De Zeven Provincien (1993)

From Ensiklopedia

Pembajakan kapal De Zeven Provincien di pelabuhan Aceh oleh awak kapal berkebangsaan Indonesia pada 5 Februari 1933 dipimpin oleh J.K. Kawilarang (no. stb. 766). Penyebabnya adalah diskriminasi rasial, perbedaan gaji dan pangkat antara awak Indonesia dan Belanda, penurunan gaji yang tidak adil bagi kelasi Indonesia, dan sikap perwira-perwira Belanda yang merendahkan kelasi Indonesia (Sapija 1960: 71). Ini merupakan kejadian pertama yang memperlihatkan kemampuan pelaut Indonesia membajak dan membawa kapal Belanda.  

De Zeven dibuat tahun 1908 dan mulai digunakan pada 1910. Bobotnya 6.530 ton dengan panjang 101,50 meter dan lebar 17,10 meter. Ini adalah salah satu kapal terbesar di Hindia Belanda yang dilengkapi persenjataan berat. Meriamnya terberat di seluruh Hindia Belanda. Kecepatan tembaknya tidak seberapa karena panel bidiknya buruk. Kapal ini tidak memiliki penangkis serangan udara. Ia digunakan sebagai kapal latih bagi pelaut pribumi yang sudah belajar teori di Kweekschool voor Inlandshe Schepelingen (KIS) Makassar.

Gedung Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen te Makassar

Kapal ini berangkat dari pelabuhan Surabaya menuju pelabuhan Uleele Aceh pada 2 Januari 1933 di bawah komando Einkenboom untuk pelayaran latihan dan unjuk kekuatan. Ia membawa 141 orang Eropa, 256 orang pribumi, dan 80 siswa KIS (Bloom & Bouwsma 2015: 10, 68). Sumber lain menyebutkan 460 orang yang terdiri dari 30 perwira Belanda, 26 bintara Belanda, 7 bintara Indonesia, 141 bawahan Belanda, dan 256 bawahan Indonesia, serta 25 pelayan Indonesia (Widodo dkk. 1980: 41-42).   

Pada 5 Februari 1933, ketika para perwira Belanda berpesta di Kotaraja, para kelasi Indonesia dipimpin Kawilarang membajak kapal itu dan membawanya menuju Jawa. Di luar dugaan ternyata ada seorang perwira telegrafis Belanda di kamar markonis. Setelah menyadari kapal dibajak, ia segera mengirimkan berita dan meminta bantuan kepada stasiun-stasiun radio di pelabuhan Marine Jakarta dan Surabaya. Itulah sebabnya ketika kapal di Selat Sunda, tibalah beberapa kapal perang dan pesawat memberikan ultimatum kepada mereka untuk segera menyerah (Aly 1960: 53; Sapija 1960: 109). Para pembajak mengirimkan pesan bahwa “kami hanya ingin memprotes pemotongan gaji dan penangkapan teman-teman kami. Semua yang ada di kapal baik. Tidak ada cidera. Pelayaran berjalan seperti biasa”. Pemerintah tidak peduli dengan pesan itu dan memerintahkan mereka segera menyerah tanpa syarat (Haagsche Courant, 9/2/1933).

Pada 10 Februari kapal-kapal dan pesawat Belanda siap menghentikan kapal di Selat Sunda. Setelah diberi ultimatum berhenti dan menyerah tidak diindahkan oleh pembajak, maka pesawat Dornier (D11) menjatuhkan bom 50 kilogram dari ketinggian 1.200 meter ke atas geladak depan kapal dan langsung meledak. Akibatnya kapal rusak parah, 19 orang tewas (3 orang Eropa dan 16 pribumi), 11 orang luka berat, dan 7 orang luka ringan (Blom & Bouwsma 2015: 26).  

Para pembajak yang masih hidup ditahan di Pulau Onrust selama 7 bulan. Pada 19 September mereka dipindahkan ke Sukalila, sedangkan Kawilarang dan Boshart (kelasi Belanda) dibawa ke Jakarta dan kemudian Sukalila. Pengadilan Belanda memutuskan Kawilarang dihukum penjara 18 tahun, Boshart 16 tahun, dan sisanya 4 tahun. Sembilan belas awak kapal Indonesia sebagai terdakwa dan dianggap paling berbahaya oleh Belanda adalah J.K. Kawilarang, R. Tuhumena, J. Manuputi, Soedijana, J. Parinussa, Wahab, Mohammad Sarif, H.W. Posumah, Ramelan, Soewarso, Ardani, Saleh, P. Mintje, J. Hendrik, Soehardjo, Abdulkarim, Achmad, Ali, dan D. Tatipikalawan (Sapija 1960: 125-125). Mereka dibuang ke Pulau Onrust sampai kedatangan Jepang tahun 1942. Banyak dari mereka meninggal di pulau itu. Jenazah mereka kemudian dipindahkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 10 Februari 1958 (Sapija 1960: 4; Aly 1960: 53).

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

“De Muiterij op De Zeven Provinciën”, Haagsche Courant No.15340, 9 Februari 1933, p.4.  

J.C.H. Bloom & E. Touwen-Bouwsma (2015) De Zeven Provinciën: Ketika Kelasi Indonesia Berontak (1933). Jakarta: LIPI Press.  

Aly, Sumarno (1960) “Mengenangkan Perdjoangan Pelaut Indonesia di Kapal Zeven Provincien. Suluh Nautika, 10 (2), 52-53, 70.  

Widodo, M dkk (1980) Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Pembetontakan di Atas Kapal Hr. Ms. De Zeven Provinciën. Jakarta: Departemen Sosial.  

Sapija, M (1960) Sedjarah Pemberontakan di Kapal Tudjuh (Zeven Provincien). Jakarta: Pemuda.