibrahim Lamnga merupakan suami dari Cut Nyak Dhien. Sebulan setelah Teuku Ibrahim dimakamkan, Cut Nyak Dhien yang belum habis hilang kesedihannya, dikunjungi oleh Teuku Umar di Montasik dalam rangka kunjungan keluarga sebagai anak kepada orang tua (Ibrahim, 1996: 37). Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu (Hazil, 1955: 48). Kedatangan Teuku Umar adalah untuk membicarakan situasi yang dihadapi rakyat Aceh. Karena perlawanan rakyat terhadap Belanda semakin kendor dan tidak terkoordinasi dengan baik, Teuku Umar menyatakan kekhawatirannya kepada Nanta bahwa telah banyak pejuang Aceh gugur sebagai syuhada di medan perang (Ibrahim, 1996: 37).

Dalam kondisi terjepit tersebut, Cut Nyak Dhien berharap Umar maju untuk memimpin pasukan dan kembali memberi perlawanan kepada Belanda. Akhirnya Teuku Umar Menikahi Cut Nyak Dhien untuk melanjutkan perjuangan. Teuku Umar yang telah menggantikan kedudukan Teuku Ibrahim Lamnga, bertekad untuk menjadi suami yang setia dan akan meneruskan perjuangan Teuku Ibrahim Lamnga mengusir Belanda yang telah menduduki wilayah VI Mukim (Ibrahim, 1996: 39).

Perang Aceh dengan Belanda merupakan perang kolonial terlama dan termahal (Alfian, 2016: 42). Tidak hanya itu, perang ini juga merupakan perang terbesar yang digelar Belanda di Nusantara (Majid, 2014: 98). Dalam konflik berdarah tersebut Belanda harus kehilangan jenderalnya, Mayor Jenderal Kohler, yang tertembak pada 14 April 1873 sehingga Belanda harus mengaktifkan kembali jenderal panglima pasukan Hindia Belanda yang sudah pensiun, Letnan Jenderal J. van Swieten. Jika Belanda kehilangan jenderal, maka Aceh kehilangan sultan. Sultan Mahmud Syah mangkat pada 29 Januari 1878 di Pagar Ayer karena penyakit kolera dan dimakamkan di Cot Bada (Alfian, 2016: 54). Ketika sultan mangkat, pembasar-pembasar Aceh pada saat itu menobatkan Tuanku Muhammad Daud Syah sebagai sultan yang bertempat di masjid Indrapuri pada 1878. Waktu dinobatkan sebagai Sultan Aceh, Tuanku Muhammad Daud Syah masih belum dewasa sehingga pemerintahan dijalankan oleh Tuanku Hasyim sebagai mangkubumi (Afian, 2016: 60). Selain menobatkan sultan, diangkat seorang Amirul Al-Bahri atau panglima laut untuk wilayah Aceh Barat. Panglima laut yang ditunjuk adalah Teuku Umar (Reid, 2005: 282; Alfian, 2016: 68; Majid, 2014: 215).

Banyak aksi heroik Teuku Umar dalam melawan Belanda, salah satu manuvernya adalah berpihak kepada Belanda dan mengkhianati kaum muslimin. Apa yang Teuku Umar lakukan merupakan taktik perang. Ini dapat dinilai dari sikap istrinya, Cut Nyak Dhien, yang tetap memusuhi Belanda. Pengkhianatan tersebut terjadi pada September 1893, di mana Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya menyatakan kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan dan kepadanya dipercayakan 250 orang pasukan. Selain itu Teuku Umar juga diberikan uang sebanyak 66.360 florin setahun serta dibuatkan sebuah rumah di Lam Pisang, Aceh Besar. Dengan keputusan Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Januari 1896, ia diangkat sebagai Uleebalang Leupueng, sebelah Selatan Aceh Besar (Majid, 2014: 249; Alfian, 2016: 75-76).

Maneuver Teuku Umar ini merupakan tindakan yang membuat kaum muslimin terkejut bukan kepalang. Namun ketika waktu yang tepat tiba, Teuku Umar kembali memutar haluan membela Aceh dan kembali melawan kolonial Belanda. Tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar dan segenap pengikutnya meninggalkan Belanda. Dalam surat yang dilayangkan Teuku Umar tertanggal 30 Maret 1896, berisikan sikapnya meninggalkan pihak Belanda. Dalam surat tersebut Teuku Umar beralasan bahwa ia telah dipermalukan oleh kontrolir Ulee Lheue dan Jaksa Kepala. Dalam suratnya tertanggal 12 dan 13 April, ia menyatakan kekecewaannya terhadap bintang jasa yang dijanjikan, tetapi tidak diberi. Padahal dia sudah bersedia untuk mengamankan Aceh asal memperoleh 15.000 florin setiap bulan untuk memelihara pasukannya.

Bagi Belanda, peristiwa ini sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, Teuku Umar memiliki uang, mesiu, dan alat-alat senjata yang diperolehnya dari Belanda. Pasukannya banyak pula mempelajari cara-cara bertempur dari Belanda (Majid, 2014: 150-249; Alfian, 2016: 161-162). Tindakan Teuku Umar membuat Kolonial Belanda sangat terpukul. Bagi mereka ini merupakan pengkhianatan besar. Mereka sangat kecewa kepada Umar dan kekecewaan ini tercermin dari lagu-lagu jalanan yang timbul kala itu. Teuku Umar die moet hangen (Teuku Umar Mesti Digantung) dan Aan een touw, aan een touw Teuku Umar en zijn vrouw (Gantung Di Tali, Gantung Di Tali, Teuku Umar Dan Istrinya) (Paul van’t Veer, 1985: 175).

Aksi heroik Teuku Umar lainnya sebelum bermanuver berpihak ke Belanda adalah menyerang kapal Hok Canton yang berlayar di pantai Rigaih, Aceh Barat pada tahun 1886. Tentara Belanda, di bawah pimpinan Kolonel Van Teijn, yang dikirim ke sana gagal membebaskan awak kapal yang disandera oleh Teuku Umar. Akibatnya, Belanda harus membayar tebusan kepada Teuku Umar sebesar 25.000 ringgit untuk membebaskan tawanan (Majid, 2014: 216).

Teuku Umar merupakan orang yang sangat dicari oleh Belanda. Bahkan pada bulan Januari 1899, Van Heutsz datang sendiri ke tempat yang paling utama di Pantai Barat, Meulaboh, yang disinyalir merupakan tempat keberadaan Teuku Umar (Paul van’t Veer, 1985: 200). Pasukan yang memburu Teuku Umar diberi nama Kolene Lumpur. Nama ini dianggap tepat karena sudah lima bulan pasukan ini berkubang mengarungi rawa-rawa pantai (Paul van’t Veer, 1985: 200). Di bawah komando seorang letnan bernama Verbrugh, maka sejumlah pasukan ditempatkan di bawah pohon-pohon di pantai. Tembakan dilepaskan ketika terlihat kerumunan orang muncul dalam kegelapan. Keesokan paginya baru diketahui bahwa di antara orang-orang yang tewas di pantai tersebut adalah Teuku Umar (Paul van’t Veer, 1985: 201). Peristiwa gugurnya Teuku Umar terjadi pada tanggal 10 Februari 1899 di Ujung Kala, dekat Meulaboh (Alfian, 2016: 168).

Penulis: Mujiburrahman


Referensi

Alfian, Ibrahim, (2016). Perang Di Jalan Allah, Perang Aceh 1873-1912. Yogyakarta: Ombak.

Hazil, (1955) Pahlawan Perang Aceh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Jakarta: Jambatan.

Majid, M. Dien, (2014) Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mardanas, Safwan, (1981). Teuku Umar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Muchtaruddin, Ibrahim, (1996) Cut Nyak Dien. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Paul van’t Veer, (1985) “Perang Aceh (De Atjeh Oorlog)” Jakarta: Grafiti Pers.

Seno, dkk (1996) Enam Pahlawan Nasional Asal Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.